Jika hari ini masih banyak yang menghukumi sana sini, tentu inilah yang akhirnya belum lepas dari dirinya sendiri. Belum selesai dengan dirinya sendiri. Bahwa semua butuh pengakuan iya... Dan seharusnya jangan dibatasi kemunafikan.
Karena mau tidak mau, manusia jika masih manusia maka akan dibatasi ruangnya oleh persepsi. Bahwa merasa dekat dengan Tuhan tidak perlu diumbar-umbar bahkan lalu dikultuskan.
Karena menuju Tuhan banyak jalan. Menuju ke ruang kedap suara. Tanpa menghakimi dan menilai-nilai saudaranya. Karena tiada kebikan tanpa muncul keburukan. Yang ditakutkan adalah kamoflase-kamoflase. Alibi-alibi.
Manusia tidak dilahirkan sama, maka jangan menuntut agar sama, baik diruang intelektual pun supranatural. Ketaqwaan bersifat sangat personal. Kemasalahatanlah yang sifatnya komunal.
Jarang bahkan hampir lupa bahwa nilai yang ingin disempurnakan oleh kanjeng Nabi adalah memaslahahkan. Budi yang purna adalah menyadari kemanusiaannya dan memaslahahkan manusia.
Dicatat atau tidak, itu tidak penting. Karena tugas utamanya membuat kemaslahatan bukan pengultusan, bukan pula membuat lingkaran yang membatasi diri dari lian.
Jika memang tiada ingin membedakan, maka seharusnya berhenti menilai dan memunafikkan diri dengan penilaian. Belajar menyembunyikan diri bukan lantas beralibi bersembunyi tapi ingin kelihatan. Ingin dipuja dan diujo-ujo.
Laulaka, laulaka ya muhammad....
Pada intinya, karena didikan Kanjeng nabi yang memata rantai sampai sekarang, kemaslahatan itu lebih utama dari pada kebaikan kita sebagai manusia.
Sepi ing pamrih ujaran jawanya, tetapi hal ini perlu dipelajari bagi siapa saja. Maka wajar jika kanjeng nabi berpesan belajar itu sampai di liang lahat. Karena manusia sebagai salik fungsinya tiada lain selain belajar dan terus belajar.
Maka bersyukur, sampai hari ini masih banyak manusia yang selesai dengan dirinya sendiri tanpa perlu dieluh-eluhkan dan dibangga-banggakan, justru bersembunyi serapat-rapatnya.