/1/
Wabah Korona memang bukan satu-satunya wabah yang meluluhlantahkan sistem kehidupan. Utamanya bidang ekonomi.Â
Ekonomi menjadi pembahasan akan perlambangan sebuah kebutuhan hidup. Pun sesuatu yang harus dipenuhi. Sebagai tolak ukur pemenuhan kebutuhan yang lain.Â
Di akhir abad ke 19 juga ada wabah yang bernama Kolera. Cuma menurut catatan hanya melanda Mekkah. Tentu kaitannya dengan Ibadah haji.
Namun abad-abad sebelum itu di Jawa, utamanya Tengah dan Timur ada pagebluk yang dikenal dengan istilah lampor. Menurut catatan Babad tanah jawi selepas Amangkurat I meninggal terjadi pagebluk yang begitu dahsyat. Sebagaian sumber mengatakan dengan ujaran jawa "isuk lara, sore mati" pagi sakit, sorenya meninggal. Ada juga yang mengatakan seketika itu juga meninggal.
Jika wabah yang menyerang hewan ternak, sehingga banyak yang mati dinamakan aratan, bisa jadi lampor  juga demikian. Yang perlu kita garis bawahi adalah dahsyatnya wabah tersebut, utamanya menyangkut nyawa.
Korona masih bisa ditangani dengan isolasi dan penguatan imun. Hanya saja menurut ahli di PBB sana, penularannya yang begitu cepat. Ada yang bersikap biasa-biasa saja, ada juga yang ketakutan luar biasa.
Kembali kepada pagebluk, dampak yang ditimbulkan sama; kecemasan dan ketakutan, bahkan nyawa sekalipun melayang. Ilmu tenger atau penanda menyebutkan bahwa ketika banyak manusia yang meninggal, maka ternak dan hasil bumi dihargai murah, sedangkan emas mahal. Atau sebaliknya.
Ilmu penanda inilah yang kemudian menjadi pijakan masyarakat yang melestarikan tradisi lama; biasanya membuat tumpeng, upacara-upacara dan lain sebagainya.Â
Dengan kata lain, setiap permasalah pasti ada solusinya, walaupun melalui ruang-ruang metafisik. Karena bagi setiap manusia meyakini kenyataan Tuhan, namun tetap melihat dengan kaca mata metafisiknya.