Mohon tunggu...
A. Dahri
A. Dahri Mohon Tunggu... Penulis - Neras Suara Institute

Ngopi, Jagong dan Silaturrahmi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Dewasa Itu Enggak Gampang Baper

11 Januari 2020   15:43 Diperbarui: 11 Januari 2020   15:45 779
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Wa lamma balagha asyuddahu atainahu hukmaan wa 'ilmaan wa kadza lika yajziy al muhsinin." (Qs: Yusuf, ayat 22)

Di usia yang ke tiga puluh tahun, Nabi Yusuf sudah terlihat aura kenabiannya. Tuhan merekamnya dalam surah Yusuf. Kalau sudah sampai pada masanya, ia mampu berpikir (membedakan) untuk menjaga sikap dan ucapannya. Maka dari itu ia tergolong orang-orang yang Ikhsan (memiliki akal budi).

Beberapa pengetahuan menegaskan bahwa kedewasaan itu tergantung pada bagaimana pola pikir yang terbentuk oleh lingkungannya. Dengan kata lain tidak melulu ditandai dengan usia. Hal ini dipertegas oleh ujaran sahabat Nabi Muhammad; unzdur ma qaala wala tandzur man qiila. Lihatlah pada apa yang diucapkan bukan siapa yang mengucapkan.

Dengan kata lain, suatu hal dikatakan presisi bukan dilihat dari siapa yang berucap tetapi apa yang diucapkan. Walaupun setiap individu memiliki alasan atau pembenarannya sendiri atas apa yang dilakukan. 

Ibnu Katsir (13011- 1373 M) membaca ayat di atas dengan ruang dan nuansa kedewasaan Nabi Yusuf. Dewasa dalam bepikir dan bersikap. Ibnu Katsir menegaskan bahwa kalimat "asyuddahu" berarti sempurna akalnya, sempurna pemikirannya. Walaupun sempurnanya berbeda dengan akal Penciptanya yang tak terhingga, tetapi kesadaran yang jarang dimiliki oleh setiap makhlukNya, dimiliki oleh Nabi Yusuf kala itu.

Makna asal kalimat "asyuddaI" adalah mengencangkkan, usaha dengan sungguh-sungguh. Yang berarti bahwa tidak ada sesuatu yang bisa dicapai tanpa adanya semangat dan usaha yang sungguh-sungguh dalam mencapainya. Pun akal dan kesadaran dalam hal ini. Setiap makhluk memiliki potensi tertentu. Namun tidak bisa melampaui keterhinggaan, ujar Fazlurrahman.

Bahwa manusia memiliki permulaan dalam perkembangan pola pikir dan pola sikap. Berawal dari proses dialognya dengan kehidupan yang terus berlangsung. Ketika hal itu dilakukan secara terus menerus maka pengetahuan dan kebijaksanaan dalam bersikap akan muncul, beriringan dengan proses kesungguhan tersebut. Jika Nabi Yusuf menerima pengetahuan dan beberapa hikmah setelah sempurna akal (akal budinya), maka demikian pula dengan kita, dengan manusia yang lain.

Dalam ruang sesama manusia, maka ada pola yang sama seharusnya, yaitu proses mendialogkan kehidupan dengan akal kita. Hal ini dikenal dengan Kontemplasi atau permenungan. Puncak dari proses permenungan adalah pengetahuan. 

Sedangkan penerapannya selalu berlangsung dalam kehidupan. Perihal memiliki nilai kebaikan itu urusan belakang, karena yang terpenting adalah memantik kesadaran. Kesadaran untuk mengembangkan pola pikir dan pola sikap.

Kedewasaan berpikir dan bersikap bermuara pada kesadaran beragama, kesadaran berilmu, kesadaran bermasyrakat, dan kesadaran berbangsa dan bernegara. Kalau menurut Ach. Dhofir Zuhry menambah dengan kesadaran berorganisasi.

Tidak mudah mengambil sikap yang sembrono, tidak mudah menyimpulkan sesuatu yang belum jelas data dan sumbernya, dan lain sebagainya. Adalah wujud dari kedewasaan berpikir dan bersikap. Aristoteles menggambarkan dalam Nicomachean Eticsnya bahwa jika ia berpikir dengan keras, maka ia tidak akan menyerah dengan teorinya sendiri. dengan kata lain tidak melulu menganggap benar pandangan dan pemikirannya sendiri. melainkan ia akan menghormati kebenaran (pendapat) dari luar dirinya.

Maka dewasa dalam berpikir adalah satu proses dialog yang sangat intens dengan kehidupan. Di mana kedewasaan dalam berpikir ditandai dengan sikap yang tidak tergesa-gesa dalam bersikap. Tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan. Dan tidak mudah mengahkimi apa saja yang berbeda dengan pemahamannya. Hal ini sejalan dengan visi Nabi Muhammad yaitu untuk menyempurnakan akhlak, moral, etika dalam kehidupan.

Sumber Bacaan:
Fazlurrahman, Tuju Tema Pokok al Quran.
Ach. Dhofir Zuhry, Peradaban Sarung.
Ibnu Katir, Maktabah Tafsir al Quran li Ibn Katsir.
Aristoteles, Nicomachean Etics.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun