Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - Santri

Alumni Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif (SKK ASM) ke-4 di Solo

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mbah Joli Rengeng-rengeng

25 Mei 2021   07:00 Diperbarui: 25 Mei 2021   06:59 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika berbicara kampung maka tidak melupakan dusun, pun begitu tidak akan melupakan desa, jika berbicara tentang desa maka ikut kecamatan dan kabupaten, begitu seterusnya, sampai pada titik sebuah wilayah yang dinamakan negara.


Namun cerita ini bukan tentang itu, santai, jangan emosi, boleh saya sulut satu batang rokok? Terima kasih koreknya.

Mbah Joli, pria berusia 50 tahunan yang memiliki tubuh tinggi, kurus, wajahnya tirus, kepalanya yang kecil penuh dengan rambut yang dominan putih dan kumal, kumisnyapun tebal, ia sedikit berjenggot. Kebanyakan orang di kampung Kidul Kali menyebutnya 99 kurang, bisa jadi mendekati gila. Pekerjaan sebagai pemulung mungkin menjadi satu jalan agar ia terbebas dari belenggu hujatan kebanyakan orang.

Sebentar, pisang goreng ini boleh dimakan? Saya ambil satu ya…

“Sankan paraning dumadi” Mbah Joli mengagetkan orang-orang di mushola.
Semua orang terdiam, entah mereka enggan menanggapi atau karena mereka menyempatkan berpikir sejenak tentang ucapannya. Setiap malam jum’at di mushola-mushola terdekat memang sering mengadakan selamatan, ia sering menghadiri acara tersebut, walaupun tidak membawa buah tangan, pun begitu tidak banyak orang yang menyadarinya, kebanyakan mereka menggunjingnya.

***

Di pos kamling RT 46 para penjaga malam yang piket sedang asik ngobrol, ditemani secangkir kopi hangat, api unggun dan televisi yang menanyangkan piala dunia, rupanya Jerman melawan Korsel.

Pak Narimo, salah satu dari penjaga malam tersebut tiba-tiba teringat ucapan Mbah Joli di musholla, isa’ tadi.

“Yang dimaksud Joli tadi apa ya,,, aku tiba-tiba teringat ucapan Batara Krisna kepada Arjuna di cerita pewayangan.” ucap Pak Narimo.
“Halah… Kuwi mung omongan nglantur wae… Wis ngerti Joli koyok ngunu,” ucap Turiman.
“Tapi iku isa diramesi, siapa tahu tembus empat angka,” sergah Suhar.

Obrolan pun semakin hangat, apalagi saat mereka mulai serius memikirkan “ramesan” atau tafsiran

“Ini kayaknya tentang bulan purnama ya Mo,” tanya Turiman
“Kok bisa?” pinta Pak Narimo.
“Sankan paran ing Dumadi, itu mendekati pada asal usul sebuah cahaya yang menyinari, kalau matahari maka tidak dumadi, nah yang dumadi adalah rembulan, nah kuwi jelase bulan purnama, berarti nomere 15, nah karena yang bilang Joli maka nomere 87, wes aku sesuk udu 1587 bolak balik.” analisis Turiman.

Pak Narimo dan Suhar mengangguk dan sedikit nyengir, pertanda mereka akan ikut beli angka tersebut.

***

Keesokan harinya, Pak Turiman terlihat berbahagia sekali, bahkan ia janji kalau nanti malam akan membawa 4 bungkus rokok Surya ke pos kamling. Mendengar kabar tersebut pak Narimo dan Suhar menimpali, “kalau cuma rokok kami kuat beli, ya sekalian bakar-bakar ayam, kan ada yang mau cairan.”

Pak Turiman segera ke pasar membeli ayam jantan, untuk nanti malam, padahal ia belum tahu, angkanya akan tembus atau tidak. Tapi karena ia yakin maka ia tepis kekhawatirannya.

Di jalan ia bertemu dengan Mbah Joli yang sedang mengangkut hasil pulungannya. “Sak iki akeh wong waras melu omongane Wong gendeng,” Mbah Joli berlalu sambil tertawa keras. Pak Turiman yang mendengar ucapan Mbah Joli, tiba-tiba mempercepat langkahnya ke rumah Suhar untuk menyerahkan Ayam yang sudah dibelinya. Ia kepikiran ucapan Mbah Joli barusan. Ia sandarkan tubuhnya di tembok emperan rumah Suhar sambil merenung, entah apa yang ia renungkan?

Malam sudah mulai menyekah pepohonan, lampu-lampu di jalan bak kunang-kunang yang terbang dan menebar cahaya di ekornya.

Pak Turiman gusar, karena belum juga ada informasi yang keluar angka berapa? Ia duduk di pos kamling sendirian, tiba-tiba Mbah Joli dengan tongkat bambu di tangan kirinya muncul dari jalan yang tak terbias oleh cahaya lampu di pos kamling, “Man… Sak ki jamane wis kuwalik, bengi wis ilang ademe, awan ilang panase, utek wis ora isa matuk karo atine,” ucap Mbah Joli mengagetkan.
“Ngomong apa sih Jol…kamu diam saja, itu ada kopi, minum sana!” sergah Pak Turiman

Suhar terengah-engah lari menuju pos kamling menemui Pak Turiman. Ia membawa ayam yang sudah siap untuk dibakar juga. “Tembus Pak, tembus… Sampean dapat askop 10 lembar.” ucap suhar berlomba dengan nafasnya yang terengah-engah.

Sebelum pak Turiman menjawab, Mbah Joli sambil menyempulkan asap rokok menyela, “Yo iku sing tak maksud man, kowe oleh nomer toh? Ngobong menyan ndek endi kowe, kok oleh wangsit nomer apik? ” kemudian memalingkan wajahnya. “wes wes…. wong sak iki jan wegah soro,” imbuhnya.

Pak Turiman yang kegirangan, tidak mengindahkan ucapan Mbah Joli, malah ia bertanya kepada Mbah Joli dengan nada riang, “Sesuk metu nomer piro Jol?” sambil menyodorkan sebungkus rokok untuk Mbah Joli, “Oalah kowe iki ancene wis gendeng Man,” Mbah Joli berlalu dengan iringan tawa Pak Turiman dan Suhar.

Sejak malam itu Mbah Joli tidak lagi banyak bicara kepada khalayak umum, sedangkan Turiman semakin menjadi meneliti setiap tingkah polah dari mbah Joli, ya tahu sendiri tujuannya apa?

Eitsss tapi ini bukan ending cerita lho ya… Karena ini bukan cerpen.

Mari-mari pisang gorengnya, mumpung masih hangat. Rokok dan kopinya jangan lupa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun