Mohon tunggu...
Mastur Sonsaka
Mastur Sonsaka Mohon Tunggu... -

pencari kebenaran dan pengabdi pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Uang dan Kebahagiaan Semu

5 November 2011   08:51 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:02 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh : Mastur Sonsaka

Kebahagiaan hidup merupakan tujuan bagi setiap orang, karena kebahagiaan

menjadi motif setiap perilaku manusia. Hal ini tentu saja bukan sesuatu yang aneh,

mengingat manusia merupakan mahkluk yang memiliki dimensi itu. Kesenangan dan

kebahagiaan kemudian menjadi bagian tak terpisahkan dari aspek kedirian manusia.

Sigmund Freud menyebut aspek kedirian manusia yang mengejar kebahagiaan dan

kesenangan ini sebagai aspek paling menentukan dalam menjelaskan bagaimana

manusia mengaktualisasikan dirinya di dunia. Manusia menghadirkan diri sebagai

seorang pribadi ditengah pribadi yang lain selalu mengacu pada pencarian terhadap

kebahagiaan hidup. Bahwa ada potensi diri untuk mengahancurkan diri pada manusia

memang tidak dapat disangkal juga, dalam konteks inilah Jacques Lacan seorang

neofreudian berkata ”hanya manusia satu-satunya binang yang memiliki kemampuan

untuk membunuh dirinya sendiri”. Apa yang dikatakan oleh Lacan itu sesungguhnya

merupakan salah satu cara manusia untuk mencapai apa yang disebut kebahagiaan,

ketika hidup tidak dapat memberi kebahagiaan maka mati merupakan harapan

kebahiaan itu sendiri. Ada banyak sekali pilihan bagi manusia untuk mencapai

kebahagiaan dan tentu saja masing-masing individu memiliki ukuran dalam

memaknai apa yang disebut kebahagiaan.

Robert H. Frankl dalam tulisannya yang berjudul Does Money Buy Heppiness?

mencoba melakukan kategorisasi terhadap apa yang disebut kebahagiaan. Dalam

tulisan ini ia mengakui bahwa kebahagiaan pada individu memiliki multi faktor,

artinya kebahagiaan tidak bisa direduksi dalam faktor tunggal. Di Jepang misalnya,

walaupun orang-orang disana memiliki penghasilan yang tinggi, ternyata tidak serta

memberi kebahagiaan, hal ini tentu menunjukkan penghasilan yang banyak

sebagaimana bayangan mereka yang penghasilannya sedikit membayangkan mereka

akan bahagia jika penghasilannya banyak. Ukuran kebahagiaan kemudian menjadi

sangat subyektif. Bagi mereka yang hidup dalam kemiskinan, menjadi kaya

merupakan kebahagiaan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Robert H. Frankl,

ditemukan bahwa orang yang kaya lebih banyak mersakan kebahagiaan dibandingkan

orang miskin, dalam hal ini Frankl berkata .....rich people are in fact much happier

than poor people.....

Bagi saya inilah poin penting dalam tulisan Frankl ini yang menarik untuk

dikomentari. Pada umumnya manusia modern mengukur segala sesuatu dengan

barometer materialistik, termasuk ketika manusia mengukur makna kebahagian bagi

dirinya sendiri. Cara berpikir seperti ini tentu tidak hadir begitu saja melainkan

melalui proses yang panjang mulai dari falsifikasi, ideologisasi sampai pada

saintifikasi. Melalui filsafat kebahagiaan dikonseptualisasikan menjadi bentuk

kebijaksanaan, karena mencapai derajat kebijaksanaan merupakan derajat yang

mampu membuat filosof bahagia. Mulai dari tradisi filsafat inilah kemudian konsep

kebahagiaan dikategorisasi menjadi lebih ”manusiawi”, karena pada titik ini konsep

kebahagiaan telah dibedakan dengan bentuk kebahagiaan binatang. Pada tahap

idelogisasi, konsep kebahagiaan yang dipahami oleh manusia dinormalisasi menjadi

sebentuk konsep kebahagiaan kodrati (given). Sedangkan pada tahap saintifikasi

konsep kebahagiaan didisiplinkan sedemikan rupa sehingga apa yang disebut bahagia

dan tidak bahagia merupakan sesuatu yang telah terdefinisikan. Dalam konteks inilah,

kebahagiaan kemudian menjadi tidak lagi milik individu, konsep kebahagiaan

menjadi seperangkat konsep a priori yang berada diluar diri individu. Deleuze dan

Guattari menuduh sejak awal proses falsifikasi, ideologisasi dan saintifikasi telah

mengebiri salah satu dimensi kemanusiaan yang ia sebut hasyrat. Bagi Deleuze dan

Guattari hasyrat merupakan sumber murni subyek dalam menikmati dan merasakan

kebahagiaan. Bagi Deleuze dan Guattari, hasyrat menjadi seperti ”anak yang hilang”

(the orphan desire) yang terus menerus direpresi dan ”dikriminalisasi”, padahal

hasyrat merupakan bagian eksistensial dan esensial bagi subyek.

Mencermati tulisan Frankl, seolah menjadi pembenar bahwa proses

internalisasi konsep kebahagiaan pada diri individu dalam konteks kekinian telah

melalui proses yang panjang. Yang terilustrasi dari tulisan Frankl tersebut adalah

saintifikasi konsep kebahagiaan. Bagaimana tidak, kebahagiaan diukur dengan

ukuran-ukuran materialistik semata semisal uang, kekayaan, mobil dan sebagainya,

dengan demikian ukuran kebahagiaan kemudian menjadi sangat obyektif. Secara

psikologis kebahagiaan sesungguhnya sangat emosional. Mengikuti definisi

psikologis akan makna kebahagiaan, seharusnya kebahagiaan bersifat subyektif,

bukan ditentukan oleh obyek tetapi subyeklah yang seharusnya menentukan dengan

apa dan bagaimana subyek merasakan kebahagiaan. Dari hasil kajian Frankl yang

menggunakan paradigma ilmiah (saintifik) menunjukkan bahwa kebahagiaan pada

diri individu telah ditentukan dengan kategori-kategori yang bersifat materialistik,

sehingga ukuran kebahagiaan yang bersifat materialistik tadi menjadi seolah-olah

obyektif tidak lagi subyektif, karena mayoritas responden yang diteliti oleh Frankl

memiliki pandangan yang sama terkait ukuran-ukuran kebahagiaan.

Disinilah letak persoalan mendasar yang muncul dari kajian Frankl tersebut.

Ternyata konsep kebahagiaan yang telah bergeser dari wataknya yang subyektif

menjadi obyektif. Kebahagiaan mestinya melampaui ukuran-ukuran materialistik,

karena ketika subyek sudah menyerahkan makna kebahagiaannya pada obyek, maka

pada saat itu subyek telah melebur pada obyek tersebut dan hal inilah yang menjadi

salah satu sebab manusia kehilangan eksistensi diri, dan pada saat yang sama subyek

tidak akan pernah menemukan kebahagiaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun