Ramadhan yang ditunggu, datang juga. Seperti biasa, Narendra dan keluarga menyiapkan jauh-jauh hari. Sebagai seorang imam surau, ia tahu betul apa yang perlu dipersiapkan menyambut Ramdhan tahun ini.Â
Istrinya membantu mengelap pagar surau; bulan lalu dapat waqafan pagar besi dari Ramlan. Ia mengatkan bahwa ini shadaqoh jariah istrinya, sudah empat puluh hari meninggalkan Ramlan dengan tiga putranya yang masih kecil. Kedua anak Narendra menyapu dan mengepel lantai surau. Karena seminggu lagi, umat muslim akan menyambut Ramdhan.
Narendra dipercaya sebagai Imam surau karena ia lama nyantri di pesantren tertua di Pasuruan. Ia terkenal alim dalam kajian-kajian fiqih. Tentu saja, masyarakat dusun coban memilihnya. Kampung kecil di bantaran sungai itu terkenal juga dengan arak oplosannya. Narendra terkenal keras menentang peredaran dan produksi arak oplosan tersebut. Walaupun demikian Narendra tetap berbaur dengan masyarakat.
Beruntung sekali Narendra, ia mendapatkan istri yang cantik dan sholihah, kedua anak mereka juga mengikuti jejak kedua orang tuanya. Oleh sebab itu Sebagian besar masyarakat kampung coban sungkan kepada mereka.Â
Di samping itu Narendra juga pengusaha lidi untuk sangkar burung. Sehari-hari ia dan istrinya bekerja produksi lidi. Dari sana ia mampu memondokkan anak pertamanya dan menguliahkan anak keduanya. Semakin hormat masyarakat.Â
Dalam kehidupan masyarakat, seorang anak mondok atau kuliah adalah pencapaian terbaik dalam hidupnya. Tak perlu kaya, dengan ilmu yang didapatkan, mampu mendulang rasa simpati dan membuat masyarakat kesemsem.
Keluarga saleh itu adalah keluarga ideal menurut Sebagian masyarakat. Tapi lumrahnya hidup. Pasti ada yang suka dan tidak suka. Begitu juga apa yang dialami Narendra dan keluarga baru-baru ini. Dalam acara penutupan tahlil rutin malam jumat, karena minggu depannya sudah masuk Ramdhan. Narendra mengutarakan uneg-unegnya.Â
Sebagai seorang muslim, ia risau dengan arak oplosan produksi rumahan yang ada di ujung hulu sungai. Menurutnya di bulan Ramdhan, kalau bisa, produksinya dihentikan sejenak, menghormati yang sedang beribadah puasa. Hal ini terdengar sampai kepada telinga Kang Darman; pemilik usaha arak oplosan itu.
"Nek gak oleh gawe arak, kongkon nyukupi bendinane keluarga kene, omongne Rendra." Surga Darman, sambil melemparkan punting rokok yang tinggal tegesan.
Kang Darman merasa tidak pernah merugikan Narendra dan keluarganya. Bahkan ia sering membantu keperluan-keperluan sosial yang dibutuhkan di masyarakat sekitar. Jangan tanya uangnya halal atau haram. Yang jelas, ia dijuluki sebagai orang yang blater; ringan tangan. Namun, arak identik dengan amoral, urakan, pemicu kerusuhan, perusak generasi. Hal inilah yang ditentang Narendra. Di samping hukumnya haram menurut agama.
Sebagai seorang yang teguh pada agama, tentu Narendra mewanti-wanti, lebih-lebih kepada anak-anaknya. Jangan sampai mereka terjerembap pada lobang yang sama seperti para remaja di kampung sebelah. Masih ingusan tapi sudah suka minum arak di gardu-gardu atau di gang-gang masuk ladang.
Memasuki malam Ramdhan, Narendra memimpin doa prepegan; istilah lain dari slametan masuk bulan ramdhan. Masyarakat membawa sebakul nasi lengkap dengan lauk pauknya ke surau. Lalu berdoa bersama setelah tarawih, kemudian bertukar berkat; nasi dan lauk yang sudah didoakan tadi.Â
Namun sebelum tadarus dimulai, Narendra memberi kultum, diawali dengan bersyukur kepada Tuhan, saling memaafkan dan mendoakan satu sama lain. Kemudian berpesan agar kegiatan-kegiatan yang saban hari dilakukan, seperti judi, mabuk-mabukan sementara ditinggalkan dulu selama bulan Ramdhan. Paling tidak memmberi penghormatan kepada yang sedang berpuasa.
Karena Narendra memberi kultum diperdengarkan melalui pengeras suara di surau, Darman mendengar kultum itu. Sepontan ia membanting asbak dan mengumpat. "Diantjuk...., masih saja dia mengurusi kehidupan kita." Sambil melotot kepada anak-anak dan pekerja yang sering ngumpul setiap malam di rumahnya.
"Kalau yang saya lakukan ini dosa, biar saya yang menanggungnya. Toh..., aku juga tidak minta makan ke Rendra atau keluarganya." Sambil menyulut rokok yang menyempil di bibir kirinya.
"Biasa kang, kiai anyaran." Sahut seorang yang berselendang sarung di depan Darman.
"Kalau begini terus, lama-lama aku mau bikin perhitungan dengan Rendra. Mboh, piye carane." Darman sambil menepuk pahanya.
Puasa di hari pertama, kampung coban terasa sepi dibanding hari-hari biasanya. Mungkin karena puasa pertama, banyak yang menyesuaikan kondisi. Biasanya pagi-pagi sudah menyantap singkong rebus ditemani segelas kopi yang asapnya masih mengepul melawan dingin. Namun pagi itu benar-benar sepi.
Di rumah Narendra pagi-pagi mesin bubut lidi sudah dipanaskan. Tanda kalau sebentar lagi sudah akan digunakan untuk mencacah bambu dan mbubut menjadi seperti lidi. Suranya terdengar bersama aliran sungai yang pelan namun sesekali menghantm batu dan curukan, sehingga arusnya menimbulkan busa dan suara gemericik yang lekat.
Tidak seperti biasa, Kang Darman pagi-pagi sudah lebar matanya. Biasanya ia masih molor. Paling pagi ia bangun jam 12, namun beda dengan hari pertama puasa itu.
Asap mengepul dari mulutnya, sumbernya dari rokok yang dihimpitkan di bibirnya. Ia berjalan menyusuri pinggiran sungai, jalan setapak itu adalah satu-satunya jalan hilir mudiknya masyarakat menuju jalan besar. Jalan itu juga menjadi penghubung kampung satu dengan kampung yang lain, tentu jaraknya lebih dekat. Ketimbang harus memutar lewat jalan besar.
Sesampai di rumah Narendra, Kang Darman menggedor pintu dapur Narendra. Bising suara mesin bubut mengganggu suara Darman. Sehingga anak pertaman Rendra yang mengetahui kedatangan Kang Darman, mempersilahkan masuk. Lalu memanggil ayahnya. Seketika itu mesin dimatikan. Rendra menuju ruang dapur yang bersebelahan dengan ruangan di mana ia membubut bambu.
"Sampean kang..., ada angin apa ini? Pagi-pagi sudah mampir di rumah kami." Sapa Rendra
"Gini, Rendra, kamu kan imam surau, kamu tahu usahaku adalah produksi arak. Perkara arak itu dioplos, itu sudah bukan tanggung jawabku. Dan aku juga tidak pernah mengusik usahamu. Lakog kamu tadi malam bicara nrocos seenaknya." Tanpa basa-basi
"Sebentar kang aku ndak ngerti maksud sampean."
Narendra melihat Kang Darman sudah memerah wajahnya, tanda kalau ia memendam kemarahan. Tetapi Rendra menanggapinya dengan kalem.
"Dra..., kowe imam, kowe sholeh, kowe wong suci. Perkoro aku bobrok, iki duduk urusanmu, aku gak jaluk mangan nang awakmu. Dadi ora usah ngracuni masyrakat karo pidatomu iku."
"Oalah kang, iku kan usahaku dakwah, perkoro melu opo ora, duduk hakku, kabeh wis dadi keputusane Sing Nggawe Urip."
"Tapi omonganmu nggarai aku mangkel, anak buahku kerjo golek sandang pangan gawe keluargane, lah lek prei ate mangan opo terusan?"
"Perkoro rejeki wis enek sing ngatur kang."
"Lembemu..., terus wong kon ngitung tasbih terus ngunu a? kerjo, usaha, ikhtiyar. Iku sing penting."
"Tapi carane sampean kleru kang? Iku barang haram."
"Iku lak agomo a sing ngomong, perkoro menungsane, iki wis bedo. Wis aku muntap iki, dadi mulai sak iki ora usah ngurusi aku karo anak buahku, aku aku, awakmu yo awakmu."
Tanpa pamit, Darman pergi. Mungkin ia masih mampu menjaga kemarahannya agar redam. Di sisi lain Rendra akhirnya diselimuti rasa bersalah. Tidak enak. Serba tidak nyaman. Tetapi sudah menjadi kewajiban sebagai seorang mulim untuk mengingatkan muslim yang lain.Â
Dilema, kadang apa yang menjadi kebenaran menurut kita, belum tentu benar bagi orang lain. Pun sebaliknya, apa yang kotor dan jelek menurut kita, belum tentu bagi yang lain. Dari sini hukum relative menjadi berlaku. Â Narendra sedang dalam posisi dilema.
Beberapa jam kemudian, Gempa mengguncang sangat keras. Bahkan merobohkan atap bagian depan surau. Ternyata gempa itu sampai keluar kota. Banyak rumah yang ambruk. Lebih-lebih di daerah bantaran kali kampung coban.Â
Masyarakat panik, isak tangis terdengar di mana-mana, genteng-genteng berjatuhan, bahkan tiang listrik roboh. Sungguh awal Ramadhan yang melahirkan tangis. Narendra duduk lemas melihat surau yang roboh bagian depannya. Ditambah beberapa rumah tetangganya yang roboh.
"Apakah ini jawaban atas kesombonganku, karena menganggap orang lain lebih buruk dari pada diriku. Atau menjadi teguran bagiku, ucapan, tausiahku tidak cukup Ketika bencana sudah melanda seperti ini." Gumam Narendra.
Di lain pihak, Darman dan anak buahnya membantu menyisihkan bekas reruntuhan dinding dan genteng milik tetangganya. "Sudah jangan risau, sementara ngumpul di rumahku, sampai rumahmu selesai dibetulkan." Pinta Darman.
Darman yang mendengar bahwa surau roboh, lalu lari tunggang langgan menuju surau. Ia melihat Narendra duduk lemas memandang suraunya. Ia melangkah pelan mendekati Narendra yang duduk. Sedangkan Sebagian orang menggotong dan membersihkan reruntuhan atap surau. Tampak sedih dan susah Narendra. Darman tidak langsung menyapanya. Ia tampak ragu, tetapi ia tetap maju. Sampai akhirnya ia menepuk bahu Narendra.
"Wis..., Rasah dipikir. Bangun maneh Suraune. Aku sing biayai."
"Tapi Kang...?"
"Rasah tapi-tapian, ayo dibangun maneh, sakne wong-wong sing arep traweh."
Narendra tertunduk, antara malu dan bersyukur. Ia tiada lagi berpikir uang apa yang digunakan Darman untuk membangun kembai suraunya, hasil jualan arak? Atau dari hasil judi? Yang Rendra lihat adalah ketulusan Darman.Â
Lagi-lagi, belajar memang tidak hanya dibangku sekolah atau di atas dampar pesantren. Tetapi selama dan sepanjang kehidupan adalah medan untuk belajar. Begitulah tautan Narendra membatin. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H