Mohon tunggu...
Khoirul Anam
Khoirul Anam Mohon Tunggu... -

Seorang pemuda otodidak yang berupaya menjadikan hidup bernilai lebih.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senja di Gubuk Tua

11 Desember 2011   06:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:32 1229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujan benar-benar mewarnai hari-hari di bulan Desember. Tak terkecuali sore hari ini, derai hujan disertai hawa dingin menyeruak serasa menusuk tulang. Kilat menjilat sambung menyambung bagai ingin membelah bumi. Cuaca demikian membuat kebanyakan orang malas beraktifitas. Tapi, anak ingusan itu tetap gigih mengayuh sepeda berjualan jamu. Hujan disertai halilintar bukanlah kerikil tajam yang dapat menghentikan langkahnya.

Bejo, begitu penduduk kampung Sukoharjo memanggil anak ingusan itu. Usianya masih belia, namun dipaksa peras keringat untuk sesuatu yang sebenarnya belum begitu dimengerti. Bermain sebagaimana anak-anak seusianya hanyalah mimpi. Keliling kampung, menyusuri lorong-lorong kota, masuk dari gang satu ke gang yang lain adalah rutinitas wajib sehari-hari.

Bejo adalah anak tertua dari 3 saudara buah perkawinan Pak Yetno dan Mbok Kairah. Bersama ibu dan kedua adiknya, Bejo tinggal di rumah tua yang terbuat dari papan dan bambu. Atapnya terbuat dari ilalang dan lantainya hanya disemen kasar. Sekalipun dipenuhi genangan air bila hujan tiba, namun hanya di rumah yang lebih tepat disebut gubuk itulah mereka dapat berteduh dari terik mentari dan derai hujan. Andai saja Pak Yetno masih hidup, mungkin gubuk itu segera dibenahi. Sayang, Ia keburu menghadap Sang Pencipta karena penyakit komplikasi yang dideritanya. Kemangkatan Pak Yetno menghadap Ilahi tak meninggalkan harta benda yang berharga, hanya sepetak tanah yang di atasnya berdiri gubuk tua itulah satu-satunya yang bernilai. Itu pun hasil pemberian Mbah Jumadi, orang tua Pak Yetno.

Sepeninggal Pak Yetno, Mbok Kairah berusaha membesarkan ketiga anaknya dengan berjualan jamu. Bejo yang kini menginjak kelas 1 SLTP juga turut serta membantu. Mbok Kairah meracik jamu sejak dinihari dan menjual sebagiannya esok pagi. Sementara sisanya Bejo yang menjual keliling kampung sepulang sekolah.

***

Hari sudah hampir senja, tapi derai hujan yang mengguyur kampung Sukoharjo sejak beberapa jam yang lalu tak kunjung reda. Bejo tampak gelisah di beranda rumah. Antara cemas, sedih, bingung, semua berkecamuk dalam pikirannya. Pandangannya tertuju pada sepeda butut dengan rombong sederhana yang ada di depannya. Botol-botol berisikan jamu beras kencur, kunir asam, dan pahitan tampak berjejer rapi menghiasi rombong itu.

"Nak, Mbok buatin teh. Diminum dulu, biar tubuhnya hangat," ujar Mbok Kairah menyuguhkan teh sambil duduk di samping Bejo yang sejak tadi termenung di beranda rumah.

"Nggeh, Mbok. Matur sembah nuwon," kata Bejo berterima kasih. Sorot matanya memandang dalam-dalam wajah sang ibu yang tampak layu dimakan usia.

"Tidak usah jualan, Nak. Besok saja kalau cuacanya terang," kata Mbok Kairah sambil memijit punggung Bejo. Ia tak mau anaknya jatuh sakit karena diguyur hujan. Dialah satu-satunya alasan mengapa Ia bertahan hidup.

"Hemm...," Bejo hanya tersenyum tipis.

"Sayang, Mbok. Biaya yang dikeluarkan untuk membuat jamu kan tidak kecil, masa tidak diedarkan. Apalagi, besok adalah hari terakhir pembayaran sekolah adik-adik," timpal Bejo. Meski negara menambah anggaran pendidikan menjadi 20% dari APBN, namun seolah tak ada artinya karena di sekolah tetap dipungut biaya.

"Bejo mau berangkat, Mbok. Doakan lekas habis," kata Bejo usai menyeruput habis teh yang diseduhkan ibunya.

"Tapi masih hujan, Nak. Nanti kamu sakit," ujar Mbok Kairah menahan karena tak tega. Namun, Bejo tetap berlalu.

Bagaimanapun, jamu itu memang harus diedarkan agar dapur bisa tetap mengepul. Dengan pakaian sederhana yang dibalut mantel plastik, Bejo segera memancal sepeda bututnya menjual jamu. Sementara Mbok Kairah masih bertahan di beranda rumah. Air matanya terus mengalir mengiringi keberangkatan Bejo yang berjuang keras demi keluarga.

***

"Jamu, jamu, jamu...!"

Bejo berteriak kecil menawarkan dagangannya di sepanjang jalan. Meski hujan terus mendera, Bejo tak patah arang sebelum jamunya benar-benar habis. Dengan semangat membara dikayuhnya sepeda butut itu keliling kampung, menyusuri lorong-lorong kota, masuk dari gang satu ke gang yang lain. Hingga hari berlanjut malam dan gema adzan Maghrib sudah berkumandang, Bejo terus memacu sepedanya.

Beberapa saat kemudian, wajah Bejo terlihat sumringah. Beberapa kali ucapan syukur mengalir dari bibir mungilnya. Ya, jamu sebanyak 15 botol yang dibawanya akhirnya habis tak tersisa. Cuaca dingin akibat hujan mungkin menambah rasa nikmat meminum jamu. Bejo segera memutar laju sepedanya menuju arah pulang. Dikayuhnya sepeda butut itu dengan kecepatan tinggi.

Sepanjang perjalanan wajah Bejo terlihat riang dan sesekali senyum menyungging dari bibirnya. Namun, keceriaan itu berubah kepanikan ketika beberapa langkah lagi sampai di rumah. Bejo melihat ibunya yang masih memakai mukena tertunduk sedih di beranda rumah. Wajahnya sembab berlinangkan air mata. Bejo bergegas menyandarkan sepeda dan segera menghampiri ibunya. Mencium tangannya, memeluk wajahnya, dan mendekap erat-erat tubuhnya.

"Kenapa menangis, Mbok?" tanya Bejo.

"Tidak, Nak. Mbok hanya tak kuasa menahan perih melihatmu kepayahan seperti itu. Anak seusia kamu seharusnya fokus belajar, supaya perkembangan jiwa kamu stabil. Maafkan Mbok karena belum bisa membahagiakanmu, Nak," kata Mbok Kairah yang kembali mengalirkan air mata.

"Sudahlah, Mbok. Jangan bersedih, Bejo tidak mengapa. Memang inilah jalan hidup yang harus kita lalui. Alhamdulillah, berkat doa Mbok jamunya habis semua," kata Bejo menghibur. Sejenak kemudian, Bejo mengeluarkan uang hasil jualan jamu dari saku celana. Dengan sangat hati-hati Ia menghitung dan dipisahkannya antara modal dan hasil. Ia memang sangat disiplin kalau masalah uang.

"Alhamdulillah, Mbok. Hasil jualan hari ini ditambah uang tabungan Bejo insya Allah masih sisa buat bayar iuran sekolah adik-adik," kata Bejo dengan senyum lebar di bibirnya.

***

Waktu terus berjalan. Gelombang kehidupan datang silih berganti mendobrak dinding zaman tanpa ampun. Hidup seperti roda yang terus menjungkirbalikkan segala asa. Berjuta-juta kesabaran sudah terlalu sesak menumpuk di gudang hati Bejo. Tapi, siapa yang tahu rahasia Ilahi di balik lika-liku kehidupan. Manusia hanyalah makhluk lemah meski kadang merasa hebat.

Seiring dengan waktu yang terus berputar, Bejo pun kian tumbuh dewasa. Ia mulai memahami dunia bisnis dan pola pikirnya semakin bijaksana. Pengalaman selama sekian tahun berjualan jamu serta memiliki relasi yang luas membuat Bejo berkeinginan mengembangkan bisnis jamu. Ia teringat firman Tuhan yang disampaikan oleh seorang ulama sewaktu acara pengajian di kampungnya, "Sesungguhnya Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum sehingga mereka sendiri yang merubahnya."

Bejo berencana memperluas pemasaran jamu dengan cara mengemasnya dalam botol dan disegel. Ia akan menerapkan teknis khusus yang diajarkan seorang pakar jamu tradisional terkemuka agar jamunya dapat bertahan lama. Sebab, tanpa teknis tersebut, jamu seperti beras kencur, kunir asam, pahitan, akan cepat basi. Dengan didorong tekad yang kuat, Bejo memutuskan untuk menggadaikan sertifikat tanah. Maklum, Ia belum memiliki modal untuk menjalankan bisnisnya. Setelah mendapat modal, Bejo segera merekrut tiga karyawan untuk membantu menjalankan bisnisnya. Namun, karena modal yang dimiliki hanya terbatas, Bejo memutuskan untuk perdana ini hanya memproduksi jamu pahitan. Sebab, jamu pahitan memiliki khasiat yang sudah terkenal di masyarakat. Antara lain berfungsi untuk melancarkan peredaran darah, mengobati malaria, penyakit kulit, dan masih banyak lagi.

Bejo memanfaatkan relasinya yang luas untuk memasarkan jamu. Gayung pun bersambut, mereka dengan antusias bersedia memasarkan. Tapi sayang, setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, jamu produksi Bejo nyaris tak dijamah konsumen. Bisnis yang diyakini akan berhasil mengangkat perekonomian keluarga ternyata gagal di pasaran. Bejo benar-benar bangkrut. Padahal, beban di pundaknya kian hari bertambah berat. Bagaimana tidak? Kedua adiknya kini sudah hampir lulus SLTA, tentu butuh dana yang tidak kecil untuk membiayai sekolah mereka.

Di tengah kondisi kritis seperti itu, debt collector dari pegadaian datang ke rumah Bejo. Sesuai perjanjian, sejak seminggu yang lalu seharusnya Bejo sudah melunasi hutangnya. Dengan rendah hati Bejo meminta keringanan agar diberi waktu seminggu untuk melunasinya. Pihak pegadaian akhirnya menyetujui, sekalipun dengan nada menggerutu. Bejo lari ke sana - ke mari mencari uang pinjaman, namun tak ada yang mau menolongnya. Padahal, waktu yang dijanjikan tinggal satu hari.

Di tengah rasa gelisah setengah putus asa, seorang pakar jamu tradisional terkemuka yang mengajari Bejo dahulu datang berkunjung ke rumah. Pak Eko, namanya. Setelah ngobrol cukup lama, Pak Eko kemudian mengutarakan maksud kedatangannya.

"Kabarnya kamu sedang butuh uang?" kata Pak Eko.

"Hemm... Iya, buat melunasi hutang di pegadaian. Maklum, bisnis saya sedang bangkrut," kata Bejo tertunduk sedih.

"Sudah, jangan bersedih. Ini saya ada uang sedikit, semoga bisa membantu," kata Pak Eko sambil memberikan amplop tebal.

"Maaf, Pak. Saya tidak bisa menerima ini..."

"Sudahlah, terima saja. Jangan bingung untuk mengembalikan. Nanti kalau bisnis kamu sudah sukses, baru kamu kembalikan." Meski sedikit malu-malu, Bejo akhirnya menerima. Sesaat kemudian Ia pergi ke pegadaian untuk menebus sertifikat tanah yang digadaikan.

Bejo merasa sedikit lega setelah urusannya dengan pegadaian berhasil diselesaikan. Namun, Ia masih harus bekerja keras untuk membangkitkan kembali bisnisnya yang sedang mengalami resesi. Sebab, hanya itulah satu-satunya harapan keluarga. Untunglah, uang pemberian Pak Eko masih ada sisa dengan jumlah yang cukup untuk menggerakkan bisnis jamunya.

Bejo mengevaluasi kinerja bisnisnya kenapa bisa sampai gagal di pasaran. Hingga Ia dapati memang ada yang kurang pas dalam jamunya. Soal rasa. Meski dikemas sebagus apa pun, jika rasanya tetap pahit seperti itu konsumen pasti kurang suka. Bejo berpikir keras mencari teknis mengubah rasa pahit yang melekat pada jamu pahitan. Iakemudian teringat teknis ibunya ketika meramu jamu sewaktu masih aktif berjualan dulu. Ya, Mbok Kairah ketika meracik jamu pahitan selalu manambahkan kristal ketika proses merebus. Ia juga menambahkan bubuk soda putih ketika jamu pahitan akan dikonsumsi. Kristal berfungsi untuk mendinginkan seperti mentol, sementara bubuk soda akan mengubah rasa pahit yang melekat menjadi manis. Begitu bubuk soda dibubuhkan, maka akan mengeluarkan buih. Dan, seketika itu juga rasa pahit yang melekat pada jamu pahitan berubah manis, persis seperti minuman Coca-Cola dan lebih berkhasiat.

Bejo kembali memproduksi jamu pahitan dengan resep baru. Seluruh agen dikonfirmasi terkait kesediaan mereka untuk memasarkan produk barunya. Ternyata mereka dengan antusias menerima. Setelah jamu pahitan produk baru beredar di pasaran, satu minggu kemudian barang sudah ludes. Para konsumen rupanya banyak yang suka. Kali ini bisnis Bejo benar-benar sukses dan meraup keuntungan yang melimpah.

Lima belas tahun kemudian, Bejo yang dulu anak ingusan itu bukan lagi orang sembarangan. Kini Ia menjadi eksekutif muda terkaya di Indonesia. Beberapa perusahaan jamu telah didirikan. Berbagai investasi telah dirambahnya. Ia juga mendirikan sejumlah yayasan sosial yang diperuntukkan bagi mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan. Orang-orang yang hidupnya harus 'memeras darah' untuk sekadar merasakan nikmatnya sesuap nasi.

***

Malam itu, Bejo sedang bersantai di ruang keluarga bersama ibu dan kedua adiknya. Setelah ngobrol ringan cukup lama, tiba-tiba Mbok Kairah mengutarakan keinginanya menunaikan ibadah haji untuk kali kedua. Sejenak Bejo hanya terdiam membisu. Mengingat usia ibunya yang semakin senja dan sering sakit-sakitan, Bejo memutuskan tidak mengizinkan. Tapi, Mbok Kairah berkali-kali tetap memaksa. Bejo akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

Hari yang sangat dinanti-nanti Mbok Kairah akhirnya tiba. Ia pergi sendiri ke tanah suci melalui jalur haji plus. Bejo sejatinya ingin menemani, tapi karena kondisi perusahaan sedang sibuk sepertinya mustahil ditinggalkan. Sesampainya di tanah suci, Mbok Kairah menjalankan semua ritual haji dengan khusyuk dan ikhlas. Semata-mata hanya mengharap ridla Ilahi, bukan untuk gengsi-gengsian atau yang lainnya.

Setelah seluruh rangkaian ritual haji usai, Mbok Kairah bersiap-siap kembali ke tanah air. Ia menumpangi pesawat Saudi Arabia bersama rombongan jamaah haji plus yang lain. Naas, di tengah perjalanan pesawat mengalami gangguan hingga akhirnya jatuh dan meledak. Penumpangnya banyak yang hangus terbakar. Kabar jatuhnya pesawat yang mengangkut jamaah haji Indonesia segera berhembus dan menjadi headline news di hampir seluruh stasiun televisi. Bejo dan kedua adiknya hanya berdiri memaku di depan televisi. Rasa cemas tampak benar di wajah mereka. Sorot matanya seolah tak berkedip menyaksikan kabar memilukan itu.

Dua hari kemudian, berita di televisi menginformasikan bahwa korban yang meninggal akan dikirim ke daerah asalnya masing-masing. Sejumlah korban yang berhasil teridentifikasi disebutkan satu-persatu. Bejo dengan cemas memerhatikannya. Ia terperangah begitu melihat nama Kairah terpampang jelas menjadi salah satu korban yang meninggal. Seketika itu juga Bejo langsung jatuh pingsan.

Setelah melalui proses yang cukup panjang, jenazah Mbok Kairah akhirnya sampai di rumah. Hiruk pikuk ribuan pelayat berjubel menyesaki rumah Bejo. Lantunan ayat-ayat suci Alquran dan tahlil mengiringi saat-saat terakhir jelang pemakaman jenazah Mbok Kairah. Beberapa saat kemudian, prosesi pemakaman akan segera dilaksanakan. Namun, Bejo justru kembali pingsan. Kesedihan mendalam karena merasa bersalah tak menemani ibunya pergi ke tanah suci senantiasa menggelayuti hatinya. Meski begitu, prosesi pemakaman tetap dilanjutkan.

Detik-detik terakhir sebelum jenazah Mbok Kairah dimasukkan ke liang lahat, tiba-tiba terdengar suara gaduh dari kamar Bejo. Kepedihan mendalam di hatinya membuat penyakit jantung Bejo kambuh. Suasana berubah jadi keruh. Prosesi pemakaman Mbok Kairah akhirnya dihentikan sementara. Bejo segera dilarikan ke rumah sakit spesialis jantung terdekat. Namun, di tengah perjalanan Bejo meronta. Nafasnya tersenggal-senggal dan semakin menipis. Bejo kemudian mengucapkan beberapa patah kata.

"Ajal kakak sepertinya sudah dekat. Tolong sampaikan permintaan maaf saya kepada seluruh masyarakat Sukoharjo dan para karyawan. Jaga adik-adikmu baik-baik. Jangan biarkan mereka terlena oleh harta. Tuntun mereka ke jalan yang benar," kata Bejo kepada adiknya dengan terbata-bata.

"Sampean bicara apa? Kakak pasti sembuh, jangan bicara yang tidak-tidak," timpal Ani disertai deraian air mata.

"Kalau saya meninggal, tolong makamkan kakak di samping Mbok. Makamkan kami berdua di gubuk tua," kata Bejo yang sudah naza'. Padahal, jenazah Mbok Kairah sudah digalikan liang lahat di pemakaman umum kampung Sukoharjo.

"Insya Allah, Kak," kata Ani tersedu-sedu.

"Ikuti ucapan saya, Kak. Asyhadu alla ilaha ilallah wa asyhadu anna Muhammadarasulullah..." kata Ani menuntun kakaknya membaca syahadat. Berlahan Bejo mengikuti hingga akhirnya menutup mata dan tak bergerak lagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun