Saya mulai mengikuti diakusi-diskusi ilmiah di Sekolah Tinggi Filsafat al Farabi. Juga mengikuti organisasi PMII. Di mana di sanalah saya mulai menekuni kajian sosialisme, keislaman, gerakan sosial, aswaja dan lain sebagainya.
Dari situlah saya belajar menulis esai dan opini. Terkadang merespon apa yang sedang terjadi di sekitar pun negara. Apalagi saya ketemu teman di lingkar diskusi itu, yang mana ia sudah sering mengirimkan tulisan ke beberapa media cetak dan diterima. Apalagi dulu sering ada lomba esai tingkat kampus, lintas organisasi, dan lain sebagainya.
Akhirnya saya mulai belajar padanya; oh iya namanya adalah Herlianto. Ialah yang mengenalkan saya pada tulisan esai. Di samping ada Pak Kyai Dlofir yang mengenalkan bagaimana menulis yang isinya daging semua.
STF al Farabi punya peran besar atas diri saya. Terutama dalam bidang pemikiran dan penulisan.
Sampai akhirnya saya kenal beberapa orang di komunitas menulis sastra (kobis). Kita sering ngumpul di kantor kompas di kota malang. Dari sanalah saya belajar banyak hal tentang kepenulisan. Sampai akhirnya saya menerbitkan buku pertama saya tentang Gus Dur; Multikulturalisme kontekstual Gus Dur.
Lambat laun saya mencoba menulis dan mengirimkan tulisan saya ke media-media. Ada yang diterima ada juga yang ditolak. Sampai akhirnya saya berjumpa dengan Kompasiana. Di situlah awal mula saya mengekspresikan segala tulisan saya dan-lalu saya upload ke Kompasiana.
Bukan materi orientasinya, eksistensi iya, tapi hanya berapa persen saja. Yang jelas saya merasa senang bisa bergabung dengan kompasiana. Saya bisa terus belajar menulis dan membaca. Karena kompasiana menyediakan fasilitas tersebut.
Kita bisa menulis apa saja, mengupload kapan saja. Dan kita dipertemukan dengan beragam penulis dari seluruh penjuru Indonesia.
Buku-buku saya yang sudah terbit, sedikit banyak adalah atas sumbangsih kompasiana dan kompasiane. Dari panjenenganlah saya belajar banyak hal, utamanya dalam dunia penulisan. Apalagi sampai menjadi buku. Terima kasih telah memberikan saya kesempatan untuk menulis dan paling tidak dengan begitu, bukti bahwa saya pernah hidup adalah adanya tulisan saya di kompasiana.
Oleh karenanya, 12 tahun kompasiana adalah rasa syukur yang tiada tara. Khususnya bagi saya, penulis amatir yang selalu ingin belajar menulis dan membaca. Bukan masalah menjadi tulisan utama, pilihan editor atau hadiah yang ditwarkan kompasiana. Karena bisa dimuat saja dan bisa sampai kepada setiap pembaca saya sudah bersyukur dan banyak-banyak terima kasih.
Bagi saya, kompasiana adalah ruang ekspresi diri yang bebas dan mampu memberi ruang bagi setiap penulis dan pembaca. Karena bagaimanapun setiap tulisan pasti akan menemui pembacanya.