Perdebatan tentang siapa yang berhak menjadi petinggi di Jakarta. Bagi para calon yang merasa “anak betawi” merasa memiliki addvalues dan mendapatkan landasan legitimasi sejarah, politik, sosial bahkan ideologis untuk memimpin Jakarta. Bahkan “kelebihan” tersebut dipakai sebagai pembuktian bahwa “anak betawi” yang berhak memimpin kaumnya dan yang bukan anak betawi harus diingkari. Setidaknya demikianlah halnya anggapan yang mengatakan “gue anak betawi”.
Menelisik jejak etnis betawi, dari kapan mereka mulai hadir mengisi space ibu kota dan memprokamirkan diri sebagai penduduk aseli Jakarata, kita akan dihadapkan pada ceceran sejarah yang terpenggal-penggal yang dituturkan bukan dari kalangan betawi itu sendiri. Karena memang budaya tulis kurang diminati oleh etnis ini, oleh karenanya tidak perlu diherankan, siapapun akan sangat kesulitan jika ingin merekam jejak suku betawi dari hulu sampai hilir.
Pada tahun tahun 1521, Nusa Kalapa nama Jakarta waktu itu, berada dikekuasaan portugis dan namanya diganti dengan Sunda Kelapa. Pada 22 Juni 1527, Sunda Kelapa direbut oleh Fatahilah dari Portugis Nama Sunda Kelapa diganti menjadi Jayakarta ( Kemenangan . Pada 12 Mei 1619 Jayakarta dikepung VOC dan akhirnya VOC menguasai Jayakarta selama dua abad kedepan dan nama Jayakarta diganti menjadi Batavia. Sejak Sunda kelapa dikuasai oleh orang-orang Sunda, Jakarta sudah menjadi pusat perdagangan laut di Nusantara dan sekitarnya oleh karenanya di Jakarta banyak bergumul banyak bangsa dan banyak suku dari berbagai etnis Nusantara. Nah sejak di kuasai oleh VOC dan namanya diganti menjadi Batavia, mulailah dilakukan sensus penduduk dari1673-1893 dan disana belum ada penyebutan etnis Betawi sebagai entitas sebuat komunitas. dari tahun ketahun banyak etnis yang timbul tenggelam dan akhirnya etnis-etnis kecil dikumpulkan menjadi satu dan yang bukan kelompok Sulawesi, Cina, Arab, Eropa disebut sebagai penduduk Batavia nah dari sinilah cikal bakal kata Betawi untuk pertama kali muncul. Jadi siapa tuh etnik betawi. ..? “Emang Gue Pikirin”, adalah ungkapan nasional informal dari identitas etnik betawi. EGP adalah sikap dalam mengarungi ganasnya ombak kosmopolis dan pertarungan hidup dengan para migran. Dengan para capital yang terus mengintervensi kebijakan tata ruang kota menjadikan mereka tergeser menepi mencari cekungan-cekungan di pinggiran ibu kota. Emang Gue Pikirin”, bukan sifat masa bodoh. EGP adalah kekayaan rohaniayah dan keikhlasan bagaimana seharusnya menjalani hidup yang terberi. Oleh karenanya tidak mengherankan jika ada anggapan bahwa etnik ini hanya akan menjadi bagian sejarah di museum ondel-ondel dengan kalimat lirih di depan pintu masuk museum; “Mereka pernah ada dan menyokong orang tiada menjadi ada. Mereka adalah tuan rumah yang ramah, namun kini etnik itu telah punah ditelan kemarahan para tetamu dirumahnya sendiri”. Ref. Genealogi I
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H