Baru kemarin di berbagai media riuh dengan pembahasan aksi damai terkait kebijakan pemerintah, dan entah memang momentumnya diangkat kebali dari titik di mana era Orde Baru disuguhi aksi besar oleh para mahasiswa atau kebetulan saja ada momentum yang sama.Â
Secara lugas hal ini menjawab akan sikap pemuda yang hari ini dinilai abai kepada kebijakan publik, bahkan ini yang paling miris mahasiswa menuai pandangan "agak kurang dipercaya di masyarakat", kalau anda tidak percaya bisa datang ke daerah selatan, daerah pantai selatan di jawa timur.Â
Dan aksi damai serentak ini saya kira salah satu bentuk untuk menunjukkan bahwa pemuda,yang dalam hal ini diwakili oleh mahasiswa benar-benar peduli atas kegundahan yang terjadi di masyarakat, baik isu-isu lokal maupun nasional. Semoga istiqamah.
Namun jauh dari keriuhan itu, saya bertemu dengan sekumpulan mahasiswa yang sedang berdiskusi, katanya diskusi ini kegiatan rutin seminggu sekali, dengan tema yang beragam, baik yang menyangkut isu-isu lokal, nasional, bahkan curhatan-curhatan gen z yang sedang berkembang. Mereka tergabung dalam organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Komisariat Ibnu Sina Malang.
Seperti diskusi-diskusi pada umumnya, mereka menawarkan berbagai argument sesuai dengan pemahaman mereka. Kebetulan tema yang diangkat adalah "Pemimpin bukan mandor, tapi mentor."Â
Keberagaman pola pikir dan latar belakang pendidikan sosial mencadi siklus diskursif yang hidup dan dialektis. Seperti halnya pemimpin diartikan sebagai Rois dan khodim, hal ini sesuai dengan latar pendidikan lingkungan sosial personalnya, salah satu peserta diskusi mengemukakan bahwa rois itu seperti kepala yang mengatur setiap anggota badan, sedangkan pemimpin dalam arti khodim, ia sebagai pelayan, melayani masyarakat.
Pihak lain mengartikan pemimpin sebagai Imam, di mana ia memiliki peran sebagai pemimpin bukan hanya pada wilayah horizontal saja, melainkan ada pertanggung jawaban yang diemban di wilayah vertikal. Sehingga apa yang dilakukan pemimpin tersebut memiliki ruang gerak terbatas, dan lebih hati-hati.
Di sela-sela diskusi ada satu pertanyaan, "bagaimana dengan DPR? Ia mendaulatkan diri sebagai wakil rakyat. Nah kita ini kan rakyat, diwakili dalam hal apa?" disambung dengan gelak tawa dan suara sumbang yang riuh.Â
Dari beberapa jawaban, ada dua jawaban yang memiliki keeratan. Pertama Mereka memiliki ruang pengamatan yang luas dengan fasilitas yang memadahi untuk meninjau -- kembangkan potensi dari berbagai aspek kehidupan masyarakat.Â
Kedua mereka dituntut untuk mampu menyelesaikan konflik atau persoalan-persoalan yang sedang berkembang di masyarakat. Â Hal ini menjadi diacu oleh pengertian bahwa pemimpin adalah pelayan.Â
Namun jauh dari pada itu, benarkah pemimpin itu pemerintah, Gus Dur pernah menyinggung dalam salah satu ungkapan beliau bahwa "kita ini bekerja kepada rakyat."Â
Uangkapan tersebut menunjukkan bahwa pemimpin itu "bukan" Pemerintah. Hal ini senada dengan salah satu peserta diskusi yang mengatakan bahwa pemimpin itu adalah diri kita masing-masing. Bahwa setiap pribadi memiliki kecenderungan leadershipnya masing-masing. Tugas utamanya adalah saling menghargai satu sama lain.
Jika sikap saling manghargai dan menjaga satu sama lain maka ada keniscayaan untuk membangun kepercayaan di hati masyarakat. Ketika semua yang ada di sekitar kita dianggap ayat dari Tuhan, seraya dengan itu ada kehati-hatian yang dibangun dari dalam diri masing-masing. Ketakutan atas keimanan kepada Tuhan adalah wujud dari kesadaran bahwa manusia sedang belajar menjadi pemimpin, minimal pemimpin untuk dirinya sendiri.
Kemudian ada pernyataan dari peserta diskusi yang lain bahwa pemimpin itu seperti direktur, ia memanage, mengatur dan mengawasi tugas yang sudah diberikan kepada karyawannya.Â
Yang digaris bawahi adalah proses mengatur dan mengawasinya. Dengan kata lain tanggung jawab menjadi prioritas. "Tetapi direktur kan ada atasannya?" Â sela temannya yang tepat ada di sampingnya. "Benar, tetapi yang saya garis bawahi adalah proses kepemimpinannya, ia berusaha bertanggung jawab atas tugasnya." Sangkalannya.
Permasalahan utamanya adalah bagaiman menyadari bahwa kita adalah pemimpin dan memiliki tanggung jawab atas kepemimpinan kita itu? Karena pada dasarnya adalah membangun kehati-hatian.Â
Syaih Al Galayaini dalam 'Idhatunnasyiin, menegaskan bahwa pemuda harus memiliki prinsip, karena untuk belajar menjadi pemimpin ia harus memiliki prinsip dasar sebagai acuan proses belajar menjadi pemimpin. karena menyadari bahwa diri kita adalah pemimpin, masih perlu adanya prose belajar._
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H