Kondisi manusia bisa berubah kapan saja. Baik dalam segi kesehatan maupun perasan dan kondisi psikologisnya.Dalam ilmu psikologi hal tersebut sudah menjadi kewajaran manusia.
Menurut Abdul Mujib dalam bukunya Teori Kepribadian Prespektif Psikologi Islam mengatakan bahwa, emosi, semangat, suka, duka, bahagia dan lain sebagainya adalah rasa yang timbul tenggelam dalam diri manusia.
Maka sudah menjadi kewajaran jika manusia memiliki fleksibilitas dalam segala hal. Kadang naik dan kadang turun, kadang juga datar. Konteks kewajaran bukan berarti tidak bisa diatur, pasti ada cara untuk memanagenya. Karena manusia memiliki akal sebagai pembeda dari makhluk yang lain. Hal ini juga dikutip di dalam kitab suci bahwa manusia memiliki potensi yang luar biasa (Qs: Attin,4).
Oleh karenanya perlu adanya manajemen di dalam diri, agar hal yang dianggap wajar menjadi satu dimensi berpikir. Bahwa manusia terbagi menjadi beberapa ruang dalam konteks sufi yaitu; ruh, nafs (nafsu, kecenderungan), jisim (badan), qalb (hati) dan aqal (pikiran). Di mana kesemua bagian ini memiliki pola dan gerak yang berbeda-beda. Dan rasa atau kondisi yang bergerak fleksible, perlu adanya kiat untuk mengatur agar lebih tenang dan tertata.
Dalam kitab shifat ash shafwah jilid ke-4 yang ditulis oleh Ibnu Al Jauzi (579 H) menerangkan bahwa ada lima kiat agar tenang hatinya. Karena segala rasa bermuara di dalam hati. Bersumber dari Yahya bin Muad Ar Razi (w 258 H).
1. Membaca Al Quran dengan mentadabburi (merenungkan) maknanya
Pertanyaannya adalah mengapa harus membaca al Quran? Seharusnya pergi konsultasi dengan motivator, kyai, habib, atau siapa saja yang dianggap bisa memberi solusi. Ternyata yang menjadi masalah adalah, bahwa tidak sedikit yang membaca al Quran dengan sepintas lalu, tanpa merenungkan apa makna dari ayat yang dibacanya.
Semangat sayyidina Umar ibn Khatab dalam memajukan islam salah satu kiatnya adalah dengan ide kreatif tentang membukukan al Quran. Pengalamannya dengan al Quran sangat tidak terlupakan, ia menangis kala mendengarkan adiknya membacakan al Quran, padahal ia dalam kondisi belum bersaksi atas Nabi Muhammad dan Allah.
Dengan kata lain, membaca al Quran tidak hanya pada kalimatnya saja, tetapi juga maksud dari maknanya. Karena al Quran adalah petunjuk bagi siapapun. Khususnya bagi mereka yang bertaqwa kepada Tuhan.
2. Berpuasa, mengkosongkan perut