Oleh : Mastur Sonsaka
Kebahagiaan hidup merupakan tujuan bagi setiap orang, karena kebahagiaan
menjadi motif setiap perilaku manusia. Hal ini tentu saja bukan sesuatu yang aneh,
mengingat manusia merupakan mahkluk yang memiliki dimensi itu. Kesenangan dan
kebahagiaan kemudian menjadi bagian tak terpisahkan dari aspek kedirian manusia.
Sigmund Freud menyebut aspek kedirian manusia yang mengejar kebahagiaan dan
kesenangan ini sebagai aspek paling menentukan dalam menjelaskan bagaimana
manusia mengaktualisasikan dirinya di dunia. Manusia menghadirkan diri sebagai
seorang pribadi ditengah pribadi yang lain selalu mengacu pada pencarian terhadap
kebahagiaan hidup. Bahwa ada potensi diri untuk mengahancurkan diri pada manusia
memang tidak dapat disangkal juga, dalam konteks inilah Jacques Lacan seorang
neofreudian berkata ”hanya manusia satu-satunya binang yang memiliki kemampuan
untuk membunuh dirinya sendiri”. Apa yang dikatakan oleh Lacan itu sesungguhnya
merupakan salah satu cara manusia untuk mencapai apa yang disebut kebahagiaan,
ketika hidup tidak dapat memberi kebahagiaan maka mati merupakan harapan
kebahiaan itu sendiri. Ada banyak sekali pilihan bagi manusia untuk mencapai
kebahagiaan dan tentu saja masing-masing individu memiliki ukuran dalam
memaknai apa yang disebut kebahagiaan.
Robert H. Frankl dalam tulisannya yang berjudul Does Money Buy Heppiness?
mencoba melakukan kategorisasi terhadap apa yang disebut kebahagiaan. Dalam
tulisan ini ia mengakui bahwa kebahagiaan pada individu memiliki multi faktor,
artinya kebahagiaan tidak bisa direduksi dalam faktor tunggal. Di Jepang misalnya,
walaupun orang-orang disana memiliki penghasilan yang tinggi, ternyata tidak serta
memberi kebahagiaan, hal ini tentu menunjukkan penghasilan yang banyak
sebagaimana bayangan mereka yang penghasilannya sedikit membayangkan mereka
akan bahagia jika penghasilannya banyak. Ukuran kebahagiaan kemudian menjadi
sangat subyektif. Bagi mereka yang hidup dalam kemiskinan, menjadi kaya
merupakan kebahagiaan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Robert H. Frankl,
ditemukan bahwa orang yang kaya lebih banyak mersakan kebahagiaan dibandingkan
orang miskin, dalam hal ini Frankl berkata .....rich people are in fact much happier
than poor people.....
Bagi saya inilah poin penting dalam tulisan Frankl ini yang menarik untuk
dikomentari. Pada umumnya manusia modern mengukur segala sesuatu dengan
barometer materialistik, termasuk ketika manusia mengukur makna kebahagian bagi
dirinya sendiri. Cara berpikir seperti ini tentu tidak hadir begitu saja melainkan
melalui proses yang panjang mulai dari falsifikasi, ideologisasi sampai pada
saintifikasi. Melalui filsafat kebahagiaan dikonseptualisasikan menjadi bentuk
kebijaksanaan, karena mencapai derajat kebijaksanaan merupakan derajat yang
mampu membuat filosof bahagia. Mulai dari tradisi filsafat inilah kemudian konsep
kebahagiaan dikategorisasi menjadi lebih ”manusiawi”, karena pada titik ini konsep
kebahagiaan telah dibedakan dengan bentuk kebahagiaan binatang. Pada tahap
idelogisasi, konsep kebahagiaan yang dipahami oleh manusia dinormalisasi menjadi
sebentuk konsep kebahagiaan kodrati (given). Sedangkan pada tahap saintifikasi
konsep kebahagiaan didisiplinkan sedemikan rupa sehingga apa yang disebut bahagia
dan tidak bahagia merupakan sesuatu yang telah terdefinisikan. Dalam konteks inilah,
kebahagiaan kemudian menjadi tidak lagi milik individu, konsep kebahagiaan
menjadi seperangkat konsep a priori yang berada diluar diri individu. Deleuze dan
Guattari menuduh sejak awal proses falsifikasi, ideologisasi dan saintifikasi telah
mengebiri salah satu dimensi kemanusiaan yang ia sebut hasyrat. Bagi Deleuze dan
Guattari hasyrat merupakan sumber murni subyek dalam menikmati dan merasakan
kebahagiaan. Bagi Deleuze dan Guattari, hasyrat menjadi seperti ”anak yang hilang”
(the orphan desire) yang terus menerus direpresi dan ”dikriminalisasi”, padahal
hasyrat merupakan bagian eksistensial dan esensial bagi subyek.
Mencermati tulisan Frankl, seolah menjadi pembenar bahwa proses
internalisasi konsep kebahagiaan pada diri individu dalam konteks kekinian telah
melalui proses yang panjang. Yang terilustrasi dari tulisan Frankl tersebut adalah
saintifikasi konsep kebahagiaan. Bagaimana tidak, kebahagiaan diukur dengan
ukuran-ukuran materialistik semata semisal uang, kekayaan, mobil dan sebagainya,
dengan demikian ukuran kebahagiaan kemudian menjadi sangat obyektif. Secara
psikologis kebahagiaan sesungguhnya sangat emosional. Mengikuti definisi
psikologis akan makna kebahagiaan, seharusnya kebahagiaan bersifat subyektif,
bukan ditentukan oleh obyek tetapi subyeklah yang seharusnya menentukan dengan
apa dan bagaimana subyek merasakan kebahagiaan. Dari hasil kajian Frankl yang
menggunakan paradigma ilmiah (saintifik) menunjukkan bahwa kebahagiaan pada
diri individu telah ditentukan dengan kategori-kategori yang bersifat materialistik,
sehingga ukuran kebahagiaan yang bersifat materialistik tadi menjadi seolah-olah
obyektif tidak lagi subyektif, karena mayoritas responden yang diteliti oleh Frankl
memiliki pandangan yang sama terkait ukuran-ukuran kebahagiaan.
Disinilah letak persoalan mendasar yang muncul dari kajian Frankl tersebut.
Ternyata konsep kebahagiaan yang telah bergeser dari wataknya yang subyektif
menjadi obyektif. Kebahagiaan mestinya melampaui ukuran-ukuran materialistik,
karena ketika subyek sudah menyerahkan makna kebahagiaannya pada obyek, maka
pada saat itu subyek telah melebur pada obyek tersebut dan hal inilah yang menjadi
salah satu sebab manusia kehilangan eksistensi diri, dan pada saat yang sama subyek
tidak akan pernah menemukan kebahagiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H