Mohon tunggu...
Ai Sherry
Ai Sherry Mohon Tunggu... lainnya -

This is my new blog. My new world. My place to replace my imagination.. ^^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gadis Berambut Warna Jagung (1)

29 Mei 2013   22:33 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:50 254
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku menahan napas beberapa detik saat melihat gadis itu memasuki ruang kelas dengan gayanya yang tenang. Semua siswa di kelas itu sepertinya juga melakukan hal yang sama denganku. Karena sejenak ruangan yang tadinya dipenuhi dengan suara berbisik-bisik yang sesekali diselingi suara tawa, kini menjadi hening. Semuanya melihat ke depan kelas. Aku bisa mendengar setiap orang menarik napas dan menghelanya perlahan saat gadis itu sudah berdiri di depan kelas kami. Aku mengerjap sekali melihat gadis itu.

Gadis itu, yang sekarang sedang berdiri di depan kelas. Dia memiliki tubuh tinggi dan ramping, yang jarang dimiliki oleh gadis-gadis Indonesia pada umumnya. Dan matanya itu, sangat aneh. Mata yang sedang menatap kami dengan tatapan dingin itu, berwarna coklat kehijauan. Dan yang paling mencolok di antara semua penampilannya adalah rambut panjang lurusnya yang berwarna pirang. Bukan pirang asli. Lebih tepatnya pirang kecoklatan, seperti warna rambut jagung. Rambutnya diikat ke belakang mirip ekor kuda.

“Nah, anak-anak.. Ini teman baru kita. Mulai sekarang Adelia Kuncoro akan menjadi penghuni baru kelas ini,” kata-kata Bu Fitri, wali kelas kami, memecah keheningan ganjil yang tiba-tiba tercipta di kelas saat gadis itu masuk.

Semua anak tidak bersuara, termasuk aku yang duduk di bangku nomor dua dari belakang. Aku malah terlalu serius menatap gadis itu. Wajahnya unik. Maksudku, dia tidak seperti beberapa orang dengan wajah kebule-bulean yang akhir-akhir banyak menyebar di Indonesia dan menghiasi layar televisi. Wajahnya percampuran antara wajah Asia Timur, Jawa dan ada salah satu sisi yang menampakkan wajah-wajah bangsawan Inggris jaman dulu. Entahlah. Tapi dari perspektifku memang seperti itu yang tampak.

“Baiklah, Adel.. Mungkin untuk perkenalan nanti teman-teman yang lain bisa menanyakan sendiri pada Adel, ya? Sekarang kamu boleh duduk. Bangku samping Nana kosong ‘kan? Jadi, untuk sementara duduklah dekat Nana...” Bu Fitri menunjuk pada bangku kosong yang berada tepat di sampingku.

Aku melihat gadis itu berjalan melewati deret meja di depanku tanpa menoleh sedikit pun pada orang-orang di sampingnya. Kepalanya agak menunduk, tidak menunduk sepenuhnya. Aku masih bisa merasakan aura keangkuhan khas bangsawan Inggris di wajahnya saat dia berjalan dan duduk di bangku sebelahku tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

“Hai.. Aku Nana,” aku mencoba berbasa basi dan mengulurkan tanganku kepadanya.

“Adel,” jawab gadis itu singkat, menerima uluran tanganku sesaat. Tepatnya, hanya menyentuhnya sekejap.

Aku salah tingkah sendiri. Judes banget.. batinku seraya kembali melihat ke depan kelas.

@@@

Sepulang sekolah, saat aku berjalan keluar dari gerbang sekolah, aku melihat Adel berjalan sendirian melewati lorong sekolah. Sikapnya yang kaku dan terkesan agak angkuh itu membuat semua orang yang dilewatinya mau tidak mau melirik ke arahnya. Sebenarnya bukan karena sikapnya yang dingin itu yang menarik perhatian semua orang. Lebih tepatnya rambut panjangnya yang dibiarkan tergerai yang berwarna kuning keemasan seperti warna rambut jagung itu yang membuat semua orang memperhatikannya. Sebenarnya seharian tadi aku juga penasaran sekali dengan asal usul gadis ini. Siapa yang tidak?? Tiba-tiba pagi ini di kelasmu ada murid baru dengan wajah yang sama sekali asing, duduk di sebelahmu seharian tapi sama sekali tidak bicara sepatah kata pun padamu.

Aku penasaran sekali dengan Adel. Aku berjalan cepat untuk menyamai langkah Adel.

“Hai...” kataku dengan sedikit terengah saat aku sudah berjalan di sampingnya.

Adel menoleh sedikit ke arahku. Tapi dari pandangannya yang hanya sekilas tadi aku bisa melihat tatapan heran di matanya.

“Hai..” sahut Adel singkat dan pelan, tanpa memperhatikanku.

“Kau mau pulang?” tanyaku basa basi. Pertanyaan bodoh. Tentu saja. Memangnya mau ke mana lagi?

“Iya,” jawab Adel singkat.

“Apa rumahmu jauh dari sini?” tanyaku lagi.

Gak. Hanya beberapa blok dari sekolah...” jawab Adel.

“Oh! Rumahku juga lumayan dekat dari sekolah. Kebanyakan anak-anak yang sekolah di sini memang rumahnya hanya sekitar sini-sini saja, kok..” jelasku.

“Begitu?”sahutnya dingin.

“Umph, rumahmu di sebelah mana, sih??” tanyaku lagi hati-hati, takut membuat Adel merasa tidak enak lagi.

Tapi dugaanku memang tepat seratus persen tanpa ada kekeliruan apapun. Adel hanya diam dan cuma tersenyum samar untuk menjawab pertanyaanku. Ah~! Apa ada yang salah dengan pertanyaanku tadi, ya? Itu kan pertanyaan wajar yang selalu dilontarkan kepada anak baru yang ada di sekolah semua orang. So?

Aku menghela napas masygul. Baiklah. Cukup untuk hari ini. Well, yah.. Untuk sebagian orang, mengatakan letak rumah mereka kepada orang asing adalah hal yang tabu. Dan gadis di sampingku ini mungkin salah satunya. Aku angkat bahu acuh. Aku membiarkan Adel berjalan mendahuluiku dan berbelok ke sebuah tikungan di ujung jalan.

@@@

“Na, tau gak?” tiba-tiba Deva menghampiriku pagi ini dengan tampang horor, persis seperti beberapa pembawa acara reality show misteri itu. Cewek manis yang selalu berpenampilan rapi tapi maniak dengan hal-hal mistis sebangsa alien dan semacamnya itu tiba-tiba menghampiriku saat aku sedang asik baca-baca buku siang ini di perpustakaan sekolah siang ini.

“Tahu apaan?” tanyaku sambil mengalihkan perhatianku dari buku yang sedang aku baca dan menoleh ke arahnya dengan pandang penuh tanya.

“Kamu tahu gak rumah bergaya Eropa kuno yang letaknya dua blok dari sekolah ini?” tanya Deva lagi. Aku mengerutkan dahi, mencoba mengingat-ingat.

“Rumah yang mana? Rumah gaya begituan ‘kan banyak di daerah sini,” kataku.

Ih, yang rumahnya udah lama gak dihuni itu? Yang pagarnya tinggi, trus banyak semak belukar yang tumbuh itu,” jelas Deva.

Aku mengerutkan dahi lagi. Aku mencoba mengingat-ingat beberapa rumah gaya kuno yang ada di daerah itu. Memang banyak rumah bergaya Eropa kuno di daerah itu, tapi sebagian besar sudah direnovasi dan disesuaikan dengan perkembangan jaman.

“Yang kamu maksud rumah yang ada di ujung blok D itu?” tanyaku.

“Nah! Itu! Benar sekali,” Deva menjentikkan jarinya tepat di depan wajahku dengan wajah sumringah, seolah-olah baru saja memenangkan lotere.

“Lalu?” aku balik tanya.

“Kamu ‘kan yang paling tahu banyak daerah ini,” jawab Deva.

“Iya, lalu?” tanyaku lagi.

“Aku pengen masuk ke sana. Ingin sedikit meneliti sesuatu,” kata Deva.

Aku menghela napas lelah. Aku tahu apa yang ada di pikiran cewek gokil ini.

“Gak!” sahutku kemudian.

“Nana~! Ayolah... Pliisss... Aku penasaran banget dengan rumah itu,” Deva mengguncang bahuku.

Trus, kamu mau aku ngelakuin apa??” tanyaku tanpa minat.

Deva tersenyum lebar.

“Gak banyak, sih. Aku cuma mau minta tolong buat cariin info tentang rumah itu. Denger-denger, sih, rumah itu ada hantunya,” Deva menatapku dengan antusias.

Nah! Seperti yang aku duga...

“Aku???” tanyaku malas.

“Ok, Nana.. Aku tunggu infonya, ya?” kata Deva seraya berdiri dari tempatnya dan berjalan ke arah lain sambil melambaikan tangan ke arahku sebelum aku sempat protes padanya. Dasar, maniak misteri...

@@@

Aku masuk kelas pagi ini dan langsung disambut kasak kusuk beberapa siswa yang sudah berkumpul di depan kelas. Aku menatap mereka dengan pandangan penuh tanya. Beberapa anak yang kebanyakan cewek dan bukan dari kelasku itu sepertinya tidak begitu menghiraukan kehadiranku. Mereka terlalu disibukkan dengan Deva yang sedang menggebu-gebu menceritakan sesuatu di tengah mereka.

“Ada apaan, sih?” tanyaku penasaran seraya menghampiri mereka.

“Nah, Nana!” tiba-tiba Deva yang melihat kedatanganku berseru antusias.

Aku menatapnya penuh tanya.

“Ada apaan? Lagi ngomongin aku, ya?” tuduhku.

“Idiih, GR. Gak ada yang ngomongin kamu. Kurang kerjaan, ya?” sahut Deva.

“Trus, lagi pada nggosipin apa pagi-pagi begini?” tanyaku.

“Aduhh, kita gak sedang nggosip. Kita sedang membicarakan fakta, kenyataan yang ada,” jawab Deva.

“Kenyataan apa, sih? Sok dramatis, deh...”

“Na, tau gak? Kemarin pas aku nanya tentang rumah yang ada di blok D itu?” tanya Deva. Aku mengangguk.

“Iya, kenapa emangnya? Kamu jadi masuk ke sana?” tanyaku.

“Bukan, bukan aku. Tapi adikku dan teman-temannya. Mereka masuk ke sana buat uji nyali...” jelas Deva. Mataku membulat, menatap Deva tak percaya. Ini... Adik dan kakak punya hobi yang sama. Aku curiga kalau orangtua mereka juga maniak misteri seperti anak-anaknya ini.

“Ngapain?” ulangku.

“Uji nyali. Adikku dan teman-temannya ‘kan juga ikut Klub Misteri-ku. Dan kamu tahu, Na... Apa yang mereka dapat di sana?” Deva kembali memandangku dengan penuh antusias.

“Gak tahu,” sahutku polos sambil menggeleng.

“Mereka ketemu Mereka bener-bener ketemu hantu. Vampir. Yang mukanya pucat, punya taring.. Ya, yang seperti itu, deh..” jawab Deva.

Aku tidak tahu harus bereaksi apa mendengar jawaban Deva ini. Aku ingin tertawa. Tapi aku akan dianggap sebagai orang paling tidak berperasaan nanti. Kalau aku hanya diam saja, mereka akan menganggapku aneh.

“W-wow...” kataku akhirnya. Tapi cukup bodoh.

“Wow?? Apa maksudmu ‘wow’? Kamu pikir mereka habis ketemu artis idola?” kata Deva lagi, masih dengan nada antusiasnya.

“Kalian pasti terlalu sering nonton film misteri,” kataku.

“Awalnya aku juga gak mau percaya, Na. Vampir?? Mana ada? Tapi penjaga kebun rumah itu, Pak Samsyul sendiri juga bilang kalau sering ada hal-hal aneh di rumah itu,” terang Deva lagi.

“Penjaga kebun? Katanya rumah itu kosong...” aku melempar pandang penuh tanya ke arah Deva. Deva mengangguk mantap.

“Memang iya. Pak Syamsul diminta pemilik rumah sebelumnya untuk membersihkan halaman depannya agar gak berantakan. Pemilik rumah asli rumah itu dulunya tetangga Pak Syamsul, jadi beliau kenal dengan orang itu. Tapi rumah itu sudah lama sekali gak dihuni semenjak penghuni sebelumnya pindah ke luar negri,” jelas Deva panjang lebar.

Aku mengangguk paham.

“Lalu??” tanyaku lagi.

“Pak Syamsul bilang, saat dia bekerja siang hari pun, dia merasa seperti ada orang yang mengawasinya dari dalam rumah. Dan perasaannya semakin menguat akhir-akhir ini. Sejak dua minggu yang lalu, dia bahkan yakin sekali melihat ada seseorang yang melihatnya dari balik jendela rumah yang tertutup korden usang...”

“Kyaaaaa....!!”

Aku terlonjak kaget. Dan dengan kesal aku melempar pandang ke arah cewek-cewek yang sejak tadi mendengarkan cerita Deva dengan serius dan secara tiba-tiba pula berteriak kencang di sampingku. Tapi sepertinya mereka tidak menghiraukanku.

“Eh, Na... Aku serius cerita seperti ini. Bukan hanya Pak Syamsul kok yang lihat ada hal-hal aneh di rumah itu. Coba, deh, kamu tanya orang-orang yang tinggal di sekitar situ. Mereka juga akan mengatakan hal yang sama. Mereka bahkan yakin sekali pernah melihat seorang anak kecil keluar dari rumah itu tiap malam hari,” lanjut Deva lagi.

Aku hanya manggut-manggut tanpa berkata apa-apa. Mau bagaimana lagi?? Aku memang sering mendengar cerita seperti itu dari orang-orang sekitar tempat tinggalku. Aku tidak mau mempercayainya, tentu saja. Hal-hal tak kasat mata seperti itu memang sudah jelas ada. Aku percaya. Tapi bukan urusanku dan bukan hakku untuk mencampuri urusan mereka. Alasan mereka memperlihatkan eksistensinya di dunia manusia, biarlah menjadi rahasia dan aku tidak mau ikut campur. Kalau memang yang orang-orang lihat dan ceritakan ini adalah para makhluk tak kasat mata itu.

Saat Deva masih melanjutkan ceritanya dengan menggebu-gebu, dari pintu kelas aku melihat Adel masuk kelas. Aku melambaikan tangan ke arahnya, tapi Adel hanya mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun dan dia terus berlalu sampai ke bangkunya. Aku angkat bahu.

“Na, tau gak...” tiba-tiba Deva mendekatiku dan berbisik pelan di telingaku.

“Apaan lagi?” tanyaku bingung. Deva menatap berkeliling dan tatapannya jatuh pada Adel yang kini sedang memeriksa isi tasnya. Aku mengernyitkan dahi menatapnya.

“Anak kelas sebelah ada yang pernah liat Adel masuk rumah itu, sendirian...” jawabnya kemudian.

Kali ini aku benar-benar menatap Deva tak percaya.

“Ah, jangan bikin gosip yang enggak-enggak,” sergahku.

“Ishh, kamu kok gak percaya, sih??”

“Aku mau ngerjain PR Kimia dulu, deh,” aku mengelak seraya berlalu dari kerumunan cewek-cewek itu dan berjalan menuju bangkuku.

Saat aku berjalan menuju bangkuku, dari sudut mataku aku bisa melihat Deva dan cewek-cewek itu mulai kasak kusuk tidak jelas sambil sesekali mengerling ke arah Adel. Aku angkat bahu. Aku tidak mau tahu. Kalau memang pernah ada yang melihat Adel masuk rumah tua itu, apa aku punya hak untuk ikut campur urusannya? Mungkin Adel sedang nyari kucing peliharaannya yang lari ke rumah itu. Mungkin seperti itu...

Aku menguap lebar sambil membuka tasku dan mengeluarkan buku Kimia-ku dengan malas.

@@@

Jalanan yang aku lewati malam ini terlihat lengang sekali. Aku melihat jam tanganku dengan muka mengantuk. Masih jam 8 malam. Biasanya masih banyak orang berlalu lalang di jalanan. Mungkin karena sejak sore tadi turun hujan dan baru beberapa menit yang lalu reda, jadi atmosfer-nya membuat orang-orang malas keluar rumah dan memilih untuk bermalas-malasan di rumah. Sebenarnya aku adalah orang yang memilih berdiam diri di rumah dalam suasana seperti ini daripada harus keluar rumah malam-malam seperti ini hanya untuk mencari nasi goreng.

Hah, tapi kalau orangtua sudah berkata, apa lagi yang bisa aku lakukan??

Aku sih tidak masalah kalau harus mencari nasi goreng sendirian malam hari begini. Tapi kenapa harus sampai di blok D, komplek perumahan yang letaknya beberapa kilo dari rumahku?? Sepanjang perjalanan aku hanya bisa menggerutu tidak jelas.

Untung saja, saat aku tiba di warung nasi goreng langganan ibuku ini, tidak begitu banyak pembeli yang sedang antri. Hanya ada dua pelanggan yang sedang mengantri.

Aku menunggu nasi goreng pesananku dibuat seraya mengamati jalanan di sekelilingku. Jalanan masih basah oleh air hujan. Bau tanah yang basah oleh air hujan menambah suasana malam ini menjadi “suasana yang tepat untuk bermalas-malasan”.

Saat aku sedang mengamati jalanan sekelilingku itu, aku baru menyadari sesuatu. Mataku terarah pada sebuah rumah yang tepat berada di seberang jalan di depanku. Sebuah rumah besar bergaya Eropa kuno yang dikelilingi dengan pagar dari besi tempa yang menjulang tinggi. Lengkap dengan halaman depan yang luas, seperti yang selalu digambarkan orang-orang tentang rumah bangsawan Eropa jaman dulu. Halaman depan, walaupun tampak gersang karena hanya ditumbuhi rumput saja, kelihatan terawat karena memang ada yang merawatnya. Hanya saja, keadaan rumah di belakangnya tidak serapi halaman depannya. Rumah itu gelap. Kalau tidak ada lampu merkuri yang dipasang di depan pagar rumah itu, mungkin rumah itu benar-benar kelihatan horor sekali.

“Rumah di depan itu masih kosong juga, ya, pak?” tanya seorang wanita setengah baya yang duduk di sampingku, yang juga sedang menunggu nasi goreng pesanannya.

“Eh? Iya, bu,” jawab penjual nasi goreng itu.

“Apa tidak takut berjualan di sini?” tanya ibu itu lagi.

“Yah, mau bagaimana lagi? Rumah saya juga di sini, bu,” sahut penjual nasi goreng itu seraya mengerling sekilas ke arah ibu-ibu di sampingku dan tangannya masih sibuk di atas penggorengan.

“Rumah itu udah gak dihuni berapa tahun, sih?” tanya ibu itu lagi.

“Kurang lebih 5 tahun, bu...” jawab si penjual.

“Wah, kalau dibiarin kosong selama itu, apa gak dihuni sama makhluk dunia lain?” seorang bapak-bapak yang sedari tadi duduk di sana sambil menikmati sepiring nasi goreng dan segelas teh panas, tiba-tiba ikut menimpali.

“Kalau itu, sih, sudah jelas ‘kan?” sahut si ibi-ibu.

“Maksudnya?”

“Bukannya banyak yang sering lihat hal-hal aneh di rumah itu? Bapaknya ini masa’ gak pernah lihat yang begituan?” si ibu menoleh ke arah penjual nasi goreng. Si penjual tersenyum samar.

“Kalau itu, sih, gak cuma saya, bu, yang lihat. Orang-orang sekitar sini sering lihat, apalagi sebulan belakangan ini,” sahut si penjual nasi goreng.

“Bapak juga pernah lihat?” tanya si ibu dengan antusias. Saat aku melihat ibu itu begitu antusias dengan cerita rumah kuno itu, aku bertanya-tanya sendiri dalam hati, jangan-jangan ini ibunya Deva.

“Belum pernah, sih. Tapi kata Pak Syamsul yang setiap hari kerja buat bersih-bersih halaman rumah itu, dia sering dengar tangisan anak kecil. Itu siang hari padahal. Pak Syamsul juga sering bilang, sebulan belakangan ini dia merasa seperti ada seseorang yang sedang mengawasinya dari dalam rumah. Sering mendengar ada barang jatuh di dalam rumah. Padahal jelas-jelas rumah itu kosong. Eh, maaf, bukannya mau nakut-nakutin... Tapi itu cuma gosip, kok, bu...” kata si penjual sambil tersenyum menenangkan ke arah para pelanggannya.

Meskipun aku tidak suka dengan cerita-cerita horor seperti itu, saat mendengar cerita dari penjual nasi goreng itu seraya menatap rumah kosong yang terletak di seberang jalan, aku merasa tengkukku merinding juga. Entah kenapa, aku jarang sekali mau mendengar cerita seperti. Karena... Eh?? Apa itu tadi??

Aku mengerjapkan mataku. Apa aku sudah gila?? Apa aku yang terlalu hanyut dalam cerita pak penjual nasi goreng ini dan daya imajinasiku yang tinggi ini langsung bekerja?? Sekali lagi aku mengerjapkan mataku menatap rumah di depanku.

Aku tidak salah lihat. Mataku ini masih normal. Aku benar-benar melihatnya. Seseorang atau sesuatu di dalam rumah itu baru saja menutup tirai jendela yang terbuka. Bukan angin pastinya. Gorden itu bergeser karena ada yang menggerakkan.

Bulu kudukku tiba-tiba berdiri. Apa-apaan ini????

@@@

“Nana!” seseorang menepuk bahuku keras saat aku memasuki kelas pagi ini. Aku terlonjak kaget dan langsung melempar pandang kesal ke arah Deva yang cuma terkekeh geli.

“Kenapa, sih?” tanyaku dengan nada malas seraya jalan ke kursiku.

“Nana, aku punya berita baru...” Deva duduk di kursi di sampingku. Aku mengernyit. Itu tempat duduk Adel. Sudah dua hari ini dia tidak masuk sekolah. Katanya, sih, sakit. Tidak ada yang tahu rumahnya, jadi tidak ada yang menjenguknya juga.

“Apa lagi?? Tentang rumah itu lagi?” aku menebak.

Nana menautkan alis, sepertinya sedang memikirkan jawaban yang tepat.

“Begini, lho, Na... Dua hari yang lalu anak-anak kelas sebelah, bener-bener ada yang liat Adel masuk rumah itu. Kamu tahu gak? Masuk ke rumah itu dan gak keluar-keluar lagi. Kamu tahu apa maksudku ‘kan?” Deva menatapku dengan ngeri. Aku juga tambah ngeri melihatnya. Anak ini kenapa, sih??

“Gak tahu,” sahutku seraya menggeleng.

“Ah, Nanaa... Itu artinya Adel gak masuk selama dua hari ini gara-gara masuk ke rumah itu. Mungkin benar katamu, dia ke sana cari kucing peliharaannya yang lari ke rumah itu, tapi sampai rumah itu dia ketemu vampir dan... dan... mungkin...” Deva tidak meneruskan kata-katanya. Dia hanya melihatku ngeri. Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal.

“Deva, kamu terlalu banyak melihat film-film misteri. Jangan nonton acara seperti itu lagi, ya??” aku menepuk-nepuk bahunya lembut.

“Kok sepertinya kamu gak percaya dengan ceritaku? Kita ke rumah itu dan melihat di sana ada vampir atau tidak,” kata Deva tegas. Matanya menatapku tajam, dan aku seolah seperti melihat ada api berkobar di bola matanya.

“Eh?? G-gak.. Bukan begitu. Maksudku...” belum sempat aku menyelesaikan perkataanku, Deva sudah mengalihkan pandangannya dariku. Matanya beralih pada sesuatu di belakangku. Dan api yang tadi ada di matanya tiba-tiba padam begitu saja, dan digantikan dengan pandangan ngeri seperti sebelumnya. Deva tiba-tiba berdiri dari tempat yang tadi dia duduki dan cepat-cepat menyingkir dari tempat itu.

Aku menoleh ke belakang untuk melihat apa yang terjadi. Dan aku melihat Adel berjalan dari pintu kelas menuju bangkunya yang ada di sebelahku, yang tadi diduduki Deva. Adel berjalan dengan sikapnya yang seperti biasanya. Menatap lurus ke depan dan tidak peduli dengan orang-orang di sekitarnya. Walaupun begitu, saat aku melihat Adel, aku seperti melihat suasana Inggris jaman dulu. Elegan. Dua perpaduan yang menarik. Sikap yang elegan serta penampilan Adel yang sangat biasa.

Aku menepuk dahiku pelan. Kenapa malah membayangkan hal seperti itu? Heii... Aku melihat Adel duduk di bangkunya. Dia tidak menatapku. Raut wajahnya sedingin biasanya. Dan tidak seperti biasanya pula, aku lihat wajahnya pucat sekali. Ada kantong mata di bawah matanya.

“Hai, Adel... Udah sembuh? Katanya kamu sakit?” tanyaku saat Adel sudah benar-benar duduk di tempat duduknya.

Adel menoleh ke arahku dan tersenyum samar.

“Hanya anemia,” jawabnya pendek.

“Sekarang udah sembuh?” kataku, mencoba mencairkan suasana.

“Lumayan,” jawab Adel singkat.

Aku mengangguk. Dari sudut mataku, aku bisa melihat Deva dan yang lainnya sedang melihat ke arah kami. Mungkin mereka berpikir, aku sama anehnya dengan Adel. Tapi tidak. Aku tidak pernah menganggap Adel aneh. Dia unik. Dengan sikapnya yang seperti itu, mungkin saja dari kecil dia tidak pernah dibiasakan untuk bergaul dengan banyak orang. Makanya, sikapnya jadi kaku seperti ini. Aku, sih, tidak masalah dengan itu.

@@@

“Kamu jangan dekat-dekat Adel lagi, Nana...” tiba-tiba Deva menghampiriku dengan muka serius sambil mencengkeram bahuku kencang. Aku yang sedang asik-asiknya menikmati bekal makan siangku, melotot kaget ke arah Deva. Potongan sosis panggang yang belum sempat aku kunyah sepertinya tersangkut di tenggorokanku.

“Kamu ngomong apa?” tanyaku seraya menelan sosisku dengan susah payah.

“Jangan dekat-dekat Adel lagi,” kata Deva tegas. Aku menatapnya penuh tanya.

“Memang kenapa?” tanyaku polos seraya memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutku.

“Adel itu aneh, Na. Aku ‘kan udah bilang berkali-kali sama kamu. Dia cewek aneh. Selama sebulan sekolah di sini, apa dia kenal dengan orang-orang sekitarnya kecuali kamu dan wali kelas kita? Apa dia pernah terlihat gabung dengan anak-anak lain? Dia bahkan gak memperlihatkan minatnya pada salah satu saja hal di sekitarnya. Kamu kok bisa-bisanya deket sama orang kayak gitu?” Deva masih menatapku dengan pandangan khawatir.

“Sebenarnya, yang kalian khawatirkan dari Adel itu apa? Apa kalian bener-bener serius kalau Adel itu udah jadi korban vampir yang ada di rumah kuno itu?” tanyaku.

“Nah, itu maksudku. Kami khawatir kamu ada apa-apa nanti kalau lama-lama bergaul dengan Adel,” kata Deva.

Aku tersenyum lebar menatapnya. Sebenarnya senyum geli. Tapi kalau aku memperlihatkan hal itu pada Deva, aku akan dianggap tidak sopan. Ada orang yang mengkhawatirkan kita, tapi kita justru menertawakannya. Tapi memang menggelikan juga. Mau bagaimana lagi??

“Deva, kecemasan kalian itu gak beralasan. Aku gak akan apa-apa. Kamu tenang aja,” kataku mencoba menenangkan Deva.

“Apa kamu pikir kami cuma berkhayal tentang vampir yang tinggal di rumah itu?” tanya Deva, agak kesal.

“Mmm, bagaimana, ya? Sejauh ini, aku cuma liat vampir di film dan novel-novel saja, sih,” kataku. Deva mendengus kesal.

“Kamu baru akan percaya kalau melihatnya dengan mata kepalamu sendiri,” katanya.

“Oh?”

“Lagipula, karena penasaran, kemarin aku mengikuti Adel sepulang sekolah. Dan kamu tahu, ke mana dia sepulang sekolah? Ya, ke rumah itu. Dan memang benar, ditunggu sampai kapan pun, dia gak keluar-keluar juga,” kata Deva. Tiba-tiba dia menatapku dengan penuh kengerian.

Aku hanya terdiam sambil meneruskan makan siangku. No comment.

“Nana... Nanti malam kamu harus ikut aku ke rumah itu kalau gak percaya. Mau ‘kan? Aku gak mau kamu ngira kalau aku cuma membual,” kata Deva tegas. Sekali lagi dia mencengkeram bahuku kencang.

Aku menghentikan kunyahanku dan menatapnya penuh tanya. Apa dia bercanda??

“G-gak usah. Aku percaya kok,” kataku seraya tersenyum kikuk. Masuk ke rumah itu malam-malam? Heloooo.. Apa ada pekerjaan yang lebih gak penting dari itu??

“Harus. Nanti malam aku jemput kamu. Jam delapan malam, ya?” kata Deva seraya beranjak dari duduknya dan dengan cueknya meninggalkanku dalam kebingungan.

“Hei! Hei!” seruku protes. Tapi Deva tetap berlalu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun