Mohon tunggu...
Bhinneka
Bhinneka Mohon Tunggu... Model - PT. Bhinneka Mentaridimensi

Bhinneka adalah pionir e-commerce di Indonesia, yang hadir sejak 1993 di bawah perusahaan PT Bhinneka Mentaridimensi. Bhinneka melayani korporasi dan perorangan melalui Bhinneka.com, pengadaan bagi lembaga pemerintahan melalui LKPP (B2G), maupun pengadaan mesin cetak digital berformat besar melalui Bhinneka Digital Printing Solutions (DPS). Bhinneka B2B eCommerce Indonesia menjual produk IT, elektronics, Tools/MRO, dan berbagai Jasa.

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Satu Lagi Pusat Perbelanjaan akan Tutup, Salah Siapa?

23 Oktober 2017   13:56 Diperbarui: 23 Oktober 2017   19:02 11482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menyusul Ramayana dan Matahari Department Store yang telah menutup beberapa cabangnya sejak beberapa waktu lalu, kini Lotus Department Store akan mengambil langkah serupa. Ramai diberitakan, pusat perbelanjaan yang satu gerai utamanya berada di Jalan MH Thamrin ini mengakhiri operasionalnya per Kamis, 26 Oktober nanti.

Ini tentu merupakan kabar buruk... sekaligus juga kabar baik. Kabar buruk bagi manajemen dan pekerjanya; kabar buruk pula bagi para pebisnis di skala yang sama. Telah terjadi perubahan pola konsumsi dan belanja secara signifikan, pusat-pusat perbelanjaan pun tak lagi menjadi tujuan utama setiap orang yang ingin membeli pakaian maupun perlengkapan lainnya. Berbeda dengan yang terjadi setidaknya sampai 5 tahun terakhir.

Kabar baiknya, bagi para konsumen, adalah diskon besar-besaran sekaligus penghabisan. Seperti biasa, semua barang akan diobral dengan potongan yang luar biasa. Momen ini pun bisa dimanfaatkan masyarakat untuk berbelanja.

Banyak pakar dan analis yang sudah memprediksi hal ini. Gaya hidup digital dan serba online disebut-sebut sebagai salah satu faktor utamanya.

Lalu, akankah toko konvensional benar-benar tergusur oleh e-commerce dan online store? Mari kita tinjau bersama.

Selain perdagangan retail seperti ilustrasi di atas, keresahan dan kekhawatiran yang sama juga melanda subsektor perbankan di Indonesia. Namun dalam lingkup yang berbeda.

Dalam perbankan, perubahan terjadi pada sistem kerja dengan "serba digital" (digitalisasi) dan "serba otomatis" (otomatisasi) menjadi kata kunci pemicunya. Selalu ada nasabah-nasabah baru dari masyarakat, tetapi jumlah pekerjanya yang justru berpotensi dikurangi.

Penggunaan tenaga manusia memang tidak dihilangkan seluruhnya, karena masih berperan sebagai operator dan pengambil keputusan dalam keadaan tertentu. Akan tetapi untuk pekerjaan dan aktivitas operasional standar, sudah bisa dilakukan oleh konsumen secara mandiri, tanpa batasan jarak and waktu.

Dalam artikel Kompasiana berjudul "Menyongsong Era Kepunahan Karyawan Bank" beberapa minggu lalu, sudah dibahas sejumlah kondisi terkait ini yang terjadi di bidang perbankan. Seperti potensi menghilangnya sejumlah pekerjaan dasar perbankan dalam kurun lima tahun mendatang, diperlukannya pemetakan ulang kebutuhan tenaga keuangan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) agar sesuai dengan zaman, sampai kian banyaknya program pensiun dini yang tengah dibuka berbagai bank dalam negeri.

Terkesan heboh dan sensasional. Hanya saja sejauh ini, keadaan-keadaan di atas baru dialami dan dirasakan secara terbatas, terutama bagi para pihak korporasi perbankan dan lembaga pemerintah selaku yang berwenang melakukan pengaturan. Sedangkan nasabah kebanyakan belum terlalu terimbas, bahkan belum sepenuhnya memerhatikan perubahan yang terjadi. Sebab jika berbicara tentang perilaku konsumen bank, masih ada perbedaan yang cukup signifikan antara kelompok usia dewasa dan generasi muda. Baik dari sisi kepemilikan uang (untuk disimpan atau diputar kembali), financial background, gaya hidup dan pola konsumsi maupun investasi, sampai pada tingkat kepiawaian dalam menggunakan aplikasi-aplikasi internet banking.

Sementara itu dalam dunia retail, perubahan pola konsumsi masyarakat memaksa pemilik usaha untuk meninjau kembali model bisnis yang telah mereka jalankan selama ini. Konsekuensi terburuknya adalah perubahan total dan penghentian operasional akibat ditinggalkan pembeli. Buktinya, selain sejumlah gerai department store atau pusat perbelanjaan besar akan berhenti beroperasi, banyak mal yang dikabarkan menjadi jauh lebih sepi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Penurunan transaksi di sana sangat terasa.

Di enam bulan pertama 2017 saja, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) melaporkan terjadinya penurunan penjualan sampai 20 persen yang dialami para anggotanya. Padahal Ramadan dan Idulfitri berlangsung dalam periode tersebut, dan biasanya menjadi momen "panen" di setiap tahunnya.

Geliat ekonomi digital berupa e-commerce dan online shopping pun kerap ditunjuk sebagai penyebab utamanya. Calon pembeli cukup melihat etalase secara online di layar ponsel maupun laptop, melakukan proses pembandingan harga secara langsung tanpa harus berpindah tempat, kemudian dapat meneruskan transaksi dengan beraneka pilihan metode pembayaran, ditambah lagi dengan banyaknya promo dan potongan harga yang menggiurkan.

Langsung saja, apakah tepat bahwa transaksi di toko konvensional beralih ke e-commerce?

Salah satu pojok di toko Bhinneka Gunung Sahari (Istimewa)
Salah satu pojok di toko Bhinneka Gunung Sahari (Istimewa)
Kembali mengambil contoh penutupan gerai Lotus di atas, berikut adalah komentar seorang pengunjung dari salah satu artikel berita.

"Saya jarang ke sini, seringnya ke Tanah Abang. Mendingan sekalian ke Tanah Abang lebih murah, kalau di sini enggak diskon, mahal."

Dari ilustrasi ini, harga masih menjadi pertimbangan utama sekelompok besar konsumen. Diamini pula oleh Ketua Aprindo Roy Mandey, yang menyatakan bahwa peningkatan transaksi secara online terjadi pada jumlah transaksi, bukan nilai transaksinya.

"Kalau sekarang kami lihat (transaksi online) sudah 1,5 persen-2 persen dari total penjualan ritel modern. Itu karena ada perubahan pola belanja konsumen, jadi yang biasa mereka stok barang, sekarang mereka membeli sesuai kebutuhan saja. Bukan dalam jumlah value, tapi dalam jumlah volume atau transaksi. Mereka yang belanja adalah kebanyakan generasi Y atau generasi muda. Jadi generasi itulah yang meningkatkan penjualan online atau penjualan e-commerce. Tapi untuk yang di atas 50 tahun itu masih menggunakan offline store."

Dengan demikian, keberadaan toko konvensional tentu saja masih dibutuhkan konsumen dengan segala pertimbangannya. Apalagi masih ada beberapa jenis barang yang hanya tersedia khusus di toko-toko tertentu. Termasuk soal pakaian, ketika lebih nyaman dicoba di badan secara langsung dibanding membeli secara jarak jauh. Berbeda dengan penjualan elektronik maupun gadget dan sejenisnya, dengan kondisi barang yang mestinya seragam.

Itu sebabnya, bisnis online dan offline masih sama-sama memiliki potensi di Indonesia. Bukan untuk saling mengambil porsi pembeli, melainkan untuk saling mendukung keberagaman pola belanja yang terjadi. Mengambil contoh Bhinneka (yang dahulu dikenal dengan Bhinneka.com), yang mengawali lini bisnisnya dengan toko offline 24 tahun lalu, dan mempertahankannya hingga sekarang. Selain aktif melayani pelanggan lewat website dan berbagai jalur online (seperti yang pernah diceritakan di Kompasiana), tetap ada enam toko fisik tersebar di Jakarta dan Surabaya. Sebab bagaimana pun juga, online dan offline memberikan kemudahan dan kenyamanan yang berbeda.

Ketika Presiden Joko Widodo mengunjungi Mal Mangga Dua tahun lalu (Kompas Tekno)
Ketika Presiden Joko Widodo mengunjungi Mal Mangga Dua tahun lalu (Kompas Tekno)
Referensi:
  • CNN Indonesia
  • Detik Finance
  • Kumparan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun