Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - Neras Suara Institute

Ngopi, Jagong dan Silaturrahmi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ajar Sederhana, Pasti Tak Sederhana

19 November 2024   13:59 Diperbarui: 19 November 2024   14:07 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Marcus Aurelius, adalah seorang raja Romawi yang selama 20 tahun karir kepemimpinannya lebih mengedepankan kedalaman batinnya. Bahkan ia sering kali semedi tapa brata. Ia belajar tak berburuk sangka dan kesederhanaan dari Ibunya.

Ia mengatakan bahwa "Dari ibuku aku belajar berbuat baik, pantang untuk berlaku jahat, serta menjaga kesederhanaan dalam hidup". Ini menunjukkan bahwa memang ibu adalah ruang pendidikan pertama bagi anak. Akan seperti apa prinsip seseorang itu kelak, tergantung pada bagaimana seorang ibu secara lahir dan batin menjaga dan mendidiknya.

Apa yang ditulis oleh Aurelius adalah refleksi atas prinsip praktis perjalanan hidupnya. Baik dalam sistem pemerintahan, ataupun dalam konteks sosial yang lain. Pun memang tak sempurna, karena nisbi sekali ketika membahas kesempurnaan, kecuali legacy itu hanya untuk Tuhan.

Maha Karep yang menjadi piranti dari karep-karep ciptaanNya. Mau karep sederhana ataupun berlebih, menjadi kehendak makhlukNya. Tetapi tak bisa melepas dariNya. Jadi bersikap apapun tidak akan lepas dari Pancaran dan KehendakNya; manusia hanya sakdharma.

Anda bisa saja menjadi seperti Aurelius, belajar untuk sederhana seperti yang diajarkan oleh ibunya. Pun ibu-ibu kita semua. Namun, menemukan piranti untuk belajar sederhana itu yang pasti tidak sesederhana itu. Bersikap sederhana bukan semata tidak berlebihan saja, jauh dan lebih dalam dari itu adalah mengendalikan dan mengekang ragam keinginan.

Naluriah memang, tapi kita diberi oksigen di Otak untuk merenung dan mentadabburi berbagai peristiwa yang terjadi. Sederhananya, tidak berlebihan itu boleh, pun berlebih juga boleh. Karena setiap dari manusia pasti punya takaran kemampuannya. 

Masalahnya adalah mau membuka diri atau berhenti pada posisi tertentu dan menepis segala hal yang secara fitrah wajah terjadi.

Kita tidak bisa mengontrol apapun yang ada di luar kita, termasuk kesederhanaan dan ketidak sederhanaan. Karena kalau kesederhanaan itu lahir dari dalam, maka anda sejak lahir akan menentukan arahnya. Berhubung yang wajib adalah belajar, maka tiada batas untuk belajar, batasnya hanya saat nafas sudah tersengal dan hilang dari tubuh yang menaunginya.

Potensi jebakan atas klaim kebenaran, kesalahan, keburukan, kebaikan dan bahkan kesederhanaan sangat besar. Selama tutup itu belum dibuka, maka selama itu juga gelap gulita, walaupun "agaknya" bercahaya. Tutup itu adalah ego dan penyana; prasangka.

Yang terlihat sederhana, belum tentu sederhana. Begitu juga yang terlihat dalam belum tentu dalam. Apalagi kalau itu adalah fatamorgana. Sedangkan Siti Hajjar saja saat mencari air berlari dari bukit Shafa ke Marwa tersilaukan oleh fatamorgana. Apalagi warga manusia yang masih punya peluang besar tertipu oleh ragam kondisi dan persepsi.

Dari sini, sama sekali kesederhanaan itu ketika dipelajari bahkan diaktualisasikan menjadi sangat tidak sederhana. Belum lagi jebakan-jebakan asumsi diri, asumsi pikir, asumsi hati. Jebakan itu seperti lumpur yang tenang tapi kerap menelan apapun yang beradu di atasnya.

Sayangnya, sebagian dari kita, saya sendiri, masih kerap terjebak di lumpur yang tenang itu. Kerap menegaskan bahwa "saya tidak berlebih, mending sederhanan saja, dll." kerap terlontar dari mulut dan pikiran kita. Sehingga hidup yang dijalani masih saja "seakan-akan".

Pilihannya adalah, mau menyadari, mau merefleksikan, dan mau membuka diri. Karena tidak selamanya anggap pribadi menjadi begitu kokoh dan bisa dipertahankan. Yang dikhawatirkan bukan ketidakbenaran, tetapi ketidakdiakuinya dan kesepian yang dibuat-buat atas dasar kebenaran sepihak. Lantas, bagaimana berlaku sederhana, jika kesederhanaan itu masih sebatas persepsi dan jauh dari mikul duwur mendhem jerone kahidupan. Kata para arif "ya diunggahne, ya didukne, ya digawa, ya diseleh."

Artinya, hidup sederhana bukan pada visual dan potretnya, tetapi pada prinsip dan lakunya, baik itu dipahami sebagai suluk sosial, atau sebagai perjalanan hidup biasa-biasa saja.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun