Mohon tunggu...
Jhon Bee
Jhon Bee Mohon Tunggu... lainnya -

Minat dalam Masalah Technology, Sosial,budaya dan Seni Tradisi

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kursi Khalifah Bahloul

11 Februari 2010   22:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:58 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_72634" align="alignright" width="298" caption="images from google "][/caption]

Khalifah Harun sangat suka pada Bahloul, pemuda pandir, sedikit sinting, tapi sering mengungkapkan kearifan yang memaksa sang khalifah tercenung. Bahloul juga menjalankan fungsi lazim bagi para raja di mana-mana: menjadi penghibur.

Ia menyimpan banyak cara untuk membuat Khalifah gembira. Kadang ia sengaja tersandung kaki kursi dan terjungkal, sehingga Khalifah terbahak menyaksikan kemalangannya. Lain kali ia pura-pura kalah dalam main catur atau main tebak-tebakan dengan Khalifah atau para gundiknya; Bahloul akan bersungut-sungut — seisi istana pun tergelak menertawai kebodohan yang dikutuknya.

Suatu hari Bahloul menyelonong seperti biasa ke balairung istana. Di ruang mewah yang sedang lengang itu tampak kursi kosong Khalifah. “Di mana gerangan Baginda Raja?” pikirnya. Iseng, ia duduk di tahta sakral itu. Tiba-tiba dua pengawal memergoki, yang segera menyeret Bahloul turun dari kursi emas itu.

“Dasar anak dungu!” hardik mereka sambil menghajar dengan pentungan. “Kamu memang kesayangan Khalifah, tapi tingkahmu ini sudah keterlaluan!”

Bahloul melengking, tak sanggup menanggung hujan pukulan di sekujur tubuhnya yang kecil. Lolongannya sedemikian keras sampai membangunkan Khalifah yang sedang istirahat di kamarnya.

“Apa-apaan ini? Ada apa ini?” tanya Khalifah Harun dengan kaget.

Kedua pengawal berhenti memukul dan menceritakan kejadiannya. “Betul begitu, Bahloul?” tanya Khalifah.

“Betul, Baginda, hoaaaaaa….,” jawab Bahloul sambil terus menjerit-jerit.

“Sudah, sudah. Tak apa. Berhentilah memekik-mekik! Pusing kepalaku mendengarnya! Kenapa pula kau terus menangis, padahal pengawal sudah tak lagi memukulimu?”

“Hamba justru menangisi nasib Baginda, hoaaaa…”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun