Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - Neras Suara Institute

Ngopi, Jagong dan Silaturrahmi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pen(didik)an Indonesia dan Melek Kearifan Lokal

19 November 2024   21:38 Diperbarui: 19 November 2024   23:00 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kompasiana - Pendidikan Indonesia tengah menghadapi persimpangan besar. Di satu sisi, ada tuntutan untuk mengikuti arus globalisasi dengan berbagai inovasi seperti digitalisasi dan kurikulum baru Merdeka Belajar. 

Di sisi lain, sistem pendidikan kita seringkali lupa pada akarnya: kearifan lokal, humanisasi proses belajar, dan relevansi dengan kehidupan nyata. Akibatnya, pendidikan menjadi terasa jauh, baik dari kebutuhan masyarakat maupun dari potensi individu peserta didik.

Realitas di lapangan menunjukkan beberapa persoalan mendasar. Pertama, masih ada kesenjangan akses pendidikan di berbagai daerah, terutama wilayah terpencil. Infrastruktur pendidikan belum memadai, digitalisasi hanya menyentuh sebagian kecil populasi, dan pelatihan guru untuk mendukung metode pembelajaran yang inovatif sering terabaikan. 

Kedua, kurikulum cenderung berbasis target akademik yang kaku, sementara potensi individu anak justru sering terpinggirkan. Ketiga, minat masyarakat terhadap pendidikan formal seringkali rendah karena dianggap kurang relevan dengan kebutuhan hidup sehari-hari.

Dominasi minat anak pada hiburan digital, seperti media sosial atau gim daring, semakin memperparah situasi. Minat membaca dan belajar terlihat redup karena proses pembelajaran tidak dirancang untuk menyentuh hati dan rasa ingin tahu mereka. Pendidikan kita kerap terasa seperti beban, bukan ruang yang membebaskan.

Humanisasi dan Peran Kearifan Lokal

Di tengah tantangan ini, kearifan lokal dapat menjadi solusi yang mendasar. Nilai-nilai budaya seperti gotong royong, toleransi, dan kemandirian sebenarnya sangat relevan dengan pendidikan berbasis humanisasi. Dengan pendekatan ini, pendidikan memanusiakan siswa---menghormati minat, potensi, dan konteks mereka---alih-alih hanya menjadikan mereka sebagai objek penerima materi.

Bayangkan, misalnya, anak-anak di desa belajar melalui permainan tradisional seperti congklak atau mocopatan. Dalam kegiatan ini, mereka tidak hanya belajar berhitung atau bernyanyi, tetapi juga menginternalisasi nilai kerja sama, kesabaran, dan penghargaan terhadap warisan budaya. 

Kurikulum yang menyentuh kearifan lokal seperti ini akan terasa lebih dekat dengan kehidupan mereka, sehingga pendidikan tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga membumi.

Humanisasi pendidikan tidak hanya berarti membangun sistem yang ramah, tetapi juga sistem yang memahami, menghormati, dan memberdayakan siswa sebagai individu yang unik. Dengan mengintegrasikan kearifan lokal ke dalam proses belajar, pendidikan dapat menjadi lebih dekat dengan kehidupan nyata dan membentuk generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berkarakter dan berdaya saing. 

Pendidikan berbasis humanisasi adalah jawaban atas tantangan zaman, sebuah jembatan antara tradisi dan modernitas, antara akar budaya dan visi global. Inilah pendidikan yang membebaskan, bukan membebani---pendidikan yang mencerdaskan sekaligus memanusiakan.

Sekolah Berbasis Komunitas bisa menjadi model ruang belajar yang fleksibel, di mana pendidikan diselenggarakan di pusat-pusat komunitas lokal yang mudah diakses. Misalnya, memanfaatkan balai desa atau rumah adat sebagai ruang belajar sementara. Dengan pendekatan ini, anak-anak tidak perlu menempuh perjalanan jauh untuk belajar.

Untuk menunjang pendidikan di era modern dan serba Internet ini, maka ide Guru Keliling dan Digitalisasi Luring di daerah dengan akses terbatas dapat menjawab minimnya teknologi, pengadaan materi pembelajaran digital dalam bentuk perangkat offline seperti flash drive, video edukasi, atau aplikasi yang tidak memerlukan koneksi internet dapat menjadi solusi.

Hal yang jarang dibaca dalam ruang pendidikan bias perkotaan adalah Pendidikan Berbasis Kearifan Lokal. Kearifan lokal dapat menjadi jalan keluar untuk menumbuhkan minat dan relevansi pendidikan. 

Misalnya, mengajarkan keterampilan berbasis budaya lokal seperti pertanian tradisional, kerajinan, atau seni lokal, yang dapat memberikan manfaat langsung bagi kehidupan masyarakat. Sekolah juga dapat bekerja sama dengan tokoh adat atau pemimpin lokal untuk menciptakan model pembelajaran yang sesuai dengan konteks budaya setempat.

Oleh sebab itu, pendidikan dengan basis keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia adalah pendidikan yang berkeadilan tidak bisa hanya berpatokan pada pendekatan kota besar. Kita harus menyadari kompleksitas dan tantangan yang dihadapi oleh mereka yang tinggal di wilayah terpencil atau rentan. Solusi yang ditawarkan harus spesifik, berbasis kebutuhan lokal, dan berpihak pada masyarakat yang paling membutuhkan.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun