Mohon tunggu...
Asep Parantika
Asep Parantika Mohon Tunggu... Dosen - Berisi tentang berbagai informasi yang mungkin bermanfaat bagi orang banyak

Seorang Dosen di Politeknik Sahid (d.h Sekolah Tinggi Pariwisata Sahid) Jakarta, Setelah menyelesaikan pendidikan Doctoral di Universite d'Angers -France, dengan tema desertasi mengenai Wisatawan Nusantara dan Wisatawan Nasional tentang Bagaimana orang Indonesia berwisata ... membuatnya terus ingin belajar tentang bagaimana orang Indonesia berwisata dan manfaat pariwisata bagi orang Indonesia...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Quovadis Penelitian Pariwisata Indonesia

31 Oktober 2018   16:29 Diperbarui: 1 November 2018   07:47 183
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kondisi Penelitian Pariwisata  di Indonesia

Ditahun 2017 Pariwisata Indonesia mengalami kemajuan yang cukup luar biasa, mampu memberikan 5% dari PDB nasional, dimulai dari jumlah Investasi sejumlah 1.788.05 Juta US $, Jumlah wisman 14.04 juta orang dengan penerimaan Devisa 2015 sebesar 4 Trilyun Rupiah. Apalagi Jumlah penduduk yang akan mencapai > 262 juta sebagai bonus demographi.  Sehingga banyak ekonom memprediksikan bahwa perekonomian Indonesia akan menduduki peringkat ke 7 di 2030 bahkan ke 4 di tahun 2045. Dalam Laporan Kinerja Kementrian Pariwisata 2017 juga menyebutkan bahwa Jumlah Lulusan Penguruan Tinggi Pariwisata, baik yang dibawah Kemenpar ataupun swasta  ada 2.100 orang, yang diserap di Industri Pariwisata, jumlah yang cukup besar.

Namun sayangnya dari  data yang dikeluarkan oleh Kementrian Riset dan Pendidikan Tinggi, menunjukkan bahwa daya saing Indonesia masih berada di bawah beberapa negara tetangga ASEAN,  Daya saing Innovasi kita masih dibawah Singapura, Malaysia, Thailand. Bahkan Vietnam yang 10-15 tahun lalu jauh berada dibawah Indonesia kini, kemampuan mereka meningkat pesat, mereka kini lebih unggul dari kita dalam hal Technological Readines, Knowledge & Tehnology Output, dll

Belum lagi penelitian-penelitian dari para peneliti Indonesia yang dipublikasikan secara Internasional masih sangat terbatas jumlahnya, selain kendala bahasa, juga beberapa metodologi penelitian yang kurang bervariasi. Mungkin juga karena tema-tema yang diangkat masih cukup umum dan cenderung monoton.

Berita baiknya dalam 3 tahun ini terjadi peningkatan yang cukup signifikan sejak banyak stimulan yang diberikan oleh Kemeristekdikti terutama bagi dosen-dosen yang mampu menembus jurnal Internasional yang terindeks Scopus, Thomson, dll...

Padahal publikasi tulisan baik hasil riset ataupun karya ilmiah lainnya, menjadi modal penting dalam peningkatan jenjang karir seorang dosen dari 247.269 orang dosen yang terdaftar di Pangkalan data Kemristekdikti, diketahui bahwa 46% tanpa jabatan fungsional, ini menandakan bahwa masih banyak dosen-dosen Indonesia yang belum memiliki karya ilmiah yang diketahui publik.

Hanya di Peguruan Tinggi yang sudah besar yang umumnya Peguruan Tinggi Negeri, publikasi ilmiah sudah menjadi bagian dari kehidupan akademisinya, terlihat mulai dari ITB, UI, UGM diperingkat ke 3, diikuti IPB dan ITS

Namun hingga kini belum ada data lengkap terkait penelitian yang berkaitan dengan pariwisata, mungkin kedepan melalui HILDIKTIPARI bisa dilacak perkembangan penelitian pariwisata yang sudah dipublikasikan secara Internasional

Dalam rangka mencapai sinergitas visi pembangunan Indonesia ditahun 2045, maka pemerintah mengusahakan berbagai regulasi dan deregulasi baik dalam birokrasi maupun Swasta, untuk bekerjasama saling bahu membahu mencapai Indonesia yang makmur. Salah satu sektor yang dianggap cepat dan mampu mencapai ini adalah Pariwisata, khususnya Pendidikan Tinggi pariwisata sebagai Supply tenaga kerja yang berkualitas.

10 tahun Ilmu pariwisata   

Perjalanan panjang pariwisata untuk diakui sebagai disiplin ilmu mandiri sejak lama telah dilakukan, dan masih terus diperjuangkan. Tanggal 31 Maret 2008 merupakan salah satu tonggak sejarah pengakuan pariwisata sebagai ilmu. Pada tanggal tersebut keluar surat dari Dirjen Dikti Depdiknas No. 947/D/T/2008 dan 948/D/T/2008 yang ditujukan kepada menteri Kebudayaan dan Pariwisata, yang secara eksplisit menyebutkan bahwa Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi menyetujui pembukaan jenjang Program Sarjana (S1) dalam beberapa progra studi pada STP Bali dan STP Bandung. Dengan ini merupakan adanya pengakuan formal bahwa pariwisata adalah disiplin ilmu, yang sejajar dengan ilmu-ilmu lainnya..

Dalam riset pariwisata ada berbagai metode dapat digunakan dalam mencari kebenaran ilmiah seperti (1) metode eksploratif dari jenis penelitian eksploratori (exploratory research) dan metode membangun teori (theory-building research) (2) kuantitatif (3) kualitatif (4) studi komparatif (5) eksploratif (6) deskriptif dan metode lainnya sesuai dengan permasalah dan tujuan penelitiannya. Namun yang paling umum digunakan adalah Kuantitatif, Kualitatif dan kombinasi keduanya.

Sayangnya kebanyakan dari para mahasiswa  lebih tertarik memilih metode kuantitatif dengan berbagai alasan.. Lebih mudah, tidak perlu banyak tulisan,tidak perlu banyak referensi...dll

Ilmu Pariwisata sebagai ilmu yang berhubungan dengan manusia sebagai mahluk sosial,  penelitian dengan metode kualitatif  lebih menarik, karena riset kualitatif bersifat naturalistik, dimana penelitian dilakukan sesuai dengan apa yang terjadi dilapangan. Maksudnya, peneliti bersikap terbuka terhadap apapun fenomena yang muncul di lapangan selama riset. Riset kualitatif juga bisa bersifat emergent, yaitu peneliti beradaptasi dengan lingkungan sosial yang ditelitinya. Riset kualitatif juga bertujuan pada subjek, artinya, orang-orang, kelompok, komunitas, atau masyarakat yang menjadi subjek penelitiannya menjadi suber informasi. Sampling dilakukan berdasarkan pengetahuan subjek terhadap fenomena, alih-alih melakukan generalisasi yang diambil dari sampel untuk diaplikasikan pada populasi

 

Ilmu dasar yang mendasari ilmu pariwisata

Ilmu pariwisata sebagai ilmu, ditetapkan 10 tahun lalu sehinggga ilmu ini masih tergolong baru, bahkan sebenarnya ilmu ini pun gabungan dari berbagai ilmu disiplin lain (Multidiciplin), banyak teorinya pun yang diambil dari ilmu lain untuk melengkapi ilmu pariwisata ini. Jadi ilmu pariwisata itu bukan ilmu disiplin yang berdiri sendiri.

Dari Aspek epistemologi pariwisata menunjuk pada cara-cara memperoleh kebenaran ilmiah atas objek ilmu pariwisata yang didasarkan pada suatu logika berpikir yang rasional, objektif dan dapat diuji secara empirik. Dalam memperoleh kebenaran ilmiah, yang telah dilakukan adalah (1) pendekatan sistem yang menekankan bahwa baik pergerakan wisatawan, aktivitas masyarakat yang memfasilitasnya maupun implikasi dari kedua-duanya terhadap kehidupan masyarakat secara luas, merupakan suatu kesatuan yang saling berhubungan atau pengaruh-mempengaruhi. Setiap pergerakan wisatawan selalu diikuti dengan penyediaan fasilitas wisata dan interaksi keduanya akan menimbulkan konsekuensi-konsekuensi logis di bidang ekonomi, sosial, budaya, ekologi bahkan politik sekalipun

Ilmu pariwisata tergolong dalam rumpun ilmu sosial. Pernyataan di atas, secara tidak langsung menegaskan adanya hubungan atau keterkaitan antara ilmu pariwisata dengan ilmu-ilmu lain yang menjadi cabang dari ilmu sosial yang memiliki karakteristik menitikberatkan segala hal yang berkaitan dengan manusia sebagai bahan kajian utamanya

Umumnya ada tujuh cabang Ilmu sosial yang dianggap cukup mewakili gambaran ilmu Pariwisata, yakni: Sosiologi, Antropologi, Sejarah, Ekonomi, Psilokogi, Politik, Geografi. Pada kenyataannya tentu saja tidak terbatas pada tujuh cabang ilmu yang tercantum diatas.

Ilmu Pariwisata ternyata punya kaitan erat  dengan Ilmu Sosiologi, karena Ilmu Sosiologi mempunyai perhatian lebih dalam mengkaji gejala-gejala yang terjadi di masyarakat. Fenomena semacam hubungan manusia dengan manusia lainnya, yang biasa menjadi bagian dari kajian Ilmu Sosiologi, mudah sekali dilihat dalam aktivitas pariwisata.

Sebagai contoh, hal-hal semacam prilaku wisatawan di kawasan wisata, baik Wisatawan Mancanegara (Wisman), Wisatawan Nusantara (Wisnus) maupun Wisatawan Nasional (Wisnas). Sepertinya belum mendapat perhatian besar dari para peneliti pariwisata Indonesia. Selama ini lebih banyak menekankan pada prilaku penduduk setempat (Host) yang menjadi subjek dari pariwisata dengan berbagai program Sapta Pesona, Pokdarwis, Genpi, dll. Pertanyaannya adalah bagaimana kita mengedukasi wisatawan kita? Adakah program pemerintah untuk itu?

Jumlah Wisatawan  di Indonesia

Ketika membicarakan pariwisata Indonesia, kebanyakan dari kita hanya berfokus melihat Wisman sebagai ujung tombak kesuksesan untuk meraup devisa sebanyak-banyaknya. Namun, jarang terdapat pembahasan/penelitian mengenai pelancong-pelancong Indonesia atau kita sebut Wisatawan Nasional yang berpelesiran ke luar negeri. Padahal jika dihitung hasil akhir, devisa yang didapat dari kunjungan wisman menjadi 'percuma' jika tergerus oleh uang yang dihabiskan Wisnas di luar negeri.

Tidak salah memang mengukur keberhasilan dan keuntungan dari wisman yang datang ke dalam negeri. Bagaimanapun, mereka mencetak devisa yang tinggi bagi Indonesia. Sayangnya, di dalam target pengembangan pariwisata, tolok ukur yang paling sering didengungkan adalah pertumbuhan kunjungan wisman. Kemenpar mematok target wisman pada 2019 bisa mencapai 20 juta orang.

Data Laporan Neraca Keuangan yang dikeluarkan Bank Indonesia tahun 2016 menunjukkan bahwa dari 12,02 juta wisman yang datang ke Indonesia, menghasilkan pendapatan sebesar US$12,2 miliar. Para wisman menjadi incaran pemerintah untuk pariwisata tak lain karena pengeluaran mereka yang cukup besar selama berlibur di Indonesia. Kemenpar mencatat, pada tahun 2016 saja, rata-rata wisman yang berwisata di nusantara menghabiskan dana US$1.103 per kunjungannya.

Meskipun demikian, potensi wisnas tak seharusnya diabaikan. Layaknya dalam perdagangan, perlu diketahui angka pasti dari nilai ekspor-impor untuk bisa mengetahui positif atau tidaknya neraca. Di neraca barang misalnya, ekspor yang didorong, namun disertai derasnya barang impor yang masuk, mengancam catatan positif perdagangan.

Tidak terkecuali di pariwisata yang merupakan sektor jasa, dibutuhkan juga angka-angka pasti untuk memastikan positif atau tidaknya neraca pariwisatanya. Dengan catatan yang pasti dan tak melupakan potensi uang yang terbang dibawa warga sendiri ke luar negeri, proses pengambilan kebijakan bisa lebih tepat dan efisien.

Seharusnya surplus di neraca pariwisata terus bertumbuh seiring dengan gencarnya pemerintah menaikkan alokasi anggaran untuk sektor kepariwisataan dalam beberapa tahun terakhir. Pertumbuhannya jelas juga harus melebihi dari pertumbuhan biaya yang sudah digelontorkan negara jika memang ingin dikatakan positif. Artinya, jika anggarannya naik 10%, seharusnya surplusnya juga bisa tumbuh lebih dari 10%.

Untuk diketahui, pada tahun 2017 kemarin, alokasi anggaran Kemenpar untuk promosi bahkan mencapai kisaran 50% dari total anggaran Rp3,82 triliun. Itu berarti setidaknya digelontorkan sekitar Rp1,91 triliun guna memasarkan berbagai destinasi wisata nusantara.

Alokasi yang lebih besar bahkan sempat terjadi pada 2016. Dari dana Rp4,24 triliun yang dianggarkan ke kementerian tersebut di APBN Perubahan, sebanyak Rp2,95 triliun diserahkan untuk kegiatan promosi. Persentasenya mencapai 70%.

Alangkah lebih baiknya jika kita kita hanya "memasarkan" Indonesia ke wisman dan wisnus saja, tetapi juga ada anggaran yang dapat dialokasikan untuk membekali dan melatih para "Ambasador" Indonesia yang melancong ke luar negeri, menjadi wisatawan yang meberikan citra positif orang Indonesia.

Melihat Prilaku wisatawan Indonesia

Mungkin beberapa dari kita pernah membaca dan melihat beberapa  artikel yang meninggalkan Stereotype dari wisatawan sebuah negara? Wisatawan Jepang yang dikenal sebagai Photo Hunter., karena prilaku mereka selama berwisata yang tak lepas dari kamera... Kini mereka sangat memiliki positif image, sebagai wisatawan yang royal dan loyal, apalagi setelah gerakan membersihkan stadion yang mereka lakukan selama kejuraan sepakbola dunia di Moskow 2018 beberapa bulan yang lalu.

Namun sebaliknya tetangganya China, negara New Economic Giant yang semua orang sudah tahu bagaimana stereotype jelek wisatawan china Selama mereka berada di tempat wisata....

Alhamdulillah sampai saat ini belum banyak ulasan artikel di luar negeri yang membahas prilaku negatif wisnas Indonesia di luar negeri.  Hanya ada satu artikel di salah satu koran kompas yang membahas prilaku orang Indonesia yang melancong di luar negeri..Besar harapan kita, citra positif yang diberikan oleh Wisnas kita di mancanegara, bukan sebaliknya....

Dari data statistik di beberapa negara tetangga khususnya ASEAN menunjukkan bahwa sebenarnya dinegar-negara tetangga kita khususnya Malaysia dan Thailand, memperoleh keuntungan besar dari Wisnas Indonesia. Wisatawan Indonesia telah menjadi target utama pariwisata mereka, begitu Juga di Thailand dan HK, kita mengalami defisit jumlah wisatawan.

Perlu dilihat seberapa besar orang Indonesia yang berkunjung ke China, jangan-jangan lebih banyak yang ke China dari pada ke Indonesia??? Atau bisa jadi pengeluaran Wisatawan Indonesia yang ke China lebih besar dari pengeluaran wisatawan China yang ke Indonesia (Kualitatif).

Sepertinya pemerintah atau pihak-pihak yang berwenang  perlu mengeluarkan data yang lebih valid dan official dari pemerintah terkait berapa banyak sebenarnya Devisa yang keluar dari Indonesia, melalui Wisnas ini...

Jangan sampai kehawatiran kita terjadi, bahwa devisa yang keluar lebih besar dari devisa yang masuk ke Indonesia melalui pariwisata.

Rekomendasi

Perlu lebih banyak penelitian yang dilakukan oleh para dosen maupun peneliti pariwisata dengan penelitian-penelitian yang aplikatif, dan memperbanyak data Kualitatif agar menghasilkan tema-tema yang menarik dan bermanfaat bagi perkembangan pariwisata Indonesia.

Penelitian Sosiologi terhadap prilaku Wisatawan Nasional, dan wisatawan domestik sangat menarik untuk dibahas, sehingga mampu  merubah karakter bagi Wisatawan Nasional yang mampu menjadi IndonesianGood Ambassador saat melancong keluar negeri

Tulisan ini merupakan materi yang diampaikan pada simposium "Mencari Metode Penelitian Pariwisata Terapan dalam Rangka Mengokohkan 10 Tahun Disiplin Ilmu Pariwisata sebagai Ilmu Mandiri" di Sekolah Vokasi UGM 20 Oktober 2018

Referensi:

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun