Mohon tunggu...
Ai Sherry
Ai Sherry Mohon Tunggu... lainnya -

This is my new blog. My new world. My place to replace my imagination.. ^^

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Gadis Berwarna Rambut Jagung (2)

30 Mei 2013   21:14 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:47 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Malam itu aku menggigil kedinginan di bawah jaketku yang memang tipis. Hujan masih meninggalkan rintik-rintiknya dan belum reda benar saat Deva menghampiriku di rumah malam ini dan dengan sangat terpaksa aku akhirnya ikut juga. Menyebalkan memang. Aku baru setengah membaca novel yang tadi siang aku pinjam dari perpustakaan, saat Deva muncul di pintu kamarku dengan senyum sumringah seolah mau bertemu dengan artis idolanya.

Dan di sinilah aku sekarang. Tepat di depan bangunan tua bergaya Eropa yang dibicarakan banyak orang belakangan ini. Tepatnya orang-orang di sekolahku. Aku menatap bosan Deva dan dua temannya dari Klub Misteri yang dia ajak malam ini, dan mereka sedang antusias membicarakan rencana mereka malam ini. Bahkan mereka sudah menyiapkan bermacam-macam peralatan pengusir setan. Bawang putih, paku, tongkat.. Ah, apapun itu. Aku hanya membatin dalam hati. Heloooo... Mereka hidup di jaman kapan, sih, kok masih percaya dengan begituan?? Aku menguap lebar.

“Ayo, Nana... Kamu duluan,” kata Deva kemudian.

Aku menoleh cepat ke arahnya. Aku mengarahkan telunjukku ke wajahku sendiri dengan pandangan penuh tanya ke arah Deva.

“Iya, kamu duluan aja, gih,” kata Deva sekali lagi.

“Kenapa aku??” tanyaku protes.

“Kamu ‘kan bukan dari Klub Misteri,” jawab Deva.

Hah! Aku tahu. Kehadiranku cuma untuk dimanfaatkan oleh tiga orang dari Klub Misteri yang ternyata penakut ini. Aku bisa melihat sorot ketakutan dari wajah ketiga orang ini. Dan dengan sangat malas, akhirnya aku maju ke depan. Tanganku hampir saja menyentuh gagang pintu ganda yang terbuat dari pohon pualam ini saat Deva menghentikanku.

“Tunggu! Kita tidak tahu apa yang ada di balik pintu itu,” Deva segera mengeluarkan peralatan pengusir setannya dan kedua temannya mengikutinya. Aku menghela napas masgul.

Tanganku sudah menyentuh kenop pintu dan dengan sedikit paksaan, aku akhirnya bisa membuka pintu itu. Pintu berderit terbuka. Bersamaan dengan terbukanya pintu, sesuatu yang berwarna hitam dan berukuran kecil melesat terbang ke arah kami. Aku agak kaget juga. Tapi aku bisa mengendalikan diri. Berbeda dengan ketiga orang di belakangku. Mereka langsung berteriak histeris.

“Sshh... Sudah, jangan berteriak lagi,” kata Deva, berusaha menguasai dirinya.

“Apa itu tadi?” tanya temannya.

“Kelelawar mungkin,” jawab teman Deva yang satu.

“Bukan. Burung walet,” jawabku seraya menunjuk sarang yang berada di ventilasi udara yang ada di atas pintu. Mungkin burung itu tadi kaget dengan bunyi derit pintu dan langsung terbang ke arah kami. Bulunya rontok satu.

“Ohh...” kata Deva lega.

Aku lalu mendahului melangkahkan kakiku masuk ke dalam rumah. Dan kegelapan langsung menyambut kami. Meskipun menunjukkan sikap acuh, aku tidak mau mengakui di depan Deva kalau aku sebenarnya penasaran juga dengan rumah ini. Apalagi semenjak aku melihat hal aneh beberapa malam yang lalu. Dan saat aku kembali teringat peristiwa korden itu, bulu tengkukku rasanya berdiri semua. Tapi segera aku terpis jauh-jauh perasaan itu.

“Lalu?? Mana vampir-nya?” tanyaku pelan pada Deva.

“B-belum muncul mungkin. Na, lihat itu,” Deva menunjuk ke arah sesuatu di samping kami. Aku mengedarkan pandanganku pada ruangan di mana aku berada saat ini. Aku baru menyadari kalau kami sekarang berada di sebuah ruangan yang luas sekali. Hanya ada sebuah ruang kosong dan di tengah tangga terdapat tangga lebar yang ujungnya bercabang kedua arah, yang akan menghubungkan dengan ruangan selanjutnya. Benar-benar bangunan Eropa klasik. Aku berdecak kagum.

“Hei, Nana... Bukan saatnya mengagumi rumah ini. Liat di sana...”

Aku mengikuti arah telunjuk Deva. Dan aku terpaku untuk kedua kalinya.

Di dinding yang ditunjuk, aku bisa melihat sebuah lukisan berbingkai yang terpajang di dinding itu dengan anggun. Sama anggunnya dengan lukisan seorang wanita yang ada dalam bingkai lukisan tersebut. Aku kembali berdecak kagum melihat lukisan itu. Aura Inggris kuno kentara sekali dalam lukisan wanita berambut pirang ikal yang sedang memangku seekor kucing itu.

“Na.. Kamu kenapa, sih??” Deva menatapku takut-takut.

“Apa? Lukisan itu... Benar-benar karya seni yang luar biasa,” kataku. Aku hampir saja melangkah untuk mendekati lukisan itu kalau saja Deva tidak menarik tanganku.

“Na, jangan ke sana. Sepertinya kamu udah dipengaruhi oleh sihir dari lukisan itu,” kata Deva. Aku mengernyit menatapnya.

“Sihir?”

“Na, jangan ke sana. Lukisan itu... Agak menyeramkan. Coba kamu lihat matanya. Apa kamu gak merasa, kalau mata itu sepertinya sedang mengawasi kita?” kata Deva.

Aku menoleh untuk melihat lukisan itu. Matanya? Pandangan wanita dalam lukisan itu ‘kan sedang menunduk melihat kucing yang ada di pangkuannya. Hah, ada-ada saja...

“Jadi masuk gak nih?” tawarku kepada Deva.

“Masuk ke mana?” Deva balik tanya.

“Ya, masuk ke dalam. Apa cuma mau sampai di sini aja??” kataku.

Deva terdiam. Dia menoleh ke arah teman-temannya. Mereka bertiga lalu berbicara dengan suara pelan. Karena sepertinya pembicaraan mereka tidak boleh didengar olehku, maka aku menjauh dan berjalan mendekati lukisan yang dipajang di dinding di ruangan itu.

Saat aku baru memperhatikan lukisan itu untuk beberapa saat, tiba-tiba kami semua yang ada di sana semua dikejutkan oleh sebuah suara.

“Do you like that paint?”

Sebuah suara kecil agak serak, dengan aksen Inggris yang sangat kental tiba-tiba terdengar di belakang kami. Kami semua seketika menoleh. Dan aku benar-benar dikejutkan oleh kehadiran seseorang yang sangat tiba-tiba di ruangan itu.

Seseorang... atau sesuatu. Entahlah. Sesosok tubuh mirip dengan anak kecil berumur 7 tahun, berdiri di anak tangga tengah. Dia melihat ke arah kami, dan sebuah senyuman polos khas anak kecil tersungging di bibirnya. Aku terkesiap. Deva dan teman-temannya lalu berlari ke arahku dengan ketakutan.

“Welcome to my house...,” katanya lagi, masih dengan aksen Inggrisnya.

Aku mengerjapkan mataku. Mataku masih terpaku pada sosok di tangga itu. Sosok yang mirip anak laki-laki itu berambut pirang pucat, kulitnya juga pirang pucat, dan saat dia tersenyum, aku bisa melihat giginya. Giginya bertaring. Aku benar-benar melihatnya. Apa ini... Apa benar memang ini adalah yang dimaksud Deva dan kawan-kawannya itu? Tapi...

Are you Adelia’s friends?” tanya sosok itu lagi. Aku terkesiap. Dia kenal dengan Adel? Jadi benar Adel sering ke sini??

Do you know Adel?” tanyaku hati-hati.

Sosok anak kecil berwajah pucat itu kembali tersenyum. Kali ini senyum lebar dan aku tercengang saat melihat gigi-gigi taring di dalam mulutnya itu. Tiba-tiba otakku dipenuhi dengan pikiran gila. Apa benar Adel sudah jadi korban mereka??

Saat aku memikirkan hal itu, dari belakang sosok itu aku mendengar suara langkah kaki berderap, dan seruan seorang wanita yang agak kesal.

Nicky! I’ve told you so many times... You should not go out. You have to stay in..”

Aku terkesiap menatap seseorang yang tiba-tiba muncul di belakang sosok itu. Begitu juga orang yang datang baru saja itu. Dia menatap kami dengan pandangan tak percaya. Walaupun keadaan di sini gelap, tapi aku bisa melihat tatapan matanya yang dingin itu.

“Adel?” tanyaku kaget.

Adel tidak kelihatan salah tingkah atau pun ketakutan. Sikapnya malah justru menunjukkan kebalikannya. Dia menatap kami dengan pandangan agak mencela, seolah-olah kami ini adalah hama rumah sejenis kecoa atau tikus yang harus segera dibasmi.

“Jadi, kalian juga korban gosip murahan tentang vampir itu?” tanyanya dengan nada datar seperti biasanya. Aku kembali terkesiap.

“Tidak. Kami hanya...”

“Kalian semua puas sudah bisa melihat adikku yang mirip vampir ini? Yang hampir setiap pagi kalian bicarakan itu???” Adel melempar pandang mencela ke arahku, seolah-olah berkata padaku, ‘aku tidak percaya kau juga percaya dengan gosip murahan seperti itu’.

Adik?? Aku menatap sosok di sampingnya itu dengan penuh tanya.

@@@

“Hypohidrotic ectodermal displasia...”

Aku melongo menatap ibu Adel. Pertama, aku melongo kagum karena baru kali ini aku benar-benar bertemu dengan seorang bule. Oke, sebut aku kampungan. Yang ada di depan mataku ini sekarang adalah seorang wanita Inggris asli. Berambut pirang ikal, bertubuh tinggi semampai, berkulit putih susu dan belum terkontaminasi dengan udara Indonesia yang penuh dengan polusi – well, memang begitulah kenyataannya. Dan yang membuat aku tambah tercengang adalah, ternyata ibu Adel adalah wanita yang ada dalam lukisan itu. Saat melihatnya tadi, aku kaget sekali. Aku pikir wanita itu keluar dari lukisan. Gaya elegan khas bangsawan Inggris masih melekat dalam diri ibu Adel ini, walaupun wanita yang umurnya sekitar 40 tahunan ini bisa berbahasa Indonesia dengan lancar.

Yang membuatku melongo yang kedua adalah, nama jenis sindrom yang baru saja dikatakan Ibu Helena ini.

“Apa?” tanyaku dengan tampang polos. Ibu Adel tersenyum mafhum melihat kebingungan yang pasti langsung tampak di wajahku.

Hypohidrotic ectodermal displasia,” ulangnya, seraya menuangkan teh di cangkirku.

“Maaf.. Tapi jujur saja, saya baru dengar istilah itu sekarang,” kataku seraya tersenyum kikuk kepada ibu Adel. Wanita anggun itu tersenyum lagi.

“Aku bisa mengerti. Ini adalah sejenis penyakit langka yang hanya beberapa ribu orang yang memilikinya. Ini adalah sejenis penyakit kelainan gen yang diduga disebabkan oleh keturunan genetik,” jelas ibu Adel seraya menghampiri Nicky yang sedang minum coklat panasnya.

“Oh... Tapi, apa memang ciri-cirinya seperti yang ada pada Nicky?” tanyaku.

“Iya. Aku rasa, gen dari ayah Nicky yang membawa penyakit langka ini. Nicky tidak bisa keluar dari rumah saat siang hari. Karena kalau kulitnya berkeringat atau terkena sinar matahari langsung, kulitnya akan langsung melepuh,” ibu Adel mengelus rambut pirang pucat Nicky dengan lembut.

Aku mengangguk-angguk mengerti seraya menatap simpati ke arah bocah lak-laki berkulit pucat yang sekarang sedang menikmati cake-nya dengan senyum mengembang. Aku menatap Adel yang sedang memotong kue adiknya dengan sikap seorang kakak perempuan yang bertanggung jawab. Dari matanya yang menatap Nicky, aku bisa melihat kasih sayang seorang kakak yang tulus kepada adiknya. Aku tidak melihat pandangan dingin dan sadisnya seperti saat duduk di bangku di sebelahku di sekolah.

“Aku juga sudah mendengar desas desus tentang rumah ini akhir-akhir ini,” kata Ibu Adel lagi. Sekarang dia membelakangi kami dan sedang sibuk menggoreng sesuatu.

Aku melempar pandang tajam ke arah Deva dan temannya. Deva menciut dan sepertinya merasa bersalah karena selama ini dia maupun klubnya-lah yang telah membuat masalah rumah hantu dan vampir ini bertambah besar.

“Well, yahh.. Aku tidak heran kalau banyak orang akan berpikiran begitu tentang Nicky. Aku memang akan membawanya ke Inggris setelah kematian suamiku. Aku akan membawa Adel dan Nicky ke Inggris, yang udaranya jauh tidak begitu panas seperti di sini. Tapi karena kami tidak cukup uang, aku harus menabung uang untuk kembali ke Inggris,” jelas Ibu Adel. Aku mengangguk-angguk mengerti. Aku menatap Adel yang sedang menyendok sup-nya masih dengan sikap dinginnya, tanpa menatap kami sama sekali. Kalau sekali menatap pun, itu adalah tatapan tidak mau tahu.

“Maaf, mungkin pertanyaan saya kurang sopan... Tapi apa memang hanya Nicky yang membawa gen langka ini?” tanyaku lagi, mengerling sekilas ke arah Adel.

Ibu Adel berbalik sambil membawa sepiring daging asap.

“Aku tahu kamu pasti akan bertanya begitu. Aku dan ayah Adel sudah berpisah sejak Adel berumur 2 tahun. Ayah Adel orang Indonesia asli. Lalu aku menikah lagi dengan ayah Nicky yang warga negara Inggris yang sedang bekerja di Indonesia. Tapi tahun lalu dia meninggal karena kecelakaan, dan kami harus pindah dari tempat kami sebelumnya,” jelas Ibu Adel. Walaupun wanita yang sedang duduk di depanku ini berusaha sekeras mungkin untuk tegar, tapi aku bisa melihat sorot kesedihan yang belum sepenuhnya hilang di wajahnya. Mungkin Ibu Adel masih terpukul dengan kematian suaminya.

“Ohh...” sahutku pendek, tidak bisa berkata apa-apa lagi selain itu. Jadi ayah Adel dan Nicky berbeda? Itu jawaban dari pertanyaanku selama ini, kenapa Adel memiliki mata hijau kecoklatan yang indah sedang wajahnya orientalis sekali dan kenapa warna rambut Adel bisa sepirang itu??

“Ah, maafkan sikap Adel selama ini kalau dia ada salah, ya? Dari dulu Adel memang orangnya keras. Di rumah kami yang dulu teman-temannya bahkan mencemooh Adel terang-terangan. Aku harap di sekolahnya yang sekarang, tidak ada yang seperti itu,” kata Ibu Adel seraya tersenyum ke arah kami. Aku membalas senyumannya dengan kikuk seraya mengerling sekilas ke arah Deva.

“Oh, Mom...,” tiba-tiba Nicky angkat bicara. Semua orang menoleh ke arahnya. “Adelia pernah bilang padaku kalau ada temannya yang baik hati di sekolah yang namanya... umph!!”

Aku kaget saat melihat Adel dengan secepat kilat langsung membungkam mulut adiknya dengan tangannya. Tapi Nicky segera bisa melepaskan diri dari kakaknya dan melempar pandang kesal ke arah Adel.

“Kenapa menutup mulutku? Kau pernah bilang ‘kan kalau temanmu yang namanya Nana itu sangat memperhatikanmu dan dia baik sekali,” kata Nicky polos.

Aku melongo. Menatap dengan tatapan penuh tanya ke arah Adel.

“Tidak benar,” elak Adel.

“Kau yang bilang sendiri,” protes Nicky.

Ibu Adel hanya tertawa geli menatap kedua anaknya saling melemparkan pernyataan satu sama lain.

“Sudahlah. Adel hanya tidak mau mengakui apa yang sebenarnya dia rasakan saja,” katanya bijak.

“Mum~!” seru Adel dengan nada protes.

Aku hanya tersenyum simpul melihat kebahagiaan keluarga kecil di depanku ini.

@@@

Rumah yang sering-sering disebut rumah hantu oleh anak-anak di sekolahku yang beberapa hari yang lalu selalu sepi dan terlihat tidak berpenghuni itu, kini berubah jadi rumah kuno yang sering dikunjungi banyak orang termasuk warga sekitar dan anak-anak di sekolahanku. Pasalnya, ibu Adel yang cantik dan pintar masak cake itu sekarang membuat usaha kuliner di sana. Masakan elit ala Inggris yang dibuat dengan bahan-bahan yang bisa didapat di pasar lokal saja. Dan harganya pun bisa menjangkau dompet anak-anak sekolah. Dan itu semua berdasarkan atas ideku, yang memang risih sendiri dengan pemberitaan-pemberitaan tidak jelas tentang isu-isu hantu yang beredar selama ini. Aku hampir termakan juga saat aku melihat ada seseorang yang mengawasiku di balik korden rumah itu malam hari saat aku membeli nasi goreng. Tapi ternyata itu adalah Nicky yang bosan di dalam rumah terus dan sekali-sekali ingin pergi keluar rumah.

Dan sekarang semua sudah tahu misteri “vampir” yang ada di rumah itu. Tidak ada lagi yang membicarakan hal-hal menakutkan tentang rumah itu. Rumah itu masih berdiri di tempat itu dengan gaya kunonya yang menjadi ciri khas. Tapi halaman depan yang penuh rumput sudah dipangkas rapi dan dijadikan sebagai tempat makan.

Adel masih sedingin biasanya. Tidak pernah bergabung dengan teman-temannya yang lain. Tapi sesekali aku yakin – walaupun tidak sejelas kelihatannya – Adel sesekali melempar senyum kepadaku maupun teman-temannya yang lain.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun