Hari-hari terus aku telusuri seiring waktu yang terus berputar tiada henti. Senja terus merambat di atas gedung bak cahaya dengan cepat jatuh menamparku, lanskap kota tampak gamang disepuh cahaya lampu-lampu taman kota yang membias indah dengan samar cahaya bulan purnama yang kian memerah. Kakiku terasa perih, langkahku seakan tersengal diterpa duri dan kerikil yang menusuk masuk dibalik sepatu yang telah terkikis. Aku sadar hidupku penuh rintangan dengan tembok berdiri kokoh di depan. Senin pagi aku pergi ke sekolah, dag...dig...dug?... hatiku resah dan jantungku berdetak dengan cepat memompa. Aneh, betapa takutnya aku. Fajar telah larut, burung-burung tak berkicau, ku dengar suara bising mengusik telingaku, aktifitas pagi di kota besar seperti Jakarta sungguh-sungguh sangat memilukan. Betapa tidak, orang-orang panik berlarian seakan mereka dikejar sang waktu yang tak mau menunggu, sungguh memilukan. Pagi terasa aneh, dalam keramaian ini aku merasa asing, orang-orang di sekitarku seperti menertawakanku. Jam dinding kelasku berdetak sembilan kali, teman-teman menunggu giliran. Aku duduk diam membisu, pengumuman kelulusan telah tiba. Aku masih tidak beranjak dari tempat dudukku. Kebahagiaan terpancar dari setiap wajah yang baru saja menerima amplop dari guru yang duduk di depanku. Mereka berteriak sambil keluar kelas dengan suara high level bersama-sama temen-teman yang lain, “Aku luluuss...aku luluuss!!!!” dengan suara high level. Aku masih terdiam...”Sekuler banget”, di tengah kebahagiaan mereka sampai aku mendapat giliran. “Dewa!!!”, panggil seorang guru kepadaku saat itu. Jantung semakin kencang berdetak tak beraturan. Betapa kagetnya aku. Aku berdiri lalu berjalan menghampiri guru yang duduk dibangkunya, lalu aku diberi amplop olehnya. Dengan perlahan aku membukanya, kupejamkan mata dengan rasa takutku membuka, betapa kagetnya kala aku membaca tulisan, “Selamat Anda Berhasil!!!” dengan spontan aku berkata “Yesss!!!!”. Kontan teman-teman mendengar suaraku yang tak terkontrol saat itu. Teman-teman langsung menarikku keluar kelas, lalu membawaku ke kolam di taman sekolah, lalu mereka menggotongku dan menyeburkan aku ke kolam yang ada ikannya itu. Betapa bahagianya aku. Di tengah kebahagiaan mereka semua, sejenak aku terdiam. Entahlah, tiba-tiba aku sedih dan kurasakan semakin pekat...Aku tak tahu?!!.. Aku pernah membaca suatu buku yang mengingatkan aku akan pertemuan yanng indah dengan persahabatan, ternyata dibalik pertemuan yang indah itu tak lepas dengan perpisahan... (kata-kata orang bijak) aku ingat betul...Oohg..aku baru sadar kehadiran tak lepas dari kepergian, sungguh menyesakkan hati. Anda pasti setuju dengan pendapatku ini. *********** Aku bahagia. Hari ini aku senang sampai tak dapat aku menggambarkannya atau mengucapkan dengan kata-kata. Aku baru saja melihat pengumuman di SMP Negeri 124. Aku tidak menyangka bahwasanya aku dapat diterima di sekolah ini. Soalnya selama sekolah aku tidak pernah yang namanya belajar seperti orang-orang pintar lainnya. Apa mumgkin ini namanya anugrah dari Allah YME untukku. Hampir setiap hari aku berdo’a dan memohon kepada-Nya agar aku dapat diterima di sekolah ini. Dan Alhamdulillah aku diterima di sekolah ini. Sudah empat bulan lebih aku sekolah disini. Esok pengambilan raport catur wulan satu. Aku datang bersama kakekku untuk mengambil raport di sekolahku. Tapi apa yang terjadi? Raportku ditahan oleh pihak sekolah karena belum melunasi uang gedung dan SPP selama empat bulan. Aku mengerti dan aku tak pernah mengeluh atau marah kepada keluargaku, terutama kepada ibu. Sebab selama aku sekolah memang seperti itu, aku tak heran. Aku tetap sekolah tanpa harus merasa malu. Tapi terkadang aku merasa iri kepada teman-temanku yang hidup dengan kecukupan segala sesuatunya. Keluarganya ada, tidak seperti aku...aku orang Elite?!! Elite Ekonomi keluargaku sulit, morat-marit seakan terjepit... Ibuku, dia hanya seorang pekerja rumah tangga yang tidak punya penghasilan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga. Sedangkan ayahku...aku tidak tahu sama sekali bahkan tidak mengenalnya. Aku berpisah dengan ayahku sewaktu aku berumur 3 tahun. Saat aku masih termat kecil untuk tau mengapa ayah biarkan aku dan ibu pergi ke jakarta, dan memisahkan aku dengan kakak ku yaitu Erick. Erick tidak mau ikut dengan ibu dan aku, dia lebih memilih tinggal bersama ayah di bandung. Dulu ayah bilang akan segera menyusul kami berdua ke Jakarta. Namun apa yang terjadi hingga aku sekolah dan besar di Jakarta ayahku tidak juga datang mengunjungi aku dam ibu. Karena ayahku tidak pernah memberi nafkah pada mama dan aku. Hingga saat ini aku tidak pernah merasakan kasih sayang dan nafkah darinya. Aku anak ketiga dari tiga bersaudara. Aku bersama kakak pertama ku yang jauh lebih dulu tinggal di Jakarta dengan nenek dan kakek. Hidup bersama ibu, Entah apa yang terjadi pada keluargaku pada saat itu. Aku tak pernah banyak bertanya kepada ibu atau kakekku atas apa yang terjadi sampai saat ini. Aku tak pernah rewel sampai sebesar ini, apakah aku orang yang bodoh…? Ucapku dalam hati. Kabar dan berita tentang seorang ayah tak pernah sampai ke telingaku. Heran, aku tidak pernah mengenalnya sampai saat ini. Aku hanya mengenal ibu dan saudaranya, sedangkan keluarga dari ayahku…? Aku tak pernah tahu. Dimana aku?!! Pertanyaan itu selalu datang disaat ku memejamkan mata dan mulai terlelap dalam mimpi-mimpi malam. Sungguh menyedihkan. Diantara kedua kakakku hanya aku yang lahir di Bandung. Sementara kedua kakakku lahir di Bogor. Aku sangat buta di kota tempat kelahiranku. Aku tak pernah habis pikir kenapa aku terlahir seperti ini. Sungguh...sungguh, hidupku pincang tanpa kedua orangtua yang berarti. Sungguh menyedihkan bukan ? ( anda pun bisa berkata demikian jika di posisi saya ) Siapa aku?!!!... *********** Debu kota berterbangan di tengah terik matahari jam 12.00 siang, suara histeris nenek menjerit lirih dan diiringi suara paku bumi yang menggema mendarat keras di telinga. Orang-orang panik bergegas pergi berlari coba benahi seisi rumah. Nenek menjerit karena sakit, tubuhnya yang tua renta seakan habis dimakan usia senja. Kami sekeluarga pindah seiring penggusuran kota yang rakus melahap lahan pemukiman kami. Aku heran mengapa pembangunan kota semakin lupa dan para penguasa makin berjaya. Ooohg...Tuhan inikah akhir dunia? Ucapku parau. Oohg...tidaaakkkk...Kami semakin jauh berlari dan kami semakin tersisih!!! Sepindahnya kami sekeluarga, kami pun semakin terpuruk dan rapuh. Nenek pergi meninggalkan kami bersama rasa sakit yang telah lama dideritanya tuk menghadap sang Ilahi. Aku dan keluarga tinggal tak menentu. Aku dan kakakku tinggal di rumah bibi ( bi Dinah ), sedangkan mama dan kakek tinggal bersama di Tajur rumah kakaknya. Hampir setiap hari aku pergi Jakarta - Bogor hanya untuk bersekolah. Jarak yang kutempuh kurasa semakin jauh saja. Ahg...aku tak peduli, yang kupikirkan hanya bagaimana caranya aku sampai di sekolah. Kakak pertamaku bekerja di Jakarta tepatnya di Wisma Nusantara di samping Hotel Presiden. Dia bekerja sebagai Cleaning Service, sampai pada akhirnya kakakku diangkat menjadi Office Boy di salah satu perusahaan yang bernama Nikkei. Kakakku, dia tidak pernah memperhatikan aku selama sekolah, dia masabodoan. Uuhg...aku benci dia. Dia hanya memberiku uang saku sekitar Rp. 500,-perak. Untuk ongkos ke sekolah saja tidak cukup, apalagi untuk jajan. Di rumah bibi aku merasa seperti orang lain saja. Entahlah, sebab bibi juga tidak jauh beda dengan kakakku. Bahkan lebih parah lagi, dia tak pernah memberiku uang saku dan aku merasa tidak diperhatikan. Heran! Bayangkan.. aku ini kan keponakannya, kenapa dia tega sekali berbuat seperti itu?! Aku tak pernah mengeluh, aku hanya kecewa kepada semua orang (keluarga besarku). Dari rumah bibi ke stasiun kereta api memakan waktu sekitar 30 menit dengan berjalan kaki. Sebab kalau aku naik kendaraan umum atau angkot jurusan Br.siang - Merdeka, ongkosnya Rp 300,- perak. Belum lagi untuk naik Kereta Api dan Metro Mini yang jurusan Pasar Minggu - Blok M. Aku tak pernah mengeluh atas apa yang kualami selama ini. Aku hanya ingin sekolah tanpa banyak pikir. Tekadku sudah bulat karena aku harus tetap sekolah, walau atau tanpa punya biaya untuk sekolah. Di keluargaku tidak ada yang lulusan, karena itulah yang memacu aku untuk tetap sekolah. Tak pernah terlintas dalam hidup bakal seperti ini. Dengan kekosongan ku jalani, walau terasa amat perih menikam hati, terus ku jalani. Ohhhg tidaaakkk!!!... dengan hati yang perih aku bangkit!!! Bangkit, suara hati berteriak keras menamparku... Aku tak mau berdiam diri dan menyesali atas apa yang terjadi. Haruskah aku berdiam diri dan menerima kekalahan ini? Tidaaaakkk...jiwaku berontak. Diam... Hanya diam yang bisa kulakukan Diam... hanya diam ditengah keramaian yang bising Suara-suara yang mengisi ruang... Jam dinding berdetak... Meja dan bangku yang tak beranjak... Diam... hanya diam...! Diam... jauh khayalku terbang Angan ku pun melayang Meninggalkan jasad ( daging & tulang ) Aku terhanyut dalam gelombang Angin dan badai deras menerjang... Kucoba bersandar tuk bertahan Ditengah canda, tawa, bujuk rayu dan bisikan setan...!!! Kelam... hidupku kelam. Kelam... kuterjerumus dalam lembah hitam... Hitam... hitam yang terdalam godaan yang datang... Sejuta rasa menawarkan kenikmatan Dan sejuta cinta fantasi kehidupan... Diam... hanya diam sendiri Diam... menanam mimpi Diam... dalam diam kusadari Diam... Khayal ku tinggi Bayang... bayangan hitam mengikuti Kemana pun aku pergi Kemana pun kuberlari Seraya tak pernah lepas sampai ku mati, Nanti... Aku... aku bukan pujangga Karena aku tak pandai merangkai kata Aku... Aku bukan orang yang bijak Karena aku tak pandai dalam bersikap Jejak... jejak langkahku tingalkan Di laut dan di hutan Di air yang mengalir Di tanah kering yang tak terukir Dan di bebatuan yang tak bertuan... Semua ku jalanai Semua ku lalui Mengisi palung hati Sampai ku mati, Nanti... Canda tawa, Suka duka Tangis dan bahagia Akhir cinta... Diam... hanya diam Jawaban atas pertimbangan dari pemikiran yang aku sendiri tak paham..!!! Aku berjalan di tengah terik matahari yang kian meninggi seakan membalut keperihan hati, aku berjalan menuju stasiun kereta api, melangkah dengan kepastian, dengan tatapan kedepan ku terus berjalan di bawah pohon besar yang rindang, berjalan menelusuri Kebun Raya Bogor dan melintasi Istana Presiden, di hamparan taman Istana itu dengan hijau rumput dan ratusan rusa yang menjadi ciri khas Istana ini. Di depan Istana yang megah berwarna putih itu terdapat penjaga yang bertubuh kekar dengan atribut kemiliteran memegang kuat senjata dengan tegak, mata tajam tak berkedip walau debu-debu dan polusi kendaraan yang padat merayap melintas. Ini pemandangan yang selalu kulihat setiap kali melintas depan Istana yang megah. Sebentar lagi sampai stasiun kereta, ucapku dalam hati, tinggal beberapa meter lagi ku kan tiba di sana. Dari tempat tinggalku sekarang memakan waktu kurang lebih 30 menit. Ahhg...ucapku saat tiba di stasiun kereta Bogor. Tenggorokanku terasa kering dan aku pun beristirahat sejenak. Aku mengambil sebotol air mineral dari dalam tas ku untuk menghilangkan rasa dahaga. Nikmat kurasakan saat air mineral memasuki tengorokanku yang kering, glek…glek…..glek..aaaahg. Di loby stasiun tempat ku berdiri ditengah keramaian yang sesak… Diam-diam aku menyelinap dalam kerumunan orang yang tumpah di sana seperti sampah yang berserakan dimana-mana. Aku masuk melewati petugas loket yang terlihat sibuk di tengah antrian yang panjang. Setelah itu aku menaiki kereta tujuan Jakarta - Kota. Aku berdiri di tepi pintu kereta, dengan sesak penumpang dan para pedagang asongan. Dari arah gerbong kepala terlihat masinis yang sedang memeriksa karcis. Dengan perasaan takut aku berlari ke belakang kereta sebab aku tak memiliki karcis. Untung kereta cepat tiba di stasiun Universitas Indonesia dan aku pun turun dengan cepat berlari ke depan gerbong tiga. Alhamdulillah selamat dari seragam biru pemeriksa karcis. Tak terasa aku telah tiba di stasiun Pasar Minggu, dengan segera aku pun turun disini. Kini aku harus kembali berjalan kaki di tengah bias matahari yang sedang tinggi. Debu-debu berterbangan di hempas laju roda kendaraan yang panas bersama polusinya. Aku berjalan walau keringat bercucuran membasahi seragam dan kukatakan inilah perjuangan untuk meraih semua harapan dan impian yang telah kutanam. Di tengah matahari yang menyengat seragamku yang terlihat kucal basah oleh air keringat yang mengalir deras di tubuhku. Aku berjalan di tengah bising laju kendaraan. Kakiku pun terasa perih karena lecet, aku terus berjalan dan tak kuhiraukan hingga sampai di sekolah . Ini berlangsung selama kurang lebih 3 bulan dan setelah aku memutuskan untuk tinggal di rumah sahabatku Agus (bekas tetanggaku) dengan berpikir masak-masak aku memutuskannya. Kalau aku harus tetap tinggal di Bogor, sudah tidak mungkin lagi karena semua keluarga tidak mendukungku untuk sekolah. Sungguh aku bingung kepada keluargaku, entah apa yang ada di pikiran mereka??? Aku hanya ingin sekolah dan lulus dari SMP Negeri 124 ini tidak lebih dan aku tak pernah memikirkan bagaimana aku bisa sekolah tanpa harus bayaran. Aku hanya menjalani kehidupanku, bukankah kita berhak untuk mendapatkan pendidikan sebagaimana yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia. Yang salah satunya berbunyi : (1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara. Fiuuhh pikirku, itu hanya perumusan yang kenyataannya Negara sengaja menutup mata pada rakyatnya seperti aku dan mungkin banyak juga orang diluar sana yang lebih parah dari aku. Kini aku tinggal di rumah sahabatku dan tetap sekolah tanpa pikir lain. Aku makan apa adanya, aku makan dari rasa simpati orang lain kepadaku. Hidupku terasa hampa. Bayangkan di Ibukota yang kusinggahi, aku hidup sendiri. Dan yang kulakukan ini semata-mata untuk keluarga tercinta. Walau aku tak pernah merasakan kasih sayang dari kedua orangtua ku. Yang terjadi, terjadilah!!! Karena aku tak mungkin mampu mengubah sejarah dan begitu juga anda. Percayalah semua berjalan dengan rencana-Nya yang telah digariskan oleh Dia yang Esa. Dan ini berlangsung 2 bulan selama aku tinggal di rumah sahabatku. Jam pelajaran telah usai dentang bell sekolah pun berbunyi tanda jam pelajaran keduapun berakhir. Semua murid-murid keluar, waktu istrahat pun telah tiba saat disaat dewa masih berada dalam kelas bersama teman-temannya yang sedang asyik bercanda tiba2 datang seorang perempuan memecah keheningan mereka…. Dewa…panggil perempuan itu, Bu Siti menyuruhku untuk memanggilmu, dia menunggumu di ruangannya. Ada apa ini dalam hati kecilnya sampai2 aku harus berurusan dengan guru BP. Hmm…. Loh punya dosa kale ma ibu makanya di panggil, Celetuk salahsatu temannya, si jopay. Hahahaha Aaahg dari pada gak jelas dan semakin gak karuan mending gw temui aja biar jelas, karena loh gak jelas payyy…hehehe dewa pergi meninggalkan jopay, nyoy, wendi dan capunk. Masih bersambung……!!! hehehe
Bogor, 24 Oktober 2004
WebRepOverall rating
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H