Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - Santri

Alumni Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif (SKK ASM) ke-4 di Solo

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Puasa dan Isolasi Diri

24 April 2020   23:17 Diperbarui: 24 April 2020   23:38 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ramadhan bulan penuh dengan bermacam-macam keberkahan. Beragam informasi mulia mengawali datangnya bulan di mana al-Quran diturunkan. Umat muslim berpuasa, beribadah tarawih, tadarus dan menambah muatan ibadah yang lainnya. Tetapi bulan Ramadhan kali ini berbeda dengan bulan Ramadhan tahun lalu.

Covid-19 menjadi alasan utama mengapa harus beribadah di rumah. Tarawih di rumah. Tadarus di rumah. Pandemi menjadi ujian bagi semua umat manusia di dunia hari ini.

Berakar pada prinsip Itiqadiah maka, sabar dan menambah porsi introspeksi diri adalah kunci utama menjalani ibadah di bulan Ramadhan. Tuhan menganjurka kepada umat manusia untuk membersihkan hati.

Dari segala prasangka, unek-unek, dan kecenderungan-kecenderungan nafsu belaka. Oleh karena itu bulan ini sangat tepat untuk mengarungi prasangka-prasangka, membalurnya dengan kejernihan berpikir, membasuhnya dengan air suci kesadaran.

Wabah juga dari Tuhan. Tugas kita adalah mengambil hikmah dari setiap yang ditampakkan oleh-Nya. Akan menjadi rahmat atau justru malapetaka itu tergantung bagaimana kita menanggapinya. Kita sebagai manusia memiliki kewajiban untuk mentadabburi setiap apa saja yang ada di muka bumi ini.

Pandemi bisa berarti jalan menuju kesadaran baru. Tuhan tidak akan memberi ujian kepada siapapun, jika tidak sesuai dengan kemampuannya (kapasitasnya). Adanya wabah ini jika dipahami sebagai ujian maka, Tuhan memberi solusi atas ujian tersebut.

jika wabah ini dipahami sebagai jalan hikmah maka akan terurai hikmah-hikmah dari perenungan dan introspeksi tersebut. Maka kembali lagi kepada kita sebagai manusia. Sebagai khalifah di muka bumi ini.

Banyak persoalan-persoalan yang berbelit-belit, politik, kepentingan bias kota, miminmya kesadaran kedaulatan pangan dan agraria. Ternyata cukup memeras otak dan menyibukkan diri sebelum adanya pandemi.

Perekonomian menjadi sangat rupek. Krisis di mana-mana, kejahatan silih berganti demi mencukupi kebutuhan perut dan fantasi. Jika boleh berpendapat, kesemua itu adalah dinamika kehidupan kita di dunia.

Di satu sisi banyak yang tergelincir karena cenderung menyibukkan diri dengan dunia, di sisi lain ada yang cermat meneliti secara mendalam terkait apa itu dunia dan gejal-gejalanya. Oleh karena itu bukan permasalahan bagaimana dan di mana ibadahnya, tetapi bagaimana setiap ibadah menjadi perjalanan tadabburnya.

Imam Ali karamallahuwajhah mengatakan bahwa telah kutalak tiga kau (dunia). Tetapi Ia juga menegaskan bahwa di dunia inilah tempat mencari pengetahuan dan hikmah bagi orang-orang yang ingin meraihnya.

Pada akhirnya baik ibadah di rumah ataupun ibadah di mana saja akan kembali pada bagaimana sikap dan kesadaran manusianya. Setiap problem pasti ada solusinya. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan Tuhan, Inna maa al usry yusra. Bahwa setiap kesulitan pasti dibersamai dengan kemudahan. Falsafah jawa mengatakan gampang-gampang angl, (red: masih banyak mudahnya ketimbang kesulitannya).

Oleh sebab itu pandemi ini menjadi jalan kesadaran terkait puasa dan isolasi diri. Puasa berarti menahan, sedangkan mengisolasi diri adalah memberi batasan pada diri terkait dengan hal-hal yang bersifat kecenderungan nafsunya.

Menjaga pola pikirnya, membangun kesadarannya, merekontruksi niat dan orientasinya, adalah bagian dari pola isolasi yang seharusnya. Karena bisa jadi, pandemi ini adalah proses merubah kebiasaan manusia, jika akhirnya bersamaan dengan ibadah puasa maka titik temunya adalah pelajaran untuk mengolah kembali pola sikap dan pikirnya.

Jika kebiasaan lalu adalah kecenderungan yang bersifat bias, maka sejauh dengan pemahaman baru perihal pola mawas diri, tentu kita telah sampai pada kehidupan yang normal seimbang dan sejajar.

Tidak terlalu takut, pun tidak terlalu berani dalam menghadapi pandemi. Karena pada dasarnya pandemi juga menjadi bagian dari apa yang diberikan Tuhan kepada manusia, lebih-lebih sebagai bahan untuk merenung dan berpikir secara mendalam. Semoga Tuhan menolong kita semua.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun