Membaca fenomena keidupan perlu menggunakan metodologi pembacaan yang tepat. Pembacaan itu memiliki fungsi agar lebih tepat dan sesuai dengan tujuan pemacaanya. Pembacaan menggunakan filsafat dengan makan cinta kebijaksanaan, melalui pendekatan barat dan jawa.
Pembacaan melalui filsafat barat dan jawa memiliki visi di samping menjaga stabilitas intelektual, juga menjaga pendekatan kebudayaan atau kearifan lokal agar menjadi isau analisis pada fenomena yang ada. Artinya pendekatan kearifan lokal menjadi lebih utama dalam membaca fenomena karena lebih dekat dengan pembaca.
Di samping itu, ragam fenomena juga bisa didukung dengan analisis spiritual seperti tasawuf. Penguatan intuitif itu harus ditonjolkan dalam pembacaan fenomena. Fenomena yang dimaksud adalah ketika adanya kesenjangan moral antara kehidupan karena adanya perkembangan global. Walaupun tidak semua perkembangan tentu menyebabkan kesenjangan moral, tetapi pasti membawa perubahan.
Dalam pendekatan filsafat barat, kita mengetahui proses epistimologi, ontologi dan aksiologi. Di samping itu ada dukungan juga dengan mantiq atau logika. Sedangkan dalam pendekatan filsafat jawa ada ragam pembacaan yang bersifat nilai dan moral, atau etika. Seperti halnya gugon tuhon. Gugon tuhon  memiliki akar kata "gugu" dan "tuhu" yang artinya adalah boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, pamali, gak ilok, dll.Â
Dengan demikian, dalam melihat ragam realitas yang terjadi tidak hanya menggunakan asumsi epitimologis, tetapi juga harus menggunakan pendekatan rasa dan pangrasa. Pendekatan intuitif yang memiliki kepekaan batin dengan sudut pandang yang sangat kontekstual.
Contoh gugon tuhon yang kerap kita temui adala aja ngalungguhi bantal, aja madhang ing ngarep lawang, aja madhang layah wajan, dan lain sebagainya. Jangan duduk di atas bantal, jangan makan di depan pintu, jangan makan beralas wajan. Itu adalah contoh gugon tuhon yang mafhum kita jumpai.
Atinya, tradisi atau budaya bangsa kita memiliki kearifan cara pandang yang tidak hanya saat itu saja, tetapi jauh ke depan. Dalam istilah lain dikatakan waruh sak durunge winarah. Sudah mengetahui sesuatu yang akan terjadi jauh sebelum sesuatu itu terjadi. Hal ini kerap kita jumpai pada orang-orang yang memiliki kepekaan dan ketajaman rasa.
Maka dari itu, ragam fenomena memiliki tanda-tanda yang harus mampu kita baca. Mengapa? Karena membaca di samping peritah dalam kitab suci, juga menjadi ritus sosial yang harus dibudayakan. Jika para leluhur dengan pitung atau tradisi menghitung, lalu penguatan di ilmu titen, atau penguatan pada penandaan, yang mana memiliki simplifikasi terhadap apa-apa yang akan terjadi. Semisal, jika ada kupu-kupu masuk rumah, berarti akan ada tamu, jika mata sebelah kanan kedutan, maka akan ada yang mau melunasi hutang, dan lain sebaginya.
Artinya, pembacaan dalam realitas itu memerlukan berbagai ruang pembacaan. Ruang artikulasi. Ruang nomerologi dan lain sebagainya. Karena semakin banyak pembacaan, dan beragam korespodensinya, maka semakin luas pandangan dan cara pengambilan kesimpulannya. Â
Oleh sebab itu, warisan para leluhur kita adalah warisan pengetahuan saintifik -- spiritualistic. Yang mana pendekatan pengetahuan selalu diiringi dengan penguatan rasa atau intuisi yang ada di dalam jiwa. Bisa jadi, hal ini juga berkaitan dengan bayani, irfani dan burhani.
Kalau sikap politisi saat ini masih abu-abu antara pro atau tidak terhadap rakyat. Maka kita tidak perlu gusar, karena pembacaan kita lebih mendalam tentang bagaimana kepedulian. Bagiamana menjaga welas asih antara sesama. Karena budaya kita bukan secara politis, melainkan budaya gotong royong.
Orang boleh menilai dengan ragam penilaian, tetapi perlu adanya pendalaman atas pembacaan-pemacaan. Jika gugon tuhon itu dilanggar maka percayalah akan ada karmapala dalam kontelasi kehidupan, yang terpenting adalah berbuat baiklah kepada siapapun. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H