Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - Santri

Alumni Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif (SKK ASM) ke-4 di Solo

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Saya dan Jawa #1

24 Mei 2021   01:01 Diperbarui: 24 Mei 2021   01:21 142
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Whiteboard Jurnal


Pertama kali saya bersentuhan dengan jawa, agama jawa, penghayat dan islam itu sendiri; yakni ketika saya mulai tertarik kepada kata-kata mutiara atau lirik-lirik lagu jawa yang syarat akan makna. Tembang mocopatan, puisi dan lain sebagainya. Sastra jendra hayuning laku misalnya, ungkapan ini akan sangat banyak sekali arti dan maksudnya. Salah satunya adalah keindahan itu bermuara pada sikap atau prilaku.

Hal ini tentu membuat saya, apalagi yang dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan jawa dan madura, menjadi tertarik untuk mengulik tentang kejawaan saya terutama. Jawa secara garis besar, tidak hanya menjadi nama pulau, atau istilah bagi para ulama' (al-Jawi) yang pernah belajar dan mengajar di timur tengah. Jawa bisa bermaksud sebagai proses untuk peduli; Jawani. Seseorang yang peduli kepada sanak keluarga atau orang lain, ia akan mendapat predikat "Jowo".

Oleh sebab itu, jawa hanya akan menjadi sempit makna ketika diposisikan sebagai nama pulau saja. Sehingga perlu ada tanda petik dalam penyebutan jawa di setiap pembahasannya. Entah "Jawa" sebagai sebuah adat istiadat, sebagai pola atau sikap, sebagai representasi ajaran, agama dan lain sebagainya.

Tidak sedikit yang menilai bahwa ketika seseorang tertarik akan kejawaan maka tendensi asumsinya adalah kejawen, klenik, penghayat dan lain sebagainya. Semisal, ketika seseorang yang beragama islam, namun tertarik dengan keris atau dengan tembang-tembang jawa, asumsi yang muncul dari luar adalah kejawen.

Pada dasarnya, Dr. Suwardi E., pernah menggaris bahwa ia dalam salah satu bukunya "Agama Jawa", di mana Agama dan jawa seharusnya tidak dipahami secara sempit. Ia perlu ditarik pada nalar substansi.

Jawa bukan lagi sebagai pembahasan retorik, tetapi sebagai penilaian pribadi. Baik secara moral intelektual, atau moral spiritual. Dengan kata lain, ketika agama jawa menjadi satu topik pembahasan, maka perlu diketengahkan antara agama dan jawa itu sendiri.

Kepercayaan misalnya, sebagain besar lebih memandang sebagai laku abangan, karena jawa dilihat dengan sudut pandang abang, dan agama adalah putihan. Agama tak bisa lepas dari kepercayaan. Pun sebaliknya, kepercayaan perlu ruang yang mana akan menjadi sebuah simbol dari justifikasi tertentu.

Dalam banyak pembahasan, agama dan jawa menjadi sebuah perdebatan sengit. Agama tidak boleh dinodai dengan budaya atau kepercayaan sebagaimana abangan. Pun kepercayaan, dianggap menutup diri dari agama. Kalau kita ambil contoh Islam. Maka agama adalah ajaran yang dibawa oleh Kanjeng Nabi Muhammad Saw.

Sedangkan agama dan budaya seharusnya saling mengisi dan terbuka, seperti yang pernah dicontohkan oleh para Wali Sanga. Menerima wayangan, gamelan, tari dan lain sebagainya. Karena memang tidak sama sekali mempengaruhi pada ruang-ruang privat praktik agama-agama.

Jika yang dituju adalah Tuhan, maka secara substansi akan banyak pendekatan dalam mendekatkan diri kepada Tuhan. Sehingga bukan pada aspek religius semata, melainkan pada aspek sikap sosialnya juga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun