Manusia tidak bisa lepas dari kelaminnya. Biasanya tanpa tedeng aling-aling menampilkan eksistensi kelamin dan beberapa ornament pendukung lainnya. Agar orang lain dapat memandang, begitu juga menikmatinya.Â
Kelamin adalah bagian tubuh yang juga anugerah dari Tuhan. Harus di syukuri, karena bagaimanapun bentuk kelaminnya, itu adalah hadiah kenikmatan dari Tuhan. Di samping untuk menyalurkan syahwat, juga buah air. Bayangkan kalau tidak ada lubang kecil dengan bentuk seperti bedil dan menyerupai lipatan daging yang sintal.Â
Tentu pesakitan kalau tidak ada lubang pembuangan kotoran. Karena manusia, di samping diciptakan dengan keutamaan-keutamaan juga dipenuhi kotoran. Ini lumrah, wis ngunu anane.Â
Namun, karena kelamin setinggi apapun pangkat dan title kesarjaan, atau siapapun itu akan bertekuk lutut di bawah kelamin. Tidak sedikit yang kehilangan akal dan kesadaran karena kelamin (p.25).
Oleh karena itu, kalau di kearifan kita muncul pernyataan, sing sekolah, sing ngaji ki uwonge, perkoro sarutama iku ya pada dene. Yang belajar, yang mengaji itu orangnya, manusianya, perihal yang saru-saru (kelamin) dan seperangkat alat-alatnya ya sama saja.
Agaknya ini yang kemudian menjadi dasar, bahwa sex education itu penting. Memahami ketapatan -- guna kelamin yang dimiliki. Ternyata ada pendidikannya.Â
Dalam buku "Kitab Kelamin" ini syarat dan lekat akan beberapa hal yang tidak lazim diperbincangkan orang. Katanya saru. Padahal disadari atau tidak itu adalah bagian dari kesadaran bersama yang kadang rodo wagu jika dibahas di forum-forumh atau siklus komunikasi yang umum.Â
Beberapa artis yang menonjolkan buah dada yang sintal, bibir yang manis dan lembut, serta paha yang menjuntai dibahas dalam buku ini. Yang menarik, adalah dampak sosialnya. Ruang-ruang privat yang diumbar-umbar, agaknya menjadi kaca mata serius, agar muncul ramuan dan refleksi atas pendidikan sex.Â
Vatsyayana pernah mengemukakan dalam bukunya, Kamasutra yang masyhur. Bahwa empat prinsip meraih kenikmatan melalui perangkat dalam tubuh adalah dharma, artha, kama dan moksa. Bisa jadi ini adalah perjumpaan-perjumpaan kelamin yang mempengaruhi puncak kemenakjuban yang ditandai dengan getaran, jera dan tak berdaya (p.68).
Artinya, hal ini pada dasarnya bersifat sangat tertutup, rapat dan sulit dijamah. Namun, apa yang bisa dilakukan di jaman yang serba tampak dan diiringi keserbajenakaan ini? Kalau bukan mengurung batin agar bertapa, entah tapabrata pengetahuan, atau tapaing ngrame. Menahan diri di dalam keramaian.Â