[caption id="attachment_72634" align="alignright" width="298" caption="images from google "][/caption]
Khalifah Harun sangat suka pada Bahloul, pemuda pandir, sedikit sinting, tapi sering mengungkapkan kearifan yang memaksa sang khalifah tercenung. Bahloul juga menjalankan fungsi lazim bagi para raja di mana-mana: menjadi penghibur.
Ia menyimpan banyak cara untuk membuat Khalifah gembira. Kadang ia sengaja tersandung kaki kursi dan terjungkal, sehingga Khalifah terbahak menyaksikan kemalangannya. Lain kali ia pura-pura kalah dalam main catur atau main tebak-tebakan dengan Khalifah atau para gundiknya; Bahloul akan bersungut-sungut — seisi istana pun tergelak menertawai kebodohan yang dikutuknya.
Suatu hari Bahloul menyelonong seperti biasa ke balairung istana. Di ruang mewah yang sedang lengang itu tampak kursi kosong Khalifah. “Di mana gerangan Baginda Raja?” pikirnya. Iseng, ia duduk di tahta sakral itu. Tiba-tiba dua pengawal memergoki, yang segera menyeret Bahloul turun dari kursi emas itu.
“Dasar anak dungu!” hardik mereka sambil menghajar dengan pentungan. “Kamu memang kesayangan Khalifah, tapi tingkahmu ini sudah keterlaluan!”
Bahloul melengking, tak sanggup menanggung hujan pukulan di sekujur tubuhnya yang kecil. Lolongannya sedemikian keras sampai membangunkan Khalifah yang sedang istirahat di kamarnya.
“Apa-apaan ini? Ada apa ini?” tanya Khalifah Harun dengan kaget.
Kedua pengawal berhenti memukul dan menceritakan kejadiannya. “Betul begitu, Bahloul?” tanya Khalifah.
“Betul, Baginda, hoaaaaaa….,” jawab Bahloul sambil terus menjerit-jerit.
“Sudah, sudah. Tak apa. Berhentilah memekik-mekik! Pusing kepalaku mendengarnya! Kenapa pula kau terus menangis, padahal pengawal sudah tak lagi memukulimu?”
“Hamba justru menangisi nasib Baginda, hoaaaa…”