Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - Santri

Alumni Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan Ahmad Syafii Maarif (SKK ASM) ke-4 di Solo

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Ramah Anak, Benarkah?

22 Januari 2020   10:17 Diperbarui: 23 Januari 2020   07:02 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mengenal pendidikan seperti meraba punggung sendiri. Bahwa selalu berganti pola dan konsep adalah tradisi yang selalu "begitu saja". Tiap tahun bergulir program pengembangan, utamanya dalam pendidikan. 

Pendidikan ramah anak berlandaskan pada prinsip non diskriminasi kepentingan, hak hidup dan penghargaan terhadap anak. Sesuai dengan UU No. 4 tahun 2002 tentang perlindungan anak.

Prinsip non diskrimininasi seperti memberi kebebasan berkembang terhadap anak. Dalam mengenal lingkungan, bahasa, budaya, norma-norma dan tata laku kehidupan sosial lainnya. Seperti impian kebanyakan lembaga pendidikan. 

Namun, impian itu kadang kandas di tengah perjalanan. Bahwa pembentukan karakter anak bukan lagi pada wilayah anak itu sendiri. Melainkan pada pola dan sistem yang dijalankan suatu lembaga pendidikan.

Anak-anak cenderung bergulat dengan beragam soal dan kode-kode kompetisi. Baik di dalam kelas maupun di ruang yang lebih luas. Seakan-akan, mereka adalah ujung tombak identitas lembaga pendidikannya. 

Anak-anak sudah disetting untuk melulu menerima suapan buku paket dan segudang soal. Anak-anak diwajibkan menguasai lebih dari 10 mata pelajaran. Dibuktikan dengan pretes dan model evaluasi kompetitif.

Pendidikan ramah anak diselenggarakan dengan memahami dunia anak adalah dunia bermain. Tetapi ada prinsip persaingan sehat di dalamnya. Pertanyaan sederhananya adalah apa keuntungan dari persaiangan? 

Selama saya mengajar, yang saya temui adalah tingkat stress yang luar biasa yang dialami oleh anak-anak. Belum lagi ketika ada kasus bullying. Kepercayadirian anak-anak kembang kempis ketika mereka menghadapi soal ujian. Tidak sedikit yang mengeluh saking banyaknya mata pelajaran yang harus dikuasai. 

Maka bukan salah anak-anak, ketika mereka menggunakan beragam cara untuk menyelesaikan ujian. Pelajaran terpentingnya adalah membangun kemandirian itu bukan dengan seabreg soal yang harus dijawab. 

Tetapi memiliki kesadaran untuk menanyakan permasalahan yang belum ia mengerti. Dan saya yakin tidak sedikit dari peserta didik yang kesulitan bertanya ketimbang menjawab. 

Pelajaran bertanya adalah pelajaran yang seharusnya selalu ditanamkan. Sayangnya, tidak sedikit pendidik bahkan orang tua yang terlalu acuh ketika anaknya banyak tanya. Kadang dijawab dengan sanggahan yang menciutkan nyalinya. "Jangan banyak tanya! Tidak baik." 

Padahal, untuk menemukan kemandirian bukan dengan jaminan kepintarannya menjawab dan menyelesaikan soal-soal. 

Oleh karena itu penting sekali pendidikan, utamanya lembaga pendidikan, pendidik, orang tua dan masyarakat, untuk memberi ruang yang luas dan lebih longgar, agar anak-anak mampu menemukan pola genetik yang alami, gerak pertumbuhan dan perkembangan alami. Tanpa adanya tekanan dari cita-cita yang bukan murni kecenderungannya.

Kasus bullying, isolasi, perundungan, pemilahan, pelecehan seksual, adalah bukti bahwa peserta didik belum memiliki ruang yang ramah dalam pendidikan. 

Alih-alih menemukan kemandirian, kepribadiannya saja terisolasi oleh kecemderungan dari orang tua, pendidik dan sistem pendidikan. Lantas apakah dengan tidak menggunakan sistem, menjamin anak-anak berkembang? 

Sistem adalah pola manajerial, tidak bersistem juga termasuk pola manajerial. Jadi masalahnya adalah bagaimana memberi ruang yang luas terhadap anak untuk berkembang. Kalau sistem pendidikan yang diterapkan justru menyempitkan ruang anak-anak. Maka bisa dirubah dengan sistem yang lain. 

Jika pendidikan ramah anak adalah sistem yang bisa memberi ruang lebih luas terhadap anak-anak ya monggo dilakukan dengan maksimal. Tetapi apakah sudah siap dengan beragamnya peserta didik? Baik secara mental maupun kapasitasnya. 

Jika ada 10 anak dalam kelas, berarti ada 10 karakter, keunggulan dan kekurangan. Jika demikian adakah toleransi yang diterapkan? Misal, saling membantu antar peserta didik untuk menemukan karekter masing-masing. 

Benarkah pendidikan ramah anak menyelam sedalam mungkin terhadap kondisi dan latar belakang anak-anak? Sehingga terbangun toleransi yang kuat dalam berlangsungnya interaksi pendidikan.

Jika bisa dipastikan maka harapan yang paling utama adalah, tidak ada lagi pelecehan seksual di lembaga pendidika. Tidak ada lagi sikap bullying. Tidak ada lagi kompetisi menuju paling ini dan itu. Dan menjamin ruang yang luas bagi peserta didik. 

Rumah Jaga Kali, 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun