Pernahkah anda jatuh sedalam-dalamnya dalam kehidupan ini? Anda boleh memaknai jatuh dengan arti sebenarnya. Silahkan. Dalam hal ini saya ingin bertanya kepada siapapun, tentunya yang membaca tulisan ini.
Ada ragam pola manusia dalam menjalani kehidupan. Salah satunya adalah dengan meneguhkan rasa cinta kepada Tuhan. Yang mana kiat-kiat untuk mencapai itu semua dipelajari dengan tekun. Tetapi ada juga yang mengejawantahkan cinta kepada Tuhan dengan memenuhi tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga atau ibu rumah tangga.
Artinya ada dua kondisi yang tentu sama-sama baiknya. Di satu sisi, secara spesifik melihat bahwa untuk mencapai Tuhan maka perlu tirakat dan lain sebagainya, tetapi di sisi lain, tirakatnya adalah memenuhi hak dan kewajiban yang disandang secara kemanusiaan.
Ketika anda terjatuh, tergelincir atau terjungkal, pasti anda akan lebih hati-hati kedepannya. Tetapi perlu disadari bahwa manusia adalah tempatnya salah dan lupa. Namun saya yakin pasti anda akan lebih hati-hati, ngastiti, ketimbang sebelumnya. Saya pernah jatuh dan itu membuat semua orang di skitar saya terdampak. Baik secara moril pun mental. Ada yang datang dan ada yang pergi. Hal ini agaknya pernah dilalui oleh siapapun.
Sementara itu, bagaimana dengan sikap yang harus kita pilih? Agaknya setiap manusia memiliki cara dan upayanya masing-masing. Saya bukan tipe orang yang berani dengan konflik. Saya cenderung menghindari konflik. Walaupun itu semua pasti dalam satu naungan konflik itu juga.
Ujar-ujar jawa mengatakan ngetok gedhang sak oyoto, perumpamaan ini melambangkan bahwa menyelesaikan masalah seharusnya sampai ke akarnya. Memotong pisang sampai akarnya. Begitu kira-kira makna tekstualnya. Tetapi akar sebuah masalah bias saja bersumber pada diri sendiri atau disebabkan orang lain, hal ini adalah asumsi sebab akibat. Agaknya yang selalu saya alami adalah kegalauan dan kegaduhan dalam diri.
Anda pasti juga pernah mengalami dilema. Apapun atau siapapun anda. Pasti pernah mengalami hal itu. Apakah anda bersikap bijaksana? Atau jangan-jangan bijaksana hanya dimaknai dengan sepemahaman anda? Hal ini yang perlu saya pelajari dari anda semua. Saya takut memaknai kebijksanaan (wisdom) hanya dengan pemahaman saya. Karena sampai hari ini pemaknaan atas kebijaksanaan masih saja memiliki sisi berat sebelah, belum sampai pada tahap maslahah. Hal inilah yang menjadi kegalauan saya.
Jika saja kebanyakan di sekitar kita berkata bahwa sebenarnya "anda perlu introspeksi diri", pasti hal ini akan kita lakukan. Â Tetapi lagi-lagi manusia memiliki ruang yang sangat luas untuk salah dan lupa. Hal ini fitrah manusia itu sendiri.
Saya punya anak dan istri, alhamdulillah orang tua saya juga masih lengkap, biak orang tua kandung ataupun mertua. Merekalah pusaka saya, merekalah jimat saya. Saya hanya berharap doa dan support dari mereka. Itulah yang menjadi gondelan atau pegangan saya.
Ketika ada masalah yang membuat kita terjatuh, pasti kita akan kembali kepada mereka. Khususnya saya, saya bertanya apa yang seharusnya saya lakukan, agar saya bisa bangkit lagi dan belajar untuk menata diri.
Hal inilah yang ingin saya tanyakan kepada anda semua, bagaimana upaya yang anda lakukan ketika anda ada di bawah atau anda terjatuh? Bagaimana anda memaknai perjalanan dalam hidup ini? Bagaimana sebenarnya kita sebagai manusia kepada Tuhannya? Dan bagaiaman seharusnya posisi kita kepada keluarga?