Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - Santri

Alumni Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif (SKK ASM) ke-4 di Solo

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Berbagi Peran, Sebuah Keniscayaan

31 Oktober 2020   20:46 Diperbarui: 1 November 2020   03:53 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Theconversation.com

Suami menggantikan peran istri, agaknya ini adalah tradisi keluarga yang seharusnya bukan bersifat mendesak. Melainkan ada pranata tugas dan tanggung jawab suami pun istri.

Istri tidak hanya mapan, macak, manak kalau menurut pandangan estren dalam budaya jawa. Istri lebih dari sekadar pasangan hidup. Istri memiliki posisi paling puncak dalam keluarga.

Mengapa? Karena istrilah peran mendidik anak menjadi terbantukan, bahkan perannya sangat signifikan. Karena istrilah (dalam ruang agama) suami melaksanakan ibadah yang paling mulia di mata Tuhan.

Istri, garwa atau sigarane nyawa, atau separuh jiwa bagi suami. Oleh sebab itu istri tidak hanya pelengkap, melainkan pengampu atas terjalinnya cinta kasih dalam keluarga. Hal ini yang kemudian dikenal dengan "Wudda"

Secara filosofis anak tidak akan lahir tanpa adanya istri, pun suami. Dengan kata lain saling mengisi dan berbagi bukan hanya semata posisi yang bersifat sangat mendesak, melainkan harus dijalani dan disepakati bersama.

Teks kitab suci mengatakan bahwa tanggung jawab suami lebih utama atas istrinya. Bukan hanya sebatas sebagai pemuas birahi, atau libido semata. Istri memiliki ruang kesadaran bagi suami agar melatih dan menganalisis diri.

Istri; surga nunut neraka katut, begitulah ujaran jawa mengatakan. Dengan kata lain wa i'tasimu bihablillahi jami'a adalah rangkaian otoritas suami atas nasib istrinya dan keluarganya.

Maka wajar jika seharusnya peran istri di dapur, di kamar mandi, seharusnya dilakukan oleh suami bukan oleh istri. Mencuci misalnya, memasak pun demikian.

Tetapi apakah peran ini kemudian disetujui? Tentu tidak, karena sebagian sejarawan muslim mengatakan bahwa jika saja tidak karena diberi mahar dalam menikahi seorang wanita maka ia hanya sebatas budak.

Dengan kata lain, pernikahan itu di satu sisi mengangkat derajat sang wanita. Karena tradisi masa lalu wanita hanya sebatas budak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun