[caption id="attachment_109788" align="aligncenter" width="680" caption="Tempe/Admin (Wikipedia)"][/caption]
“Kita bangsa besar, kita bukan “bangsa tempe”, kita tidak akan mengemis, kita tidak akan minta-minta apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini syarat itu! Lebih baik makan gaplek tapi merdeka, daripada makan bestik tetapi budak … Tradisi Bangsa lndonesia bukan “tradisi tempe”. Kita dizaman purba pernah menguasai perdagangan di seluruh Asia Tenggara, pernah mengarungi lautan untuk berdagang sampai ke Arabia atau Afrika atau Tiongkok.” Soekarno, dalam Pidato kemerdekaan tanggal 17 agustus 1963.
Kita ini memang bangsa yang pernah besar, mungkin karena tradisi kita tradisi tempe bukan tradisi yang bukan tempe. Protein kacang kedelai itulah yang mengalir, berkobar-kobar didalam pipa-pipa kapiler darah bangsa Indonesia. Kita memang bukan bangsa yang berperawakan besar, seperti Eropa Timur dan India, kita bangsa yang berperawakan kecil tapi berkekuatan besar, karena vitamin dari tempe itulah, yang berkobar-kobar didalam otot manusia-manusia Nusantara. Maka aku katakan pada kalian, aku ceritakan dan dendangkan pada kalian, sebuah ceritera! Sebuah sejarah! Sebuah parodi! Yang telah hilang dan terkubur dalam khasanah literatur kita, yang telah terputus tali kaitnya dengan sejarah kebangkitan bangsa kita. Sebuah cerita tentang tempe, amma ba’du! SYAHDAN! Beginilah ceritanya.
Terhitung setelah nyaris 200 tahun ketika Guttenberg menemukan mesin cetak dan menggemparkan dunia dan me-revolusi sejarah tata-tulis dan pewacanaan, di Indonesia, sekitar abad ke 16 tepatnya di pulau Jawa, teknologi anak bangsa sedang melahirkan sebuah piranti teknologi yang tak kalah lebih revolusioner dan radikal, yaitu alat pembuat tempe. Yang dikatakan Ong Hok Ham sebagai “Sebuah hadiah dari jawa untuk dunia”.
Terhitung sejak di temukannya teknologi pembuat tempe, bangsa kita entah sengaja ataupun tidak sengaja tidak mendistribusikan produk ini ke dunia, melainkan mengkonsumsi produk ini secara lokal, dengan kata lain produk tempe selama 400 tahun keberadaannya menjadi produk yang eksklusif hanya dinikmati dan di-apresiasikan anak bangsa Indonesia saja. Referensi tertua tentang tempe ditemukan dalam khasanah pustaka pada tahun 1870 yaitu didalam Javanese-Dutch Dictionary, diperhitungkan sejak tahun ini juga kemungkinan bangsa Barat yang kala itu sebagai kekuatan imperium penjajah, ikut mengkonsumsi tempe seperti layaknya bangsa Indonesia. Tidak lama kekuatan-kekuatan anak Bangsa yang sebelumnya tidak pernah tumbang, seperti kekuatan kesulatanan Atjeh yang selama ini berdiri gagah mempecundangi imperium Belanda, yang membawa mereka kepada krisis satu kedalam krisis lain, mengantarkan mereka dari rencong ke kurambit, menjadi jatuh tepatnya pada tahun 1903 yaitu tiga puluh tiga tahun setelah Belanda makan tempe. Apakah ada hubungan antara kekalahan Kesultanan Aceh dengan akibat Belanda makan tempe selama selang proses tiga puluh tiga tahun? Anda sendiri yang menilai, Tuhan Yang Maha Tau kepastiannya..hehe
Menurut Prof. Dr. Ir. Made Astawan, MS proses tempe yang unik dan melibatkan enzim pencernaan yang hal itu keluar secara brilliant dari lapan tempe, menjadikan tempe secara unik dan ajaib menjadi makanan yang kandungan protein, karbonhidrat dan vitaminnya lebih mudah terserap, diterima, dan dicerna oleh tubuh, sekalipun itu bila diperbandingkan dengan bahan dasarnya yaitu kedelai.
Kayanya kandungan protein dan vitamin dalam tempe, itu baru satu hal, tetapi mudahnya kekayaan ini untuk dicerna dan dimanfaatkan oleh tubuh dengan meminimalisir buangannya adalah hal lain yang tak kalah penting, dalam percontohannya Professor Astawan mengatakan, bahkan seorang bayi yang kurang gizi, ketika diberikan tempe dapat langsung pulih dari keadaan kekurangan gizinya. Kefleksilbelan dan ke-unikan tempe membuat tempe menjadi makanan yang bisa di-apresiasikan oleh semua umur, dari mulai balita hingga ke-taraf manula. Kandungan gizi dan protein didalamnya menjadikan tempe cukup valid untuk hadir sebagai pengganti daging.
Kalian pernah lihat Haji Agoes Salim? Kalau kalian belum pernah lihat, aku beritahu saja, dia itu orang tua dalam usia, namun ketika dia naik diatas podium, dia arahkan pemikirannya, dia menunjukkan semangat muda, kobaran-kobaran semangat yang jarang dimiliki oleh orang se-usianya. Hal ini menjadi sesuatu ke-khasan bangsa Indonesia, “wajah tua jiwa radikal”, bisakah kita mengatakan kalau hal ini akibat Haji Agoes Salim diberkati Allah? Pasti, tidak ada daya upaya, hingga tak akan jatuh selembar daunpun tanpa se-izinNya. Tapi selain itu bisakah juga ini sebagai akibat karena dia makan tempe dan menyerap anti-oksidan yang ada didalam tempe? Saya katakan pada kalian, mengapa tidak bisa?
Proses penuaan adalah hal yang wajar terjadi pada diri setiap mahluk hidup. Gizi dan sistem kekebalan tubuh bukan cuma menyumbangkan kesehatan dan menangkal penyakit didalam tubuh kita, tetapi juga sebaliknya dia memicu degenerasi organ dan mempercepat penuaan, begitu juga radikal bebas. Anti-oksidan adalah salah satu zat yang menghambat degenerasi organ tersebut.
Tentu saja kita ini bangsa tempe, karena zat-zat tempe itu juga mungkin yang mendorong kita nekad untuk meladeni bedil sundut dengan celurit, bahkan terkadang lebih parah lagi yaitu bambu runcing. Tentu saja kita ini bangsa tempe, karena tempe tidak menjadi kaku dengan dinginnya cuaca, tidak alot bagaikan karet oleh kulkas waktu, tempe tetap enak dan tidak mengurangi kelegitan rasanya sekalipun diterpa angin alam di angkringan. Selama 400 tahun Indonesia menjadi satu-satunya bangsa didunia ini yang memakan tempe, tidak ada bangsa lain yang kebagian, kita melahapnya sendiri, memunggungi tubuh-tubuh jangkung orang Belanda dan membiarkan tudung kita menutupi tempe dari jamahan tangan mereka.
Kita mungkin bukan bangsa kaya, bukan bangsa mandiri, bukan bangsa cerdik, bukan juga bangsa yang merdeka hingga detik ini. Tetapi kita tidak bisa mengelak kalau diri kita ini adalah bangsa tempe. Memang kita ini bangsa tempe, yang pernah besar, dan pernah juga kecil, tapi besar kecil lebar luas entah apapun juga itu, kita lalui dengan tempe.
Maaf Bung Karno, saya berlawanan dan tidak sepakat dengan pidatomu kala itu pada masa sekarang, dan mulai hari ini akan kuteriakan kepada dunia Bahwa :“Kita bangsa besar, kita memang “bangsa tempe”, karena tempe-lah anak negeri ini banyak yang kreatif dan inovatif, karena tempelah kami menjadi orang yang pekerja keras, meski sifat tempe itu lembut, bukan berarti kami pengecut dan ciut, meski tempe itu mudah patah, namun ketika digoreng dia renyah, begitu juga ketika kami di jajah, kami takkan menyerah dan lemah sebelum penjajah menyerah”. [Paradoks] Yogyakarta, Dini hari, Bolean Mei 2011 tertanda “Baru Belajar”.
Soeharo dan Soekarno
---------------------------------TULISAN LAINNYA---------------------
GOYANGANMU MEMBUAT TEGANG DAN BERDIRI ANUKU!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H