Mohon tunggu...
Arjuna Putra Aldino
Arjuna Putra Aldino Mohon Tunggu... Penulis - Universitas Indonesia

Mahasiswa Pascasarjana, Sekolah Kajian Stratejik dan Global, Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Petani Tak Muda Lagi

8 Mei 2019   08:19 Diperbarui: 8 Mei 2019   08:35 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

This land is your land, this land is my land

From the redwood forest, to the gulf stream waters

This land was made for you and me

Ini adalah petikan dari lirik lagu "This Land Is Your Land" karya Woody Guthrie. Sebuah lagu yang menceritakan tentang keindahan alam Amerika seraya mengecam mereka yang merusak alam, yakni mereka; orang-orang serakah yang mengeksploitasi alam atas nama keuntungan pribadi, perampas lahan pertanian di desa dan mereka yang mengganti sawah petani dengan gedung pencakar langit dan vila-vila mewah. 

Namun lagu ini bukanlah nyanyian anti-pembangunan. Melainkan sebuah ironi dimana lahan-lahan pertanian yang subur nan hijau telah lenyap digantikan oleh pembangunan kota yang megah.

Lagu ini juga bukan sekedar gerutuan atau keluh kesah dari seorang seniman. Didalam lagu ini, Guthrie menyelipkan sebuah pesan kepada mereka para generasi muda untuk kembali merawat alam, merawat tanahku dan tanahmu (This Land Is Your Land), tanah kita semua. Mungkin lagu ini punya relevansi untuk kondisi Indonesia akhir-akhir ini. 

Enam tahun silam, Badan Pusat Statistik (BPS) menerbitkan laporan bertajuk Sensus Pertanian 2013. Dalam laporan tersebut menyebutkan 60,8 persen petani di Indonesia berusia di atas 45 tahun. Semakin muda usianya, jumlah petani kian sedikit. Hal ini membuat dalam kurun 2003-2013 jumlah petani Indonesia menyusut hingga 5 juta orang.

Temuan yang sama juga diungkapkan dalam hasil kajian Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) tahun 2015, yang menemukan bahwa 96,45 persen petani tanaman pangan berumur 30 tahun atau lebih, dan sebanyak 47,57 persen petani tanaman pangan berumur 50 tahun atau lebih. Sedangkan petani tanaman pangan yang berumur di bawah 30 tahun hanya sekitar 3,55 persen. 

Tentu kondisi ini bisa jadi awal malapetaka. Pasalnya, dari tahun ke tahun jumlah penduduk kian meningkat, maka kebutuhan akan bahan pangan juga kian meningkat. Namun jumlah sumber daya manusia dibidang pertanian kian merosot jumlahnya. Hal ini tentu berdampak pada produktivitas sektor pertanian sebagai penghasil bahan pangan.

Dengan kondisi demikian tak menutup kemungkinan jika Indonesia terancam akan krisis pangan dalam jangka panjang. Data Kementerian Pertanian menyebutkan jumlah penduduk yang sangat rawan pangan pada tahun 2011 sekitar 42,08 juta orang dan bertambah menjadi 47,65 juta pada tahun 2012. 

Krisis pangan dalam jangka panjang yang dapat dialami Indonesia juga dapat dilihat dari skor indeks ketahanan pangan Indonesia (Food Security Index) tahun 2018. 

Meskipun skor indeks ketahanan pangan Indonesia mengalami kenaikan dibanding tahun sebelumnya, yakni naik 1,6 poin ke level 54,8. Namun skor ketahanan pangan Indonesia masih kalah dibanding dengan negara-negara kawasan Asia Tenggara seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia. Bahkan ketahanan pangan Indonesia di bawah Vietnam. 

Posisi Indonesia hanya berada di urutan ke-5 di ASEAN. Indonesia hanya lebih unggul dari Filipina, Myanmar, Kamboja, dan Laos. Sementara di tingkat global Indonesia berada di posisi ke-65 di bawah Maroko dan Ekuador.

Prediksi krisis juga dapat dilihat dari angka produktivitas padi nasional. Data outlook Padi 2016 Kementerian Pertanian menunjukkan bahwa produktivitas padi Indonesia 2010-2014 hanya mencapai 5,7 ton per hektare (Ha). Angka ini berada dibawah produktivitas padi Vietnam. Produktivitas padi Vietnam sebesar 6,67 ton/Ha. Walaupun lahan pertanian padi di Vietnam tidak sebesar Indonesia, namun produktivitasnya jauh lebih tinggi. Disinilah titik persoalannya yakni lumpuhnya regenerasi petani yang dialami oleh Indonesia berpengaruh besar pada produktivitas dan ketahanan pangan nasional, yang kemungkinan besar dapat menciptakan krisis pangan dalam jangka panjang.

Kondisi ini bukan hanya berbahaya bagi ketahanan pangan nasional. World Economic Forum (WEF) mengungkapkan bahwa sektor pertanian bukan hanya sebagai penyedia bahan pangan semata, namun penyedia 40 persen lapangan pekerjaan, penyangga kelestarian lingkungan dan sumber pendapatan rakyat kecil. Di Indonesia, sektor pertanian penyumbang sekitar 14 persen GDP. Maka dapat disimpulkan lumpuhnya sektor pertanian dapat meningkatkan angka kemiskinan, maraknya urbanisasi hingga memperlebar jurang ketimpangan dan kerusakan lingkungan.

Membidik Akar Persoalan: Krisis Regenerasi Sebagai Dampak?

Kurangnya minat generasi muda terhadap sektor pertanian bukan tanpa sebab. Konstruksi sosial dan streotip petani di mata generasi muda yang selama ini tertanam membuat pemuda enggan menjadi petani. Profesi petani seringkali mendapat stigma buruk yang dianggap dekat dengan "kemiskinan", "kotor", "tidak menjanjikan", atau "tidak menjamin masa depan". Namun konstruksi dan stigma semacam ini tak muncul begitu saja. Ia muncul akibat dari kesejahteraan petani yang kian merosot bahkan banyak petani yang hidup dibawah garis kemiskinan. 

Data Kementerian Pertanian menyebutkan dari total penduduk miskin yang ada pada tahun 2017, sebanyak 58,47 persen diantaranya adalah rumah tangga pertanian. Bahkan menurut catatan Serikat Petani Indonesia (SPI) pendapatan petani rata-rata per hari hanyalah sekitar 5000 rupiah. 

Artinya, konstruksi dan stigma buruk yang menimpa petani akibat dari kesejahteraan petani yang memprihatinkan, yang tak bisa dilepaskan dari persoalan struktural yang hingga saat ini menghantui sektor pertanian kita.

Pertama, adanya kartel dan tengkulak. Kartel adalah usaha melakukan konspirasi dalam rangka mendapatkan keuntungan maksimal (maximum profit). Yang dimainkan para pelaku kartel ialah harga, output, pembagian wilayah, pembatasan produksi, hingga pembatasan input. 

Biasanya kartel bermain pada komoditas yang bersifat inelastis dimana permintaan cenderung stabil dan meningkat, terutama tanaman pangan seperti beras, garam, gula dan kebutuhan pokok lainnya. 

Temuan KPPU mengungkapkan di setiap daerah umumnya ada 5 perusahaan yang menguasai lebih dari 70 persen distribusi beras. Mereka selama ini memiliki penggilingan besar dan menjadi pemasok beras utama ke Jakarta. Dan kerja kartel tak bisa dilepaskan dari peran tengkulak sebagai bagian dari rantai distribusi komoditas. 

Tengkulak memberikan jaminan bantuan finansial, dan jaminan kemudahan pemasaran kepada petani. Sehingga para tengkulak lah yang menentukan harga panen di tingkat petani. Maka tercipta relasi ketergantungan antara petani dan tengkulak. 

Hubungan patron-klien antara petani dan tengkulak inilah yang menjadi penyebab rendahnya pendapatan petani dan menjerat petani ke dalam pusaran kemiskinan. Akumulasi keuntungan terbesar hanya dinikmati oleh mereka; para tengkulak dan pemain kartel.

Kedua, yakni soal akses akan lahan pertanian. Berdasarkan data BPS Tahun 2016, penurunan terhadap luas penggunaan lahan pertanian di Indonesia dalam kurun waktu lima tahun sebesar 1.92 persen. 

Dengan jumlah 39.587.740 Ha pada tahun 2012 menurun setiap tahunnya menjadi 36.764.318 Ha pada tahun 2016. Begitu juga dengan data Ditjen Sarana dan Prasarana Kementerian Pertanian mencatat, laju konversi lahan pertanian produktif ke non produktif sekitar 100.000 ha per tahun. Dari angka ini, 80 persen diantaranya terjadi di Pulau Jawa yang merupakan sentra produksi padi.

Dan rontoknya lahan pertanian tak lepas dari adanya ketimpangan kepemilikan lahan yang terjadi akhir-akhir ini. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), rasio ketimpangan kepemilikan lahan pada 2013 mencapai 0,68. 

Artinya hanya 1 persen rakyat Indonesia menguasai 68 persen sumber daya lahan. Luas penguasaan lahan petani pun semakin berkurang dari 0,22 ha pada 2012, diperkirakan menjadi 0,18 ha pada 2050 menurut prediksi BPS. 

Maka sejalan dengan itu, saat ini 77,0 persen petani di Pulau Jawa merupakan petani gurem dengan lahan kurang dari 0,5 hektar dengan luasan per keluarga tani 0,2 sampai 0,3 hektar. Bahkan data Badan Pusat Statistik 2013 menyatakan sejak 2003-2013 jumlah petani gurem yang kehilangan lahannya sebesar 53,75 persen. Selama periode 2003-2013 sebanyak 5,1 juta keluarga tani terpaksa meninggalkan lahan mereka dan sebagian besar menjadi penyusun masyarakat miskin kota.

Sulitnya akan akses lahan pertanian juga membuat biaya produksi pertanian, terutama padi kian mahal. Biaya produksi padi Indonesia lebih mahal dibandingkan dengan beberapa negara produsen padi Asia lainnya, yakni biaya produksi padi Indonesia mencapai Rp 4.079 per kilogram (kg). Dan penyebab utama mahalnya biaya produksi padi di Indonesia ialah persoalan akan akses lahan pertanian.

 Sewa tanah pertanian di Indonesia menyumbang biaya produksi sebesar Rp 1.719 per kg. Di lain sisi, pendapatan petani tak kunjung meningkat.

Dengan kondisi semacam ini maka generasi muda tak berminat untuk bergelut di sektor pertanian. Maka tak heran, sebanyak 52.000 pemuda lebih memilih meninggalkan desa dan mencari penghidupan di perkotaan (Kementerian Pemuda dan Olahraga, 2014).

Revolusi Pertanian: Teknologi Blockchain dan Political Will

Untuk memperbaiki sektor pertanian kita maka dibutuhkan perubahan struktural agar generasi muda tertarik untuk masuk mengelola pertanian. Salah satunya adalah dengan teknologi blockchain. 

Apabila petani bisa berkonsolidasi dengan membentuk koperasi maka teknologi blockchain dapat membantu petani mengetahui harga komoditas di pasaran dan menjalin kerjasama langsung dengan eksportir dan konsumen. 

Sehingga memutus mata rantai tengkulak dan petani mendapatkan harga yang adil untuk hasil panen mereka. Dengan platform blockchain, para petani mempunyai posisi tawar yang kuat karena koperasi petani akan menjadi pihak ketiga dalam kontrak kerjasama dan mengawasi setiap transaksi. 

Kerjasama langsung petani dengan eksportir ataupun konsumen mencakup menetapkan harga pembelian utama, volume perdagangan, metode transportasi dan aturan kerjasama lainnya. 

Harga komoditas akan didasarkan pada harga pasar, dan biaya transportasi akan ditanggung oleh pembeli. Catatan perdagangan hasil panen petani termasuk pembayaran, laba, uang keluar dan masuk akan tersimpan. Pembayaran kepada petani akan dilakukan melalui rekening bank sehingga tercatat dan dapat dilacak.

Kedua yang tak kalah penting, pemerintah harus memiliki political will untuk mencegah penyusutan lahan produktif semakin masif. Artinya, pemerintah tidak cukup hanya menentukan rencana tata ruang semata. 

Namun perlu kebijakan dan perundang-undangan yang mengikat tentang perlindungan lahan produktif, yang dapat menjadi dasar penetapan zonasi lahan pertanian abadi. Sehingga revolusi pertanian menjadi gerak yang holistik, bak gayung bersambut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun