Mohon tunggu...
Ayati Fa
Ayati Fa Mohon Tunggu... lainnya -

Muslimah yang sedang belajar menulis di blog http://ayatifadhilah.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bahasa dan Dekonstruksi Makna

25 September 2012   12:43 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:43 1410
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Bahasa dan Dekonstruksi Makna

“Duh, saya hanya pengguna bahasa, mengacu pada apa yang ada di kamus dan logis. Tidak semua kata harus kias, apalagi pusing sendiri membuat bid’ah.” Balas teman saya melalui sms pagi itu ketika saya menanyakan apakah kata jejarum termasuk dalam kata ulang dwipurwa.

Iya, membincangkan bahasa di masa sekarang memang menarik. Bahkan, saat ini bahasa tidaklah cukup bila hanya dimaknai sebagai sebuah alat komunikasi antar manusia, tapi dia telah menjelma menjadi senjata untuk membangun kolonialisasi. Bahasa kini tidak lagi menjadi netral, tapi subjektif, karena ia telah menjadi alat yang dipakai untuk berkuasa.

"JikaAnda ingin menaklukan kekuasaan, anda tidak perlu menyerang fisiknya, tapi jajahlah wacananya." Ucap Michael Foucault sebagai awal mula babak baru peran bahasa setelah peradaban modern dipertanyakan oleh kaum Posmo (singkatan dari Postmodernisme).

Adapun ciri pemikiran di era Postmodern ini adalah pluralitas berpikir dihargai, setiap orang boleh berbicara dengan bebas sesuai pemikirannya. Postmodernisme juga menolak arogansi dari setiap teori, sebab setiap teori punya tolak pikir masing-masing dan hal itu dianggap berguna. Hingga, pada implementasinya, postmodernisasi bahasa ini sangat erat terjadi dalam perselingkuhan antara media dan liberalisme. Maka tak heran, makna-makna liberal dan haram diperhalus sebaik mungkin hingga ia menjadi bahasa terpandang bahkan elegan. Riba dipercantik menjadi bunga, bahkan pelacur di era Posmo ini tidak lagi dianggap sebagai sebuah zina tapi sebagai jabatan yang terpandang dengan sebutan pekerja seks komersial.

Pada akhirnya, kebebasan berbicara pada era Posmo ini mampu mengacaukan sebuah bahasa. Dengan menyebut realitas sebagai sebuah teks. Sehingga bahasa mampu mengontrol jalan pikiran manusia. Bahkan ia bisa berubah menjadi tiran ketika  dipertemukan dengan kekuasaan.

Berbagai istilah tidak saja mengalami eufemisme, tapi juga berubah menjadi garang karena berbagai motif dan kepentingan. Sebagai contoh, sejak runtuhnya menara kembar WTC yang terjadi pada September 2001, maka isu “War On Terrorism” yang dimotori Amerika pun menyebar ke berbagai negara. Termasuk di dalamnya Indonesia. Istilah “teroris” yang semula bermakna orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut (biasanya untuk tujuan politik) berubah makna menjadi hanya dikhususkan bagi orang yang beragama Islam atau untuk organisasi tertentu yang berasaskan Islam. Maka, Amerika yang memerangi Irak dan Afghanistan pun tidak pernah disebut sebagai "teroris", sedangkan Taliban yang membela diri di negerinya sendiri mendapat gelar "teroris". Begitu juga dengan Israel dan pemerintah Myanmar yang telah membantai ribuan umat Muslim pun tidak pernah mendapat julukan "teroris".

Begitu juga dengan istilah “radikal” yang semula bermakna; 1. secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip); 2. Pol amat keras (tegas), menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan); 3. maju dalam berpikir atau bertindak (artikata.com). Nah, bila merujuk pada pengertian “radikal” di atas, bukankah itu sesuatu yang positif? Tentu setiap individu atau kelompok harus maju dalam berpikir dan bertindak, mendasar dan tegas dalam menuntut perubahan yang telah diyakininya? Namun anehnya, istilah “radikal” ini sekarang hanya disematkan pada orang atau kelompok tertentu yang serius memperjuangkan Islam. Tidak pada jaringan liberal atau yang lainnya.

Pada faktanya, memang telah banyak istilah yang mengalami perubahan makna. Dan meluasnya pengaruh dan opini yang terbentuk akibat dari berubahan makna itu tidak bisa dipisahkan dari pengaruh media yang senantiasa menjadicorong dalam pemberitaan.

Seorang calon presiden atau gubernur akan dikenal rakyatnya setelah diiklankan melalui media. Bahasa-bahasa pencitraan didengang-dengungkan. Bahkan melalui media jugalah seseorang akan mendapat julukan apakah layak disebut sebagai pecundang atau pemenang. Lagi-lagi bahasa bukanlah sebagai alat percakapan antar manusia semata, namun telah menjadi alat propaganda sebuah kekuatan politik untuk mencapai tujuan tertentu.

Karenanya, permasalahan bahasa bukanlah permasalahan yang simpel seputar ejaan dan aturan kepenulisan semata. Tapi, bahasa adalah media untuk mencapai sebuah tujuan tanpa harus mengaburkan konsep baik-buruk seorang manusia. Nah, bila saya merujuk pernyataan teman saya di atas, bukankah peristiwa dekontruksi makna ini bisa terkategori sebagai bid’ah juga? Salahkah bila ada yang menuntut untuk mengembalikan istilah “teroris” dan “radikal” sesuai dengan definisinya?

Bogor, 25 September 2012

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun