Kompasiana - Pendidikan Indonesia tengah menghadapi persimpangan besar. Di satu sisi, ada tuntutan untuk mengikuti arus globalisasi dengan berbagai inovasi seperti digitalisasi dan kurikulum baru Merdeka Belajar.Â
Di sisi lain, sistem pendidikan kita seringkali lupa pada akarnya: kearifan lokal, humanisasi proses belajar, dan relevansi dengan kehidupan nyata. Akibatnya, pendidikan menjadi terasa jauh, baik dari kebutuhan masyarakat maupun dari potensi individu peserta didik.
Realitas di lapangan menunjukkan beberapa persoalan mendasar. Pertama, masih ada kesenjangan akses pendidikan di berbagai daerah, terutama wilayah terpencil. Infrastruktur pendidikan belum memadai, digitalisasi hanya menyentuh sebagian kecil populasi, dan pelatihan guru untuk mendukung metode pembelajaran yang inovatif sering terabaikan.Â
Kedua, kurikulum cenderung berbasis target akademik yang kaku, sementara potensi individu anak justru sering terpinggirkan. Ketiga, minat masyarakat terhadap pendidikan formal seringkali rendah karena dianggap kurang relevan dengan kebutuhan hidup sehari-hari.
Dominasi minat anak pada hiburan digital, seperti media sosial atau gim daring, semakin memperparah situasi. Minat membaca dan belajar terlihat redup karena proses pembelajaran tidak dirancang untuk menyentuh hati dan rasa ingin tahu mereka. Pendidikan kita kerap terasa seperti beban, bukan ruang yang membebaskan.
Humanisasi dan Peran Kearifan Lokal
Di tengah tantangan ini, kearifan lokal dapat menjadi solusi yang mendasar. Nilai-nilai budaya seperti gotong royong, toleransi, dan kemandirian sebenarnya sangat relevan dengan pendidikan berbasis humanisasi. Dengan pendekatan ini, pendidikan memanusiakan siswa---menghormati minat, potensi, dan konteks mereka---alih-alih hanya menjadikan mereka sebagai objek penerima materi.
Bayangkan, misalnya, anak-anak di desa belajar melalui permainan tradisional seperti congklak atau mocopatan. Dalam kegiatan ini, mereka tidak hanya belajar berhitung atau bernyanyi, tetapi juga menginternalisasi nilai kerja sama, kesabaran, dan penghargaan terhadap warisan budaya.Â
Kurikulum yang menyentuh kearifan lokal seperti ini akan terasa lebih dekat dengan kehidupan mereka, sehingga pendidikan tidak hanya bersifat teoritis, tetapi juga membumi.
Humanisasi pendidikan tidak hanya berarti membangun sistem yang ramah, tetapi juga sistem yang memahami, menghormati, dan memberdayakan siswa sebagai individu yang unik. Dengan mengintegrasikan kearifan lokal ke dalam proses belajar, pendidikan dapat menjadi lebih dekat dengan kehidupan nyata dan membentuk generasi yang tidak hanya cerdas, tetapi juga berkarakter dan berdaya saing.Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!