Mohon tunggu...
Rahmat Sudrajat
Rahmat Sudrajat Mohon Tunggu... lainnya -

Berjalan untuk kaya penglihatan, berjalan untuk kaya wawasan dan pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Money

Mengurai Independensi dan Eksistensi Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

18 November 2015   09:19 Diperbarui: 18 November 2015   10:04 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Pasar yang semakin mengglobal dan cara transaksi hubungan pelaku usaha dan konsumen semakin berkembang, berdampak pada perubahan paradigma hubungan antara pelaku usaha dan konsumen, yaitu hubungan yang semula dibangun dengan prinsip kehati-hatian sebelum membeli bagi pembeli atau konsumen (teliti sebelum membeli produk), berubah menjadi penjual harus beritikad baik dan bertanggungjawab dalam menjual produknya kepada pembeli atau konsumen. Prinsip tersebut membebankan tanggungjawab kehati-hatian pada penjual (pelaku usaha). Artinya, penjual harus bertanggungjawab dengan produk yang dijualnya. Maka pelaku usaha wajib beritikad baik memberikan perlindungan dan pendidikan pada konsumen, salah satunya melalui informasi produk yang jujur.

Konsumen memiliki risiko yang lebih besar daripada pelaku usaha, dengan kata lain hak-hak konsumen sangat rentan untuk dilanggar oleh pelaku usaha. Maka pentingnya perlindungan hukum bagi konsumen. Sebab salah satu tujuan hukum adalah memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Perlindungan kepada masyarakat harus diwujudkan dalam bentuk kepastian hukum yang menjadi hak konsumen.

Dalam praktik negara di dunia pada umumnya digunakan konsep Negara kesejahteraan (welfare state) ini, Negara dituntut untuk memperluas tanggung jawab kepada masalah-masalah sosial ekonomi yang dihadapi rakyat banyak. Perkembangan inilah yang memberikan legalisasi bagi “Negara intervensionalis” abad dua puluh. Negara perlu, bahkan harus, melakukan intervensi dalam berbagai masalah sosial dan ekonomi untuk menjamin terciptnya kesejahteraan bersama dalam masyarakat. Paham yang menempatkan negara memiliki peran dan tugas konstitusional untuk melindungi warga Negara saat ini tengah diuji. Adanya intervensi Negara di dasarkan pada derasnya arus perkembangan hukum akibat perkembangan teknologi abad ini, munculah suara-suara yang akhirnya menyebar ke hampir seluruh belahan dunia dalam wujud “gerakan perlindungan konsumen” (consumer movement).

Sebagai sebuah sistem, penyelenggaraan perlindungan hukum bagi konsumen tidak dapat dilepaskan dari konteks pembangunan nasional. Dapat dikatakan adanya konsep keterpaduan pada Undang-Undang Perlindungan Konsumen, dalam penyelenggaraan perlindungan hukum bagi konsumen. Bila dibandingkan dengan konsiderans Undang-Undang Nomer 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, latar belakang perlindungan hukum bagi konsumen.

Salah satu pasal dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 23, menjelaskan bahwa apabila pelaku usaha menolak dan atau tidak memberikan tanggapan dan atau tidak memenuhi tuntutan ganti rugi atas tuntutan konsumen, maka konsumen diberikan hak untuk menggugat pelaku usaha, dan menyelesaikan perselisihan yang timbul melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), atau dengan cara mengajukan gugatan kepada badan peradilan di tempat kedudukan konsumen. Di sini terlihat bahwa UUPK memberikan alternatif penyelesaian melalui BPSK serta melalui Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya melalui tempat kedudukan konsumen.

Kehadiran Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yang diamanatkan oleh UUPK merupakan suatu lembaga yang dapat digunakan oleh konsumen dalam penegakan hak-haknya. BPSK telah dibentuk di berbagai kota di Indonesia. Pembentukan BPSK ini tentu saja membawa  amanat dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen, sehingga kinerja yang optimal dari BPSK akan menjadi faktor penentu bagi BPSK dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya.

Pasal 49 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan konsumen menyebutkan  Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dibentuk oleh pemerintah untuk menyelesaikan sengketa konsumen diluar pengadilan. Kedudukan badan ini berada di daerah tingkat II. Susunan pengurus BPSK dibentuk oleh gubernur masing-masing propinsi dan diangkat dan diberhentikan  oleh menteri perdagangan. Keanggotaan BPSK terdiri dari tiga unsur yaitu unsur pemerintah, konsumen, dan pelaku usaha. Setiap unsur anggota sebagaimana dimaksud pada pasal 49 ayat 3 Undang-Undang No 8 Tahun 1999, berjumlah sedikit-dikitnya tiga orang, dan sebanyak-banyaknya lima orang.

BPSK sebenarnya dibentuk untuk menyelesaikan kasus-kasus sengketa konsumen yang berskala kecil dan bersifat sederhana. Dasar hukum pembentukan BPSK adalah pasal 49 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen dan Kepmenperindag Nomor 350/MPP/Kep/12/2001 yang mengatur bahwa di setiap kota atau kabupaten harus dibentuk BPSK. Menurut ketentuan Pasal 90 Keppres Nomor 9 Tahun 2001, biaya pelaksanaan tugas BPSK dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (APBD).

Pembentukan BPSK tidak lepas dari peranan pemerintah sebagai pemegang regulasi dan kebijakan sangat penting. Tanggung jawab dalam melakukan pembinaan dan penyelenggaraan perlindungan konsumen di maksudkan untuk memberdayakan konsumen agar mendapatkan hak-haknya, sementara itu tanggung jawab pemerintah dalam melakukan pengawasaan penyelenggaraan perlindungan konsumen juga menjadi bagian yang penting dalam upaya membangun kegiatan usaha yang positif dan dinamis.

Dalam hal itu norma-norma yang bersifat formal pun (hukum acara) menimbulkan birokrasi baru bagi konsumen yang gagal menuntuk keadilan lewat Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) akibat pelaku usaha tidak secara sukarela melaksanakan putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), padahal tenggang waktu untuk mengajukan keberatan atas putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) kepada Pengadilan Negeri telah dilampau atau pelaku usaha tidak mengajukan keberatan. Dalam pasal 56 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998 Tentang Perlindungan Konsumen, keadaan seperti itu Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) menyerahkan putusan tersebut kepada pejabat penyidik.   

Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) tidak mengatur dalam waktu berapa lama putusan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) diberitahukan kepada para pihak. (Bila disepakati) tidak diaturnya hal itu karena menyangkut salah satu “ketentuan teknis lebih lanjut tentang pelaksanaan tugas majelis”, maka pasal 54 ayat 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) memberi Menteri Perindustrian dan Perdagangan kewenangan mengeluarkan Surat Keputusan Menteri. Surat Keputusan Menperindag Nomor: 350/MPP/Kep/12/2001 merupakan salah satu Surat Kepetusan Menteri yang dimaksudkan dalam pasal 54 ayat 4 Undang-Undang Perlindungan Konsumen.  

Sebagai suatu badan yang merupakan “peradilan semu” keputusan BPSK tidak mempunyai kekuatan hukum yang tetap tetapi ternyata tidak dipatuhi atau dilaksanakan maka harus dimintakan penetapan eksekusi kepada Pengadilan Negeri. Namun masalahnya Pengadilan Negeri tidak bersedia memberikan fiat eksekusi terhadap putusan BPSK karena belum adanya peraturan yang mengatur tata cara penyelesaian putusan BPSK.

Dengan demikian sepanjang belum adanya koordinasi dengan instansi penegak hukum terkait konsumen yang memenangkan gugatan sepertinya belum merasakan kemenangan yang sempurna karena sanksi yang telah dijatuhkan BPSK, tidak dipatuhi oleh beberapa pelaku usaha. Padahal penyelesaian sengketa konsumen melalui BPSK yang mengadopsi prosedur Small Claim Court atau Pengadilan dengan tuntutan kecil diharapkan dapat menjadi lembaga penyelesaian sengketa alternative yang ideal karena memiliki prosedur sederhana, proses yang cepat serta biaya murah tanpa mengesampingkan azas peradilan dalam sudut pandang perlindungan konsumen.

Dengan adanya peranan pemerintahan dan membentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, tetap saja kelemahan konsumen dalam tingkat kesadaran hak dan kewajibannya masih rendah. Hal ini disebabkan antara lain tingkat pendidikan konsumen yang belum memadai sikap atau kebudayaan konsumen yang lebih suka menghindari konflik (pasrah) yang sudah lama terpatri. Sehingga apabila konsumen dirugikan oleh pelaku usaha, sebagian konsumen enggan memperkarakannya ke pengadilan ataupun ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK). Jadi perlunya penangan serius oleh pemerintah dalam hal ini melalui instrument BPSK.

Independensi BPSK dalam menyelesaikan permasalahan sengketa konsumen tetap di tegakkan, baik dari pihak yang bersengketa  (pelaku usaha dan konsumen). Landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan masyarakat (pelaku usaha dan konsumen) untuk melakukan upaya perlindungan dan pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan. Undang-Undang Perlindungan Konsumen dirasa memberikan jalan alternative dengan menyediakan penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.

Pasal 45 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1998 Tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan, jika telah dipilih upaya penyelesaian sengeketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh jika upaya itu dinyatalan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa. Berarti penyelesaian pengadilan pun tetap dibuka setelah para pihak gagal menyelesaikan sengketa mereka di luar pengadilan. Kata-kata dinyatakan tidak berhasil dalam ayat diatas tidak jelas maksudnya. Secara redaksional, juga tidak jelas apakah yang dimaksud dengan istilah “penyelesaian di luar pengadilan” ini adalah upaya perdamaian diantara mereka, atau juga termasuk penyelesaian melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK).

Dengan keberadaan BPSK yang merupakan amanat dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen, diharapkan menjadi perangkat Hukum yang efektif  dalam penerapannya. Apabila ada akibat cacatnya substansial dalam perangkatnya, maka tujuan untuk melindungi konsumen tidak tercapai. Bahkan yang tujuannya untuk mengurangi beban kualitas perkara dalam pengadilan umum, tapi berbalik menambah beban bagi peradilan. Begitu pula kualifikasi personal perlu ditegakkan. Apabila untuk masa kini masyarakat konsumen akan semakin meningkat tuntutan kualitas perlindungannya. Konflik juga dapat terjadi pada transaksi konsumen. Transaksi konsumen di sini adalah proses terjadinya peralihan kepemilikan atau penikmatan barang atau jasa dari penyedia barang atau penyelenggara jasa kepada konsumen.

 

Oleh : Rahmat Sudrajat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun