Mohon tunggu...
Arjuna Putra Aldino
Arjuna Putra Aldino Mohon Tunggu... Penulis - Universitas Indonesia

Mahasiswa Pascasarjana, Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Prabowo dan Islam-Politik: Mesra dalam Lintasan Sejarah

10 September 2023   07:34 Diperbarui: 10 September 2023   08:13 453
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam Politik syari'at Islam dari Indonesia hingga Nigeria karya Taufik Adnan Amal menyebutkan FPI dinilai dekat dengan orang-orang di sekeliling Soeharto. Di masa Prabowo Subianto aktif di TNI, FPI diduga sebagai salah satu binaan menantu Soeharto itu. Pertemuan Prabowo dengan kelompok islam-politik bukan semata-mata pertemuan taktis dalam sekejap. Namun pertemuan keduanya terdapat kesamaan perangai.

Hal ini diungkapkan oleh Jusuf Wanandi dalam memoar politiknya yang berjudul Shades of Grey: A Political Memoir of Modern Indonesia 1965-1998, yang menulis bagaimana Prabowo mengintimidasi CSIS dengan mengirim ratusan demonstran ke kantor pusat lembaga tersebut. Wanandi juga menulis bahwa Prabowo menyalahkan pengusaha Tionghoa peranakan atas krisis yang sedang terjadi. Lebih jauh lagi, Prabowo menuduh pengusaha-pengusaha tersebut melakukan sabotase ekonomi untuk menjatuhkan Soeharto. Tuduhan Prabowo ini bukan tanpa alasan.

Sebelum krisis keuangan tahun 1997, Hashim Djojohadikusumo memiliki sejumlah bank, di antaranya Bank Pelita, Bank Industri, Bank Papan Sejahtera, dan Bank Niaga. Krisis moneter tahun 1997 mendesak nasabah bank-bank tesebut untuk mengungsikan uang mereka ke Singapura dan Hongkong. Bank-bank yang dimiliki Hashim merasakan imbasnya. Resesi ekonomi menghantam keluarga Djojohadikusumo dengan telak. Prabowo melihatnya sebagai konspirasi internasional yang melibatkan kaum Tionghoa peranakan.

Gayung bersambut. Pada 8 Februari 1998, sejumlah tokoh, di antaranya Ahmad Soemargono (KISDI) dan Kiai Haji Cholil (MUI dan DDII), berkumpul di masjid Al-Azhar. Kedua tokoh tersebut memiliki pandangan yang serasi dengan Prabowo. Selain ikut mengutuk Sofyan Wanandi dan CSIS, salah satu pembicara dalam pertemuan tersebut juga menuduh peranakan Tionghoa dan kelompok non-muslim sebagai biang keladi kehancuran Indonesia. Sementara itu pembicara lain menyatakan bahwa Angkatan Bersenjata dan Islam harus bersatu untuk mengatasi masalah ini. Dalam Buku Putih Prabowo hal ini digambarkan demikian:

Prabowo memupuk hubungan dengan pemimpin-pemimpin Islam yang merasa menjadi korban ketidakadilan militer yang dipengaruhi oleh orang-orang Kristen dan pemerintah, serta diisolasi oleh ekonomi yang didominasi etnis Tionghoa. Di antaranya: Amien Rais, profesor dari Yogyakarta yang meneruskan kritik atas kekuatan Kristen dan modal Tionghoa menjadi kritik terbuka atas Soeharto.

Prasangka rasial semacam ini juga terjadi saat perhelatan Pilpres 2014 yang dimotori oleh Tabloid Obor Rakyat yang menghembuskan isu "Jokowi sebagai anak pengusaha Singapura keturunan Tionghoa", "Putra Cina asal Solo", "Ayah Jokowi adalah Oey Hong Liong", "Status Perkawinan ibunda Jokowi dengan Pey Hong Liong?". Begitu juga saat Pilpres 2019, prasangka rasial tentang Tionghoa, Cina dan Aseng kembali mencuat dalam cakupan yang lebih luas. Dalam salah satu berita, Jokowi dituding menginginkan warga Republik Rakyat Cina datang ke Indonesia. Salah satu berita yang sudah dimanipulasi menyebut "Atas Keinginan Jokowi, China Segera Kirim 3 Juta Warganya ke Indonesia."

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Habiburokhman yang pada saat itu menjadi kuasa hukum pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto dan Hatta Rajasa, mengatakan iba pada pemimpin redaksi dan redaktur tabloid Obor Rakyat yang dilaporkan ke polisi. Ia pun bersedia membantu keduanya. Bahkan Habiburokhman mengatakan bahwa apa yang disampaikan Obor Rakyat bukanlah fitnah.

"Obor Rakyat tidak ada apa-apanya, beda dengan fitnah. Kalau ada yang minta ke saya dari teman-teman Obor Rakyat, saya bersedia membantu," ujar Habiburokhman di Jakarta, Selasa, 17 Juni 2014

Karya Tahir Abbas dan Sadek Hamid yang berjudul Political Muslims: Understanding Youth Resistance in a Global Context mengungkapkan bahwa Prabowo adalah Jenderal yang mengambil keuntungan dari naik daunnya faksi ABRI Hijau dalam pertarungan perebutan pengaruh dalam dinamika politik Orde Baru. Istilah ABRI Hijau mengacu pada "tentara yang berasal dari subkultur Islam dan dekat dengan tokoh-tokoh Islam seperti ulama, kyai dan pemimpin ormas Islam". Dengan membentuk Center for Policy and Development Studies (CPDS), yang dimaksudkan sebagai lawan CSIS, Prabowo aktif mengkonsolidasikan kekuatan islam-politik yang tergabung dalam Komite Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI) dan Dewan Dakwah Islamiyah (DDI). 

Lebih spesifik, Carool Kersten dalam Renewal, Reactualization,and Reformation: The Trajectory of Muslim Youth Activism in Indonesia, mengungkapkan Prabowo memanfaatkan KISDI dan DDI untuk kepentingan ekonomi-politiknya, Prabowo dengan cara yang disebut Carool Kersten dengan istilah "divide-and-rule" (pecah-belah dan kuasai) dengan menyebarkan perselisihan pendapat di kalagan umat Islam, membiarkan menggunakan kekerasan dengan menggunakan preman dan massa jalanan yang direkrut dari masyarakat miskin perkotaan, kemudian dapat ia gunakan untuk mencapai tujuannya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun