Mohon tunggu...
Amran Halim
Amran Halim Mohon Tunggu... Staf pada Asdep Olahraga Prestasi Kemenpora RI -

Memulai dari bersastra terus melangkah hingga ke olahraga

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Gaya Bahasa Edwar Maulana dalam Puisi Berjudul Lamaran

22 November 2012   06:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:52 3423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



Analisis Struktur Teks Puisi

1) Pengimajian

Bait ke-1 sajak ini diawali imaji penglihatan dan imaji gerakan pada larik 2,3,5, dan 6.

Nisa, jika kau percaya

bahwa cinta bisa tiba lebih tergesa

dari apa saja. Bahkan dari langkah

cahaya. Kadang lebih lama

dari kedatangan bis dan kereta.

Lebih lambat dari hari kiamat.

Imaji lihatan pada kata tiba, kedatangan, dan lambat serta imaji gerakan tergesa, langkah, yang kemudian menimbulkan efek pengimajian dalam bentuk imaji lihatan, mengarahkan perhatian pembaca terhadap deskripsi peristiwa yang dipaparkan si aku lirik. Pembaca seakan-akan mampu melihat secara langsung kedatangan cinta yang nampak tergesa, cahaya yang melangkah, bis dan kereta yang datang, juga hari kiamat yang bergerak lambat.

Pada bait ke-2 imaji Imaji yang digunakan secara sempit hanya untuk menandai deskripsi terutama gambaran hidup dan fakta

Maka, jangan bertanya kenapa

saat ini aku begitu mencintaimu

padahal pertemuan kau dan aku

belum genap satu minggu.

Deskripsi si aku lirik tentang rasa cinta yang sangat pada pasangannya saat ini meski pertemuan mereka kurang dari satu minggu, seolah-olah dapat disaksikan dan dirasakan secara langsung oleh pembaca. Pembaca dapat membayangkan betapa perasaan cinta di antara mereka datang begitu saja tanpa proses yang panjang dan kesulitan yang pelik.

Pengimajian secara visual pada bait ke-3 tentang deskripsi fakta bahwa cinta itu tak logis, dan kedatangannya tidak mengenal kata permisi. Pada bait-4 terdapat imaji gerak pada kata aba-aba, mengetuk, dan mengucap. Serta pada bait ke-5, penyair menyertakan imaji rasa pada kata mengejutkan, dandeskripsi fakta dengan pernyataan aku tahu dan begitulah adanya.

Pengimajian yang terdapat pada bait ke-2 sampai ke-5 adalah gambaran perasaan cinta yang datang pada mereka begitu saja, cepat, dan tak terduga juga sebagai penguat pengimajian awal pada bait ke-1 yang memvisualkan tentang proses datangnya sebuah perasaan cinta.

Pada bait ke-6 imaji gerak terdapat pada kata bersujud, bangun tidur, sedang makan dan imaji penglihatan terdapat pada kata cantik dan sendirian. Keseluruhannya memvisualkan deskripsi dari proses si aku lirik yang jatuh cinta melihat kekasihnya.

Bait ke-7 mendeskripsikan fakta bahwa perasaan cinta mereka akan berlangsung lama karena si aku lirik yang akan selalu mencintainya. Pengimajian itu ditekankan pada frasa kau tau, dan kata ini.

Pengimajian selanjutnya terdapat pada bait ke-9, kata pergi, dan jatuh membangun imaji gerak dan  kehilangan membangun imaji rasa. Pada bait ke-10 terdapat pengimajian rasa pada kata kalah,dan frasa jatuh cinta, imaji penglihatan pada kata patah, dan mendarat, serta imaji gerak pada kata penolakan, penerimaan, dan pengakuan.

Serta pada bait ke-11 terdapat deskripsi fakta dengan adanya kata bahwa pada larik ke-2.

2) Bahasa Figuratif

Bahasa figuratif yang digunakan pada sajak ini meliputi majas personifikasi dan majas metafora, dan Satire. Penggunaan majas Personifikasi pada larik 1-2, dan 5,metafora terdapat pada larik 3, dan Satire pada larik 4, pada bait ke-1.

Nisa, jika kau percaya bahwa cinta

bisa tiba lebih tergesa dari apa saja

bahkan dari langkah cahaya. Kadang

lebih lama dari kedatangan bis dan kereta.

Lebih lambat dari hari kiamat.

Pengandaian bahwa cinta itu bisa berjalan atau berlari dengan tergesa, dengan memetaforkan kecepatan cahaya menjadi langkah cahaya, dan kiamat yang bisa bergerak. Edwar Maulana ingin menjelaskan bahwa cinta adalah sesuatu yang bergerak seperti manusia. Ia bisa bergerak lebih cepat dari cahaya atau lebih lambat dari kiamat. Bahkan bis dan kereta pun tak luput dari perhatiannya, dua kendaraan tersebut sebenarnya mampu melaju di atas kecepatan 200 KM/Jam, dengan penempatan kata lama di depannya, teridentifikasi bahwa ia sedang menyindir kinerja dua kendaraan itu di negeri ini yang sering terkendala beberapa kesalahan teknis. Dengan kata lain, cinta biasanya tak datang tepat waktu.

Pada bait ke-2, penggunaan majas personifikasi terdapat pada larik pertama. Dan sarkasme pada larik kedua dengan pengistilahan tak sopan. Pada bait ke-3 kedua lariknya terdiri dari majar personifikasi.

Sebab cinta bisa lebih gila dari apa

yang pernah kita duga. Lebih tak sopan

dari perampok, pemabuk juga penggoda.

Tak jarang, ia datang tanpa aba-aba

mengetuk pintu atau mengucap salam.

Kedua bait ini menggambarkan bahwa kedatangan cinta bisa “nyelonong” begitu saja. Tanpa permisi dan terkesan kasar seperti perampaok, pemabuk juga penggoda.

Penggunaan majas meloncat pada bait ke-7, penggunaan kata penolakan tak mencirikan majas Antifrasis.

Kau tahu

ini akan berlangsung lama

aku tak memiliki waktu

untuk tak mencintaimu.

Penggunaan tak pada dua larik terakhir, mencirikan kecermatan penyair dalam bermain logika. Waktu yang dimiliki secara metaforik sebenarnya sudah lumrah (sudah dipakai banyak orang), namun kemudian mendapatkan originalitasnya dalam puisi ini dengan membalikkan makna yang sebenarnya (Antifrasis). Karena makna sesungguhnya adalah si-aku lirik memiliki waktu untuk mencintai kekasihnya.

Bahasa figuratif selanjutnya terdapat pada bait ke-10, pada larik ke-2 terdapat repetisi separah-parahnya yang menandakan keberadaan majas Inuendo.

Aku tak akan pernah merasa kalah

dan patah. Sebab, separah-parahnya

jatuh cinta, tak melulu mendarat

pada penolakan atau penerimaan

tapi pada pengakuan.

Penyair dalam hal ini menyepelekan atau menyederhanakan permasalahan keumuman yang ditakutkan seorang laki-laki (dalam budaya kita—patriarkhi—laki-laki lah yang harus menyatakan perasaan cinta) ketika menyatakan perasaan cintanya. Sebenarnya hal terpenting yang harus didapatkan dari sebuah pernyataan cinta adalah pengakuan, bukan penerimaan atau tolakan.

3) Repetisi

Repetisi adalah pengulangan bunyi, suku kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai (Keraf, 1998: 127). Dalam analisis ini akan dipadukan antara penegertian repetisi oratoris yang berbentuk kata, frasa dan klausa dalam sebuah kalimat dengan repetisi bunyi asonansi dan aliterasi yang diambil dalam gaya bahasa retoris.

Sajak berjudul Lamaran ini sarat dengan repetisi. Edwar Maulana memberi tekanan pada bunyi yang ingin disampaikannya, seperti terlihat pada bait ke-1.

Nisa, jika kau percaya bahwa cinta

bisa tiba lebih tergesa dari apa saja

bahkan dari langkah cahaya. Kadang

lebih lama dari kedatangan bis dan kereta.

Lebih lambat dari hari kiamat.

Pada bait di atas terlihat jelas ada perulangan bunyi yang dihadirkan secara ketat. Asonansi vokal /a/dan /i/ pada setiap lariknya, memberi kesan pada suasana yang ringan dan tinggi. Pemaduan vokal /a/ dan aliterasi /t/ dalam larik akhir, memberi irama dalam tempo yang agresif dan represif (kakovoni). Dan pada larik 2-5 terdapat repetisi mesodiplosis dengan mengulang kata dari di tengah kalimat secara berurutan.

Maka, jangan bertanya kenapa

saat ini aku begitu mencintaimu

padahal pertemuan kau dan iaku

belum genap satu minggu.

Sermentara pada bait ke-2, lebih terkesan pada permainan irama. Masing-masing lariknya bermain asonansi rima a-a, i-u, a-u, dan uu

Sebab cinta bisa lebih gila dari apa

yang pernah kita duga. Lebih tak sopan

dari perampok, pemabuk juga penggoda.

Pada bait ke-3, permainan asonansi masih kuat, terutama pada larik pertama dengan perpaduan vokal /a/ dan /i/. Repetisi mesodiplosis kembali menjadi penegas dengan adanya kata lebih dan dari. Dan secara orkestrasi, irama yang kakofoni dalam kata perampok, dan pemabuk, ditutup dengan irama yang efoni dalam kata peng-goda. Perempuan mana yang tak ingin di goda, meski mereka sering menampakkan rasa risih ketika mendapatkannya.

Tak jarang, ia datang tanpa aba-aba

mengetuk pintu atau mengucap salam.

Namun pada bait ke-4, keseluruhan irama yang efoni dengan adanya perpaduan asonansi vokal /a-e-ng/ dikepung oleh irama kakofoni yang memadukan aliterasi /t-k-p/ dalam setiap lariknya.

Nisa, aku tahu

ini terlalu cepat dan mengejutkan.

Tapi, begitulah adanya.

Bait ke-5 keseluruhan lariknya bermain rima /i/a/e/u/. Dan didominasi irama yang kakofoni dengan keberadaan /s,k,t,p/ yang tersebar di setiap lariknya.

Aku jatuh cinta padamu

setiap kali kau bersujud, bangun tidur

sedang makan, cantik dan sendirian.

Pada bait ke-6 masing-masing lariknya di dominasi asonansi bunyi /a-u/, /.u/, dan /a-i/. Lagi-lagi dominasi kakofoni /s,k,t,p/ tersebar di setiap lariknya.

Kau tahu

ini akan berlangsung lama

aku tak memiliki waktu

untuk tak mencintaimu.

Bait ke-7 secara umum masih bermain irama yang kakofoni, karena irama yang efoni hanya terdapat pada kata /ber/lang/, s /u-ng/. Bait ini adalah kali ketiga, Edwar Maulana merepetisi oratori jenis mesodiplosis dengan mengulang kata tak di tengah kalimat secara berurutan. Sementara dalam gaya bahasa retoris, penggunaan kata tak tersebut mencirikan jenis Apofasis, yang berarti penyair menegaskan sesuatu, tapi tampaknya menyangkal.

Percayalah

sebab ini lamaran

bukan ramalan.

Pada bait ke-8 agak berbeda dengan bait-bait sebelumnya, irama efoni yang memadukan asonansi /a/ dengan aliterasi sengau /m-n/ dan liquida /l-r/ sangat menonjol dalam bait ini dengan adanya permainan kata antara lamaran dan ramalan

Kau boleh memilih pergi

dan kehilangan, atau jatuh

bersamaku, atau tak keduanya.

Bait ke-9 secara umum sama dengan bait ke-7, bermain irama yang kakofoni, karena irama yang efoni hanya terdapat pada kata /me-mi-lih/. Namun bait ini adalah kali pertama, Edwar Maulana merepetisi jenis anafora dengan mengulang kata atau di awal klausa secara berurutan.

Aku tak akan pernah merasa kalah

dan patah. Sebab, separah-parahnya

jatuh cinta, tak melulu mendarat

pada penolakan atau penerimaan

tapi pada pengakuan.

Selain bermain rima /ah/ dan /an/ pada dua larik awal dan dua larik akhir secara berurutan, bait ke-10 ini adalah kali ke-4, Edwar Maulana merepetisi jenis mesodiplosis dengan mengulang kata tak dan pada di tengah kalimat secara berurutan.

Maka, akuilah

bahwa kau perempuan

dan aku laki-laki

dan aku mencintaimu.

Pada bait terakhir ini adalah kali ke-2, Edwar Maulana merepetisi jenis anafora dengan mengulang kata dan aku di awal klausa atau kalimat secara berurutan.

4) Diksi

Edwar Maulana menggunakan beberapa diksi hasil dari gabungan dua kata konkret dalam kalimtanya sehingga menjadi sebuah kata abstrak yaitu; langkah cahaya, yang bermakna konotasi sebagai (subjek) yang bertugas menafsirkan kecepatan gerak pada bait ke-1. Pada bait ke-9, kata jatuh bersamaku kemudian serta merta bermakna konotasi “menjalani hidup bersama” bukan “tersungkur secara bersamaan”. Berikutnya terdapat pada bait 10 terdapat kata kalah dan patah, kata konret yang menjadi abstrak setelah perpaduannya yang bermakna konotasi”perasaan”, dan kata mendarat yang menjadi penyanding kata jatuh cinta, pada akhirnya berbicara tentang “nasib” bukan “hinggap atau turun”.

Ia juga menggunakan diksi gabungan antara dua kata abstrak dalam kalimatnya “lebih lambat dari kiamat”, “cinta bisalebih gila” sehingga menjadi sebuah kata konkret dan bermakna denotasi seperti “bis dan kereta yang sering lama datang” untuk pemaduan diksi “lambat dan kiamat” pada bait ke-1. Begitu pula “kegilaan cinta” menjadi sekonkret dengan makna denotasi “perampok, pemabuk dan penggoda yang tidak sopan pada bait ke-3”. Selebihnya dan kebanyakan adalah penggunaan kata konkret yang bermakna denotasi.

Kecenderungan Gaya Bahasa

Berdasarkan analisis struktur teks puisinya, dapat dilihat kecenderungan gaya bahasa Edwar Maulana dalam sajak Lamaran inimemanfaatkan pengimajian, terutama imaji lihatan dan imaji gerakan sebagai sarana untuk membuka perspektif pembaca terhadap suasana yang ingin disampaikan. Dengan begitu penggambaran suasana pada sajak ini menjadi jelas sehingga dapat dirasakan secara langsung oleh pembaca.

Penggunaan bahasa yang terpilih, dengan diksi yang di dominasi dari kata konkret dan bermakna denotasi serta penempatannya yang akurat, secara tidak langsung mempermudah pembaca untuk memahami dan memfokuskan perhatian pada peristiwa yang ingin disampaikan. Deskripsi tentang proses datangnya perasaan cinta yang begitu cepat dan menuju pada sebuah lamaran berhasil diceritakan secara mengena dan jelas. Deskripsi peristiwa ini juga ditunjang dengan penggunaan majas personifikasi dan majas metafora yang tidak begitu mendominasi sehingga pemaknaannyatidak menjadi lebih luas. Juga penggunaan majas Satire, Antifrasis, Inuendo mendorong pembaca untuk bermain logika dalam membaca puisi ini. Di sinilah kekhasan mencolok pada puisi Edwar Maulana, bahwa ia tidak menulis puisi suasana atau “bermetaforia” melainkan yang ia mainkan adalah logika bahasa.

Pada sajak ini, dengan komposisi irama kakofoni yang mendominasi,Edwar Maulana tidak acuh pada aspek musikalitas. Pemanfaatan repetisi jenis Anafora dua kalidan Mesodiplosis sebanyak empat kali, dalam puisi panjangnya ini, menunjukkan bahwa Edwar Maulana tak sedang bernyanyi atau jenis puisi retori, melainkan sedang berorasi dengan jenis puisi oratori.

Dengan melihat kecenderungan gaya bahasa dalam puisi Lamaran ini, maka semakin menegaskan asumsi awal saya bahwa puisi Edwar Maulana bukanlah puisi suasana yang bernyanyi tapi puisi oratori yang berpikir. ***

Daftar Pustaka

Adi, Rudi. 2012. Kajian Stilistika Terhadap Puisi. Power Poin Perkuliahan Kajian Puisi.

Keraf, G. 1998. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Maulana, Edwar. 2012. Tembang Sumbang: Sekumpulan Puisi. Bandung: Penerbit Literat.

Pradopo, R. Dj. 1999. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Sudjiman, P. 1993. Bunga Rampai Stilistika. Jakarta: P.T. Pustaka Utama Grafiti.

Wellek, Rene, dan Austin. 1995. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT. Gramedia.

Biodata Penulis.

Amran Halim,Kelahiran Cirebon, 23 November 1986. Sekarang Tinggal di Bandung. Masih menjadi Mahasiswa (tingkat paling akhir) UPI Bandung. Aktif bergiat di UKSK UPI, FMN, komunitas ASAS UPI. Menulis kajian akademik, cerpen, opini, dan menulis kritik sastra. Di antaranya pernah dipublikasikan di beberapa media cetak, elektronik dan majalah kampus. Serta sering menjuarai perlombaan cipta cerpen dengan nama Amran Banyurekso.

No kontak     : 085795098885

Email             : banyurekso@gmail.com

NIK                 : 3209022311860006

NIM                : 056121

No. Rek          : 0109428376  a.n Amran Halim BNI Cabang UPI Bandung.

NPWP              : -

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun