Dari sini, sama sekali kesederhanaan itu ketika dipelajari bahkan diaktualisasikan menjadi sangat tidak sederhana. Belum lagi jebakan-jebakan asumsi diri, asumsi pikir, asumsi hati. Jebakan itu seperti lumpur yang tenang tapi kerap menelan apapun yang beradu di atasnya.
Sayangnya, sebagian dari kita, saya sendiri, masih kerap terjebak di lumpur yang tenang itu. Kerap menegaskan bahwa "saya tidak berlebih, mending sederhanan saja, dll." kerap terlontar dari mulut dan pikiran kita. Sehingga hidup yang dijalani masih saja "seakan-akan".
Pilihannya adalah, mau menyadari, mau merefleksikan, dan mau membuka diri. Karena tidak selamanya anggap pribadi menjadi begitu kokoh dan bisa dipertahankan. Yang dikhawatirkan bukan ketidakbenaran, tetapi ketidakdiakuinya dan kesepian yang dibuat-buat atas dasar kebenaran sepihak. Lantas, bagaimana berlaku sederhana, jika kesederhanaan itu masih sebatas persepsi dan jauh dari mikul duwur mendhem jerone kahidupan. Kata para arif "ya diunggahne, ya didukne, ya digawa, ya diseleh."
Artinya, hidup sederhana bukan pada visual dan potretnya, tetapi pada prinsip dan lakunya, baik itu dipahami sebagai suluk sosial, atau sebagai perjalanan hidup biasa-biasa saja.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H