Ibu jari itu menjadi saksi bisu. Pun terombang-ambingnya ia dari Hastina ke hutan lalu ke Paranggelung. Tetapi semangatnya tak tertandingi oleh siapapun. Semar sempat memujinya, ia menyampaikan kepada Ekalaya, "Duh Bambang Eklaya, ksatriya tan kinasih, adiguna, adigdaya, kaduka kadilangit, sabda pandita kang ajagi ruh sampurnaning jagad ati nira."
Semar menjaga hatinya, semar menjaga tawa dan senyumnya. Dari jauh semar menabur benih bunga di jelaga yang Ekalaya bangun. Sang Bambang Ekalaya, ruang mewaktu bersamanya. Bersama semangat yang tiada runtuh dan luluh oleh himpitan dan oprak-oprak sang nafsu.
Akhirnya, saya ingin melihat teman saya itu dari jauh, dari ruang kedap suara, cahaya yang menyetubuhi dirinya adalah cahaya "sakderma" tinugas dados satria, hang ikhlas tan lupa-lupa. Refleksi ini teruntuk teman saya di ruang tanpa jelaga. Dan -- lalu kau cipta jelaga itu. semoga bahagia selalu.[]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H