Mohon tunggu...
ahmad riza patria
ahmad riza patria Mohon Tunggu... -

politisi muda

Selanjutnya

Tutup

Politik

Reinventing Indonesia: Perspektif Ekonomi-Politik Global

16 Juni 2014   17:58 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:31 838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Reinventing Indonesia: Perspektif Ekonomi-Politik Global

Oleh: Ahmad Riza Patria
Sekretaris Jenderal Pimpinan Pusat Relawan Pasopati
Relawan Prabowo Subianto Pilihan Pasti

Dewasa ini, globalisasi mengalami percepatan yang mengharuskan setiap negara menyiapkan perangkat-perangkat strategis guna memenangkan “medan pertarungan global”. Hubungan ekonomi-politik global umumnya dan keterkaitan ekonomi-politik antara Indonesia dan dunia khususnya, akan banyak berpengaruh pada kesiapan Indonesia menghadapi tantangan globalisasi.
Selama ini, interaksi ekonomi politik global selalu bermuara pada bagaimana caranya entitas ekonomi bisa mempengaruhi dunia politik. Tetapi bagaimana faktor politik bisa mempengaruhi sektor ekonomi acapkali dilabaikan. Padahal, faktor politik sangat berperan dalam pembentukan sistem ekonomi, termasuk di dalamnya mempengaruhi penyusunan kebijakan ekonomi. Kebijakan ekonomi adalah hasil dari proses tawar-menawar politik, di mana kelompok-kelompok yang berbeda mewakili minat dan konflik pada pilihan hasil kebijakan yang berbeda.
Dalam ruang lingkup internasional, proses tawar-menawar politik sering dipengaruhi oleh kepentingan strategi dan diplomasi, serta dikaitkan pada tujuan politik atau pertahanan militer. Embargo misalnya telah menjadi alat ekonomi dari perang politik sepanjang sejarah. Kebijakan proteksionisme juga telah digunakan untuk menghindari ketergantungan pada sumber pemasokan asing yang sewaktu-waktu dapat diputuskan bila terjadi konflik politik atau perang. Dan begitu seterusnya.
Demikian pula dengan berbagai kebijakan ekonomi Indonesia, tidak serta merta steril dari kepentingan politik. Paket kebijakan utang luar negeri misalnya, selalu dibarengi dengan kepentingan lembaga donor. Untuk itulah, perlu dikaji kembali bagaimana format ekonomi politik Indonesia dalam percaturan global saat ini.

Globalisme dan Jaring-jaring Korporasi
Percepatan globalisasi belakangan ini diiringi dengan munculnya korporasi-korporasi transnasional. Lima tahun lalu, 51 dari 100 kekuatan ekonomi terbesar dipegang oleh korporasi, bukan lagi di tangan negara atau teritori. Pendapatan Walmart, jaringan perusahaan ritel AS, pada tahun 2001 sudah melampaui Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia sebagai negara. Penerimaan perusahaan minyak Royal Dutch Shell melampaui PDB Venezuela, salah satu anggota Organisasi negara-negara pengekspor minyak (OPEC) yang berpengaruh.
Pendapatan perusahaan mobil motor satu di AS, General Motor, kira-kira sama dengan kombinasi PDB tiga negara; Selandia Baru, Irlandia dan Hongaria. Perusahaan transnasional (TNCs) terbesar dunia, General Electric, menguasai aset sebesar 647,483 Milyar Dollar AS atau hampir tiga kali lipat PDB Indonesia. Begitu besar kekuatan uang dan pengaruh yang dimiliki, korporasi-korporasi ini mampu mengendalikan pengambilan keputusan di tingkat pemerintahan dan menentukan arah pergerakan perdagangan dan perekonomian global.
Menghadapi fakta tersebut, Indonesia seolah mengalami kegamangan dalam mereposisi diri dalam tata pergaulan global. Selama periode 1986-1990, tidak kurang dari 20 paket kebijakan liberalisasi perdagangan dan investasi diluncurkan. Indonesia adalah satu-satunya negara di Asia Timur yang memulai program liberalisasi rezim devisa. Namun dalam banyak kasus, paket kebijakan yang ditempuh pemerintah untuk mendorong sektor swasta waktu itu cenderung reaktif dan tidak koheren serta diskriminatif karena seringkali tidak menyertakan kelompok atau sektor tertentu dari program deregulasi. Jadi, tidak mendorong terjadinya persaingan yang sehat.
Pengusaha tumbuh dan menggurita bukan karena ia efisien dan kompetitif, tetapi karena ia berhasil menguasai aset dan sumber daya ekonomi, akibat adanya privelege atau KKN dengan pengusasa.
Di tengah tekanan sentimen nasionalisme di dalam negeri, pemeintah justru cenderung menganggap sepele tantangan globalisasi karena sudah menggangap berhasil melaksanakan tahap pertama liberalisasi (first-order adjusment) ekonomi.
Jika China yang the world’s factory dan India yang kini menjadi surga outsourcing IT dunia berebut menjadi pusat inovasi dunia, manufacture hub, atau mimpi-mimpi lain, Indonesia sampai saat ini belum berani mencanangkan menjadi apapun atau mengambil peran apapun di masa depan.
Jika Indonesia sendiri tak mampu memberdayakan dan menolong dirinya sendri serta membiarkan diri tergilas arus globalisasi, selamanya bangsa ini hanya akan menjadi tukang jahit dan buruh. Yang dibutuhkan Indonesia saat ni adalah visioning, repositioning strategy, dan leadership. Transformasi yang berputar-putar harus dituntaskan. Dengan visi, tahapan, komitemen serta kepemimpinan yang kuat, maka perubahan menuju Indonesia ke depan bisa terealisasikan. Ekspektasi bersama agar Indonesia memenangkan medan pertarungan globalisasi harus diwujudkan, sebab hal itu bukanlah utopia jika dikerjakan secara serius.

Belajar Dari Perkembangan Negara Lain
Lompatan besar terjadi secara mencengangkan di negeri China, India dan Singapura. China, yang 20 tahun silam adalah negeri miskin, kini mengalami perkembangan sangat fantastis. Banyak analis ekonomi menyatakan bahwa 20 tahun mendatang China mampu menggeser posisi AS sebagai raksasa ekonomi nomor satu dunia. Kini beberapa negara industri seperti Jepang, Jerman, Inggris, Perancis dan Italia praktis sudah dilampaui China. Sampai April 2006, cadangan devisa China (minus Hongkong) sudah mencapai 900 Milyar AS lebih.
Dibalik kemajuan tersebut, negeri tirai bambu ini ternyata menjalankan law and order secara “kaku”; siapa yang terbukti korupsi akan dijatuhi hukuman mati. Sistem yang menganut mekanisme pasar diterapkan secara konsisten sehingga China berubah sebagai raksasa ekonomi dunia dalam waktu yang relatif pendek.
Namun demikian, China tetap membungkam demokrasi dan HAM. Peristiwa Tiananmen tahun 1989 menjadi saksi bisu pembantaian rakyat yang menuntut kemerdekaan, demokrasi dan penghormatan HAM. Partai Komunis menjadi lembaga yang luar biasa dominan.
Tokoh besar yang memberi garis kebijakan ini, Deng Xiaoping memang seorang visoner. Ia tahu bahwa untuk menangani rakyat China perlu sebuah sistem yang mampu menggerakkan semua gerbong ekonomi negara. Dan sistem itu adalah mekanisme pasar; dua hal berlawanan yang diterapkan sekaligus dalam sebuah negara yang amat besar penduduknya.
Demikian pula dengan Singapura yang mengalami perkembangan signifikan. Ketika mendirikan Republik Singapura tahun 1965, Lee Kuan Yew menyatakan; pertumbuhan ekonomi adalah faktor amat dominan untuk menyejahterakan rakyat. Jika ekonomi tumbuh subur, rakyat akan memperoleh pekerjaan dan bisa hidup layak. Jika rakyat kenyang, praktis negara aman.
Lee Kuan Yew tampaknya serius dengan prinsip tersebut. Bagi sebagian rakyat Singapura, kepemimpinan Lee Kuan Yew dianggap sangat otoriter karena mengorbankan kehidupan demokrasi dan kebebasan berpendapat. Media massa pun tidak bisa menunjukkan sikap kritisnya kepada rezim yang berkuasa. Namun demikian, Singapaura telah mengalami perkembangan pesat sebagai negara maju.
Dua model penanganan negara di atas sebetulnya bisa dijadikan inspirasi bagi pemerintah untuk menata ulang Indonesia. Ketika Soeharto berkuasa, ia menjalankan kepemimpinan secara otoriter. Ia pun tak terlalu menyukai demokrasi dan cenderung menafikan pentingnya penghormatan terhadap HAM. KKN juga tumbuh subur yang pada akhirnya melemahan secara sistemik terhadap agenda perubahan nasional.
Jika disepakati bahwa demokrasi sebagai sebuah sistem yang bisa merubah masa depan Indonesia, maka persoalannya sekarang terletak pada aktor-aktor yang menggerakkan demokrasi tersebut. Pemerintah haruslah konsisten, misalnya terhadap upaya pemberantasan korupsi. Sebab, sekarang mulai muncul “perlawanan” dari pelaku-pelaku korupsi dengan mendesakkan perlunya sebuah undang-Undang yang mengatur perlindungan kepada Pejabat melalui peraturan Inpres.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun