Hujan, sapalah kami dengan mata airmu.
Yang mengalun indah dalam benak-benak para kekasih.
Pohon-pohon tertawa lepas mengayuh ranting-rantingya.
Memaki burung untuk tetap tertawa dan benyanyi.
Padi yang tertunduk iba memandang rerumputan gajah, menjulang mengais embun teriring angin.
Sejuk menerpa air mata yang berlinangan.
Membasahi trotoar penjara tanpa ruang, membanjiri bukit-bukit yang sempit, merangkak ketepi gunung yang tiba-tiba merendahkan diri.
Menyusuri riuh rendah teriakan ababil di pasar-pasar, bahkan menerobos benteng-benteng durjana musisi tak berirama, petikan gitar tak bersenar bersenandung bersama seruling bamboo tak berlobang, menutup diri menanti Hujan.
Hujan, sapalah kami dengan mata air, yang berlinang air mata.Â
Biar tak bermesraan di ujung bibir bianglala, menepi pada gurun gersang adigang adiguna, berbisik lirih pada congkah jumawa.
Menuai masa dengan biduk pemangkas kayu jati tak bergalih, hitam kemerahan galihnya, beradu dengan dadap tak bertulang, kopong keroncong memaksa jadi pagar.
Bahkan burung mampu membuat lobang.
Oh Hujan, dekaplah kami dengan mata air.
Simpang jalan, 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H