Banjir itu merendam ribuan hektar sawah milik petani. Salah satunya adalah sawah milik Damiri[1] seorang petani sayur yang berusia 62 tahun asal Sleman, Yogyakarta. Sawah milik Damiri luasnya sekitar 5 x 30 meter, biasanya ditanami kangkung dan bayam. Namun akibat cuaca ekstrem akhir-akhir ini yakni hujan deras selama beberapa hari yang mengakibatkan banjir dan longsor di beberapa wilayah Yogyakarta, membuat sawah dan tanaman sayur milik Damiri gagal panen.
Kepala Dinas Pertanian Daerah Isitimewa Yogyakarta[2] mengatakan, terdapat sekitar 1.000 hektare sawah yang terendam banjir dan gagal panen yang tersebar di lima kecamatan, dengan kondisi paling parah di Kecamatan Panjatan, Kulon Progo.
Bahkan banjir yang terjadi di Yogyakarta akhir-akhir ini, juga ikut merendam sejumlah sekolah di Kabupaten Gunungkidul, Yogyakarta. Salah satunya adalah SMK 1 Tanjungsari, yang membuat puluhan siswa akhirnya harus mengevakuasi diri dan sejumlah peralatan yang tergenang. Akibat banjir ini, sebanyak 247 siswa terpaksa batal melakukan ujian akhir semester berbasis komputer.
Sudiarto, Kepala SMK 1 Tanjungsari[3] mengatakan, hujan deras yang terjadi sejak beberapa hari terakhir menyebabkan debit air meningkat. Air diketahui meningkat sejak pukul 05.00 WIB. Awalnya, di sekitar jalan raya namun akhirnya meluber masuk ke kompleks sekolah.
Akan tetapi, ternyata banjir tak hanya merugikan petani dan siswa sekolah. Sejumlah nelayan di Tuban[4], Jawa Timur terpaksa berhenti melaut karena cuaca ekstrem dan gelombang tinggi membuat mereka takut diterjang ombak tinggi jika nekat melaut. Para nelayan yang nekat berlayar pun merugi, karena hasil tangkapan ikan sangat minim. Tidak sebanding dengan biaya operasional. Tentu, kerugian ini membuat pendapatan mereka terkuras dan hidup mereka semakin sulit.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana mencatat telah terjadi 2.057 kejadian bencana di Indonesia selama 2017. Bencana selama 2017 ini menelan 282 korban meninggal, 864 orang luka-luka dan 3.209.513 orang mengungsi dan menderita. Kerusakan bangunan meliputi 24.282 unit rumah rusak (4.594 rusak berat, 4.164 rusak sedang dan 15.524 rusak ringan) dan 313.901 unit rumah terendam. Sebanyak 1.611 unit fasilitas publik meliputi 974 unit fasilitas pendidikan, 546 unit fasilitas peribadatan dan 91 fasilitas kesehatan.
Dan serbuan bencana ini menelan kerugian yang tak sedikit. BNPB mencatat setiap tahun negara mengalami kerugian Rp 30 triliun akibat bencana. Menurut data Urban Planning and Disaster Management Bappenas, dalam 10 tahun terakhir kerugian diderita Indonesia akibat bencana alam mencapai Rp 162 triliun. Sedangkan United National Development Project(UNDP) menyebutkan kerugian yang dialami Indonesia akibat bencana alam sebesar Rp 400 triliun.
Laporan Asia Pacific Disaster Report menyebutkan bahwa kawasan Asia-Pasifik, termasuk di dalamnya Indonesia mengalami kerugian berupa 85% dari kematian dan 38% kerugian ekonomi global yang diakibatkan oleh bencana alam dalam 30 tahun terakhir. Sementara itu, Global Assessment Report memperkirakan bahwa kerugian akibat bencana setiap tahunnya rata-rata mencapai 1% dari PDB, atau setara dengan kerugian yang dialami oleh negara-negara yang mengalami krisis keuangan global pada 1980 dan 1990-an.
Peneliti iklim terkemuka, Mojib Latif mengatakan bencana alam dan cuaca ekstrem yang terjadi akhir-akhir ini bukan sekedar fenomena cuaca biasa. Namun terjadi akibat adanya perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan global. Hal ini dapat dijelaskan secara fisika, kata Mojib Latif.
"Pemanasan global kemungkinan besar berdampak pada kenaikan curah hujan. Kadar air di udara tergantung dari suhu. Suhu mengatur seberapa banyak air yang bisa menguap. Air ini terbebaskan saat hujan dan kembali sampai ke tanah. Semakin tinggi suhu, semakin banyak air yang menguap dan semakin besar potensi turunnya hujan deras".