Mohon tunggu...
Emi Afrilia Burhanuddin
Emi Afrilia Burhanuddin Mohon Tunggu... -

Full time mother yang suka menulis dan traveling

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Istriku Mau Hamil

14 November 2014   16:32 Diperbarui: 17 Juni 2015   17:49 1475
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Bang, boleh tidak aku hamil?"

Permintaan istriku barusan membuatku dihantam rasa takut yang amat sangat. Keringat dingin tanpa kuminta mengucur deras dari dahi. Aku terdiam, tak mampu berkata-kata.

"Ayu merengek terus minta adik. Aku sampai kewalahan membujuknya," istriku sambil memilin ujung dasternya, takut-takut.

Melihat wajah istriku yang penuh pengharapan membuatku menganggukkan kepala walau hatiku tidak rela dan cemas. "Biar Abang pikir dulu ya? Kamu tidak marah kan sama Abang?"

Istriku menggeleng kepala sambil tersenyum lebar. Matanya berbinar-binar, gembira.

Adalah sangat wajar permintaan istriku untuk hamil. Putri sulungku, Ayu sudah berumur lima tahun dan pantas jadi seorang kakak. Rengekan minta adik sudah dikumandangkannya sejak ia berusia empat tahun. Bahkan agar dapat adik, Ayu rela tidak jajan dan menyimpan uangnya untuk membeli bayi di rumah sakit.

Aku tidak mengira candaanku mengenai membeli bayi dianggap serius oleh Ayu. Untuk menghentikan rengekannya, aku berkata,"Sabar, Ayah lagi mengumpulkan uang yang banyak untuk beli adik bayi. Kalau sudah terkumpul, kita bisa ke rumah sakit. Nanti Ayu bisa pilih mau adik laki-laki atau perempuan."

Namun setelah Ayu duduk di Nol besar, ia sedikit paham kalau perut bundanya besar dan membuncit, ia baru bisa mendapat adik. Dengan nalarnya yang masih lugu, Ayu memaksa bundanya untuk makan yang banyak dan membuka mulut yang lebar didepan kipas angin agar menghasilkan perut yang buncit.

Sama seperti Ayu, istriku pun ingin segera hamil. Tiga tahun menikah denganku, ia pendam hasrat untuk hamil. Namun nalurinya sebagai seorang wanitayang ingin merasakan kehamilan dan melahirkan membuatnya tidak bisa lagi menangguhkan keinginan tersebut. Hal yang sangar wajar. Yang tidak wajar adalah ketakutanku menghadapi kemungkinan istriku hamil. Waktu lima tahun belum bisa membasuh luka dan menghapus ingatan tentang sebuah peristiwa.

***

Waktu terasa membeku, ketika pria berjas putih dengan muka murung menjabat erat tanganku sambil berkata, "Maaf, Pak. Istri bapak telah berpulang!"

Aku menatap tajam wajah dokter kandungan yang ada dihadapanku. Kalau tidak ingat satu jam yang lalu ia menyerahkan sesosok bayi perempuan yang sangat cantik untuk ku azani, tentu sudah ku tonjok mukanya. Berani-beraninya ia bercanda mengenai istriku. "Jangan main-main, dok!" desisku sambil melepaskan genggaman tangannya dan bergegas menuju kamar perawatan istriku.

Selepas mengumandangkan azan dan iqomah, aku pamit pulang untuk mengurus dan menanam ari-ari putriku. Kondisi istriku tampak sehat walau sesekali masih meringis kesakitan akibat perutnya yg disayat-sayat agar bisa mengeluarkan bayi. Letak bayi yang tidak normal alias sungsang menjadikan operasi sesar jadi pilihan terbaik. Walau itu sedkit membuat istriku sedih karena tidak bisa mengalami proses melahirkan normal sebagaimana yang diinginkannya.

"Terima kasih, Cinta! Sudah memberikan hadiah terindah dalam hidupku," Aku cium lembut kening istriku. "Bayi kita sangat cantik, persis seperti dirimu. Aku sungguh bahagia. Saat ini aku adalah lelaki yang paling berbahagia didunia! Aku ingin berteriak sekuat-kuatnya agar semua orang tahu aku sedang diliputi rasa senang, suka cita, kegembiraan!"

Istriku tertawa sambil meringis. Lagi. "Kamu kesambet jin dimana sampe bisa jadi romantis kayak gini?"desisnya lemah.

Aku pura-pura marah. "Tidak suka ya ? Aku cuma berusaha mengekspresikan apa yang ada dalam dadaku,"rajukku manja.

"Suka. Cuma situasinya yang tidak tepat. Kalo aku ketawa terus, perutku terasa kencang dan jahitannya akan mengirimkan sinyal untukku mengadu kesakitan." Istriku menguap lebar. "Aku ngantuk banget. Kayaknya pengaruh obat biusnya masih ada."

"Kamu tidurlah yang nyenyak, aku pulang sebentar mau mengurus ari-ari bayi kita."

"Kenapa tidak minta tolong ibuku saja? Beliau sudah pengalaman mengurus ari-ari anak dan cucunya."

"Aku ingin ambil bagian dalam proses kelahiran anak kita, bukan cuma jadi tukang azan saja. Makanya aku sendiri yg akan mengurus ari-arinya."

Istrikumenguap lagi. "Jangan lama ya!"

"Tentu. Kamu tidurlah yang nyenyak biar tenagamu cepat pulih." Aku kecup lagi kening istriku.”Aku janji saat matamu terbuka, aku sudah berada disampingmu lagi!”

Tidak henti-hentinya aku memanjatkan rasa syukur atas anugerah ini. Istriku tidur dengan mengulum senyum indah. Kelahirannya berjalan lancar, asi sudah keluar walau belum terlalu deras. Bayi yang dilahirkan istriku di anugerahi wajah yang cantik, kulitnya merah pertanda besar nanti akan berkulit putih seperti ibunya. Anggota tubuhnya lengkap, tidak kurang dan tidak lebih. Dan sekarang dokter mau menghancurkan bahagiaku dengan lelucon yang tidak lucu?

Ketika aku menerobos masuk kamar, aku melihat ibu dan mertuaku sedang berpelukan, menangis sesengukan.

"Ada apa ini?"tanyaku bingung, "Kemana Dewi?" Aku menanyakan keberadaan istriku yang tidak ada dalam kamar.

"Dewi, dia...." Ibu mertuaku kembali tersedan dengan pilu.

Ibu menghampiriku, dibimbingnya aku duduk dikursi. Sambil menyeka matanya yang terus basah, ibu berbisik lirih,"Dewi sudah kembali kepada pemiliknya. Dewi sudah meninggal!"

Aku terdiam. Dengan sedikit kesadaran yang tersisa, aku berusaha mencerna kata-kata ibu. Istriku sudah meninggal. Tidak mungkin ibuku berbohong. " Bagaimana bisa?"tanyaku linglung. “Bukankah tadi dia baik-baik saja?”

"Belum lama kamu meninggalkan rumah sakit, Dewi mengeluh sesak nafas. Mulanya ibu dan besan menganggap biasa saja. Tapi makin lama dewi makin megap-megap. Ibu memanggil dokter untuk mengobatinya. Kemudian Dewi dibawa ke ICU. Tak berapa lama dokter mengabarkan kalo Dewi sudah tiada. Semuanya begitu cepat, terjadi dalam sekejap mata saja," ibu kembali terisak. "Ketika Dewi masuk ICU, ibu berusaha menghubungimu tapi ternyata hpmu ketinggalan dua-duanya disini. Bapakmu, ibu suruh untuk menjemputmu. Mungkin selisih jalan."

"Sekarang dimana Dewi?"

Dipapah ibu, aku berjalan sempoyongan menuju ke kamar jenazah. Aku seperti berjalan di awan, badanku begitu ringan. Pikiranku kosong, hatiku remuk redam. Masih dalam hitungan menit aku menobatkan diri sebagai lelaki yang paling berbahagia di dunia, sekarang keadaan begitu cepatnya berbalik. Seperti naik roller coaster. Diangkat setinggi-tingginya untuk kemudian dijatuhkan sedalam-dalamnya.

Dengan tangan gemetar aku membuka kain batik coklat yang menutupi ranjang. Penyangkalanku berakhir setelah melihat sosok yang ditutupi kain itu memang Dewi. Mulutnya masih mengulum senyum, badannya pun terasa hangat. Matanya tertutup rapat. "Dewiii...."ratapku. Selanjutnya hanya gelap yang kurasa.

***

Menurut dokter, Dewi mengalami penyumbatan pembuluh darah akibat ada air ketuban yang masuk ke pembuluh darah. Walau kedengarannya begitu sepele hanya air ketuban yang menyelonong tapi efek yang ditimbulkannya begitu fatal. Air ketuban yang mengkontaminasi pembuluh darah akan menghambat oksigen yang mengalir sehingga terjadilah sumbatan atau emboli.

Aku masih tidak percaya Dewi akan pergi meninggalkanku secepat ini. Berhari-hari aku mengurung diri, terpuruk dalam kesedihan. Begitu banyak hal yang kusesali. Sampai suatu saat, bayi yang dilahirkan Dewi mendadak sakit. Badannya seperti api ketika kupegang. Panas.

Kesedihan yang berlarut membuatku melupakan keberadaan makhluk kecil pengikat cintaku dengan Dewi. Bahkan aku belum sempat memberinya nama. Aku tidak siap jika harus kehilangan ia juga. Sakitnya Ayu, nama yang kusematkan pada anakku, menyadarkanku untuk segera bangkit dari sedih yang membelit hati. Demi Ayu, aku harus bisa menata hati dan menatap masa depan.

Setelah dua tahun meninggalnya Dewi, aku menikah lagi. Bukan karena aku sudah tak cinta lagi dengan mendiang Dewi, tapi Ayu membutuhkan sosok ibu dalam hidupnya. Aku juga kasihan melihat ibuku yang sudah sepuh harus merawat Ayu. Aku memasrahkan pada ibuku tentang siapa calon istri. Aku menerima ketika dijodohkan dengan Ratna yang masih terhitung sepupunya Dewi. Bagiku siapapun calon pendampingku yang terpenting ia harus menyayangi Ayu setulus hati. Ratna memenuhi kriteria tersebut.

Dari awal menikah aku sudah mengisyaratkan bahwa aku tidak siap untuk jadi ayah lagi. Bayang-bayang kematian Dewi akibat melahirkan menimbulkan trauma yang mendalam bagi jiwaku. Untuk mencegah Ratna hamil, sejak malam pertama aku mengenakan sarung pengaman. Bertambahnya usia pernikahan kami, ketakutan Ratna hamil makin membesar. Seiring dengan mulai tumbuhnya rasa cintaku pada Ratna. Aku menikahi ratna bukan berlandaskan cinta, namun kelembutannya dan kehangatan kasih sayangngya mampu mengisi ruang hatiku yang sempat beku pasca meninggalnya Dewi. Ratna mampu menempatkan dirinya sebagai ibu pengganti untuk Ayu, istri yang pengertian dan pintar melayani suami. Membesarnya rasa cinta untuk Ratna membuatku dihinggapi ketakutan kehilangannya.

Keinginan Ratna yang didukung penuh Ayu untuk hamil membuatku takut. Aku takut peristiwa yang menimpa Dewi akan terulang lagi pada Ratna. Aku tidak siap kalau harus kehilangan perempuan yang kucintai untuk yang kedua kalinya. Namun aku juga tidak tega menolak sesuatu yang sangat manusiawi itu.

***

Apakah karena aku dianggap tidak lulus menghadapi ujian hidup berkaitan dengan kematian Dewi maka Allah mengulang hal yang sama pada Ratna? Harus menjalani operasi sesar karena bayi yang sungsang, di operasi diruang yang sama, bahkan dokternya pun dokter yang dulu mengoperasi Dewi. Seperti dejavu bagiku.

"Tenang saja, Insya Allah semuanya akan baik-baik saja,"ujar Ratna sebelum dibawa masuk ke ruang operasi. Tidak ada raut takut terlukis diwajahnya. Hanya kepasrahan yang tampak.

Justru istriku yang berusaha menenangkan hatiku. Walau berusaha untuk tidak menampakkan kecemasan didepan Ratna namun rasa trauma tetap berbekas di mata dan tidak bisa ditutupi. Kegembiraan Ayu yang tidak sabar menanti kelahiran adiknya tidak mampu mengurangi kecemasanku. Otakku penuh dengan potongan kelam kejadian meninggalnya Dewi.

Ketakutanku makin menjadi setelah Ratna dibawa ke ruang operasi. Detik terasa begitu lambat berjalan. Jantungku berpacu dengan irama yang tidak teratur. Keringat dingin mengucur dengan deras dari pori-pori kulitku. Kenangan buruk tentang Dewi terus berseliweran dipikiranku. Paru-paruku terasa pengap oleh cemas yang terasa tidak berujung. Untuk menghilangkannya aku keluar untuk merokok sebentar. Namun merokok tidak bisa menurunkan kadar kekhawatiranku. Karena tidak tahu harus berbuat apa, aku melangkahkan kaki menuju mushala yang berada di dekat parkiran mobil. Memenuhi permintaan Ratna.

"Bang, jangan lupa berdoa ya! Doakan agar aku dan bayi kita bisa selamat," demikian ucapan Ratna sebelum menghilang dibalik ruang operasi.

Dinginnya air yang menyentuh kulit memberi sedikit kesejukan dihati. Setelah berlama-lama bermain air dan berwudhu, aku masuk ke dalam mushala. Aku memilih duduk dipojokan. Aku sudah bersuci namun hatiku belum tergerak untuk solat atau membaca Al-Quran. Aku cuma ingin berkontemplasi saja.

Dulu ketika Dewi berada diruang operasi, aku juga berdoa untuk keselamatannya dan bayi yang akan dilahirkannya. Tidak, tolak batinku. Hanya mulutku yang berucap doa namun hatiku tidak menaruh percaya pada doa yang kupanjatkan. Aku lebih mempercayai nasib istri dan anakku pada tangan dokter. Aku percaya dengan tangan ajaib dokter yang didasari pengalaman dan pengetahuannya dalam bidang medis yang bisa menyelamatkan iatri dan anakku. Rasa percaya dirikumakin membesar mengingat kakakku dan dua iparku tidak mengalami apa-apa setelah di sesar. Bukankah banyak pesohor negeri ini juga memilih jalan yang sama untuk melahirkan bayinya dan mereka tetap sehat tanpa kurang sesuatu apapun. Begitu juga dengan bayinya.

Namun rasa percaya diri itu terjungkal dengan kenyataan meninggalnya Dewi karena air ketuban yang masuk ke pembuluh darah. Ternyata dokter tidak berkuasa atas nyawa pasien yang ditanganinya. Dokter hanya perantara bukan penentu. Setitik kesadaran bertunas dihati. Mengiringi sebuah sesal yang selalu terlambat datangnya. Aku memang bodoh, menyandarkan nasib bukan kepada zat yang paling berkuasa menentukan nasib. Tanpa sadar airmata tumpah membasahi pipi.

Dengan hati yang penuh aku berdiri menegakkan sholat. Tiada sesuatu hal yang mustahil bagi Allah. Dengan penuh harap dan pasrah aku meminta curahan rahmat agar proses persalinan Ratna berjalan lancar. Istri dan anakku bisa selamat tanpa kurang sesuatu apapun.

Ada rasa lega begitu aku selesai melaksanakan sholat hajat. Hatiku pasrah dengan apapun takdir yang akan berlaku bagiku.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun