Dalam kehidupan sosial, kita akan berjumpa dengan keberagaman. Dalam keberagamaan kita akan berjumpa dengan keindahaan, karena purwa rupa dan berbagai sudut pandang. Begitu juga dalam islam, seperti contoh penentuan hari raya idul fitri, yang mana antara kelompok satu dengan lainnya kadang berbeda kadang juga sama. Hal ini tidak bisa diperdebatkan, karena dasar sumbernya sama-sama ada.
Sarung menjadi piranti untuk menegaskan prinsip saling menghargai. Karena siapapun bisa memakainya, bisa memilikinya. Corak yang beragam menunjukkan bahwa di Nusantara ini multi sosial, multi etnis, multi kebudayaan, ras dan tradisinya. Motifnya pun beragam. Tapi bentuknya satu. Sarung ya seperti itu bentuknya, tidak ada yang bentuknya segi tiga atau separuh saja.
Tujuan kehidupan adalah kebersamaan dan perdamaian, sehingga menciptakan kesejahteraan. Realitas sosial yang beragam ini memiliki tujuan yang sama dalam idiologi pancasila. Kehidupan, kemanusiaan senada dengan kebinekaan. Kalau saja Pak Greetz memandang kaum santri bukan sebagai kaum tradisionalis, agaknya pandangan tentang pesantren sebagai pendidikan sub-kultur juga tidak akan ditangkap dalam realitas sosial.
Oleh sebab itu, sarung bukan hanya sebagai bentuk pakaian dalam ritual keberagamaan semata, tetapi juga menjadi bagian dari kehidupan sosial seperti biasanya. Artinya, sarung memang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, orang boleh memakai sarung dengan atribut sosial yang bermacam-macam, itu haknya. Begitu juga dalam kehidupan sosial ini, bahwa setiap orang memiliki hak kemanusiaanya, tugas kita sesama manusia adalah melindungi hak itu.
Pendek kata, mau pakai sarung dengan merk apapun itu hak, yang terpenting adalah tidak memaksakan orang lain untuk memakai sarung seperti yang kita punya atau kita suka.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H