Mohon tunggu...
Yuli Riswati (Arista Devi)
Yuli Riswati (Arista Devi) Mohon Tunggu... Freelancer - Jurnalis

Purple Lover. I am not perfect but I am unique.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketika Pemerintah Melempar Batu, TKI Mesti Sembunyi di Mana?

22 April 2016   09:16 Diperbarui: 22 April 2016   16:27 460
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber: lampung.tribunnews.com"][/caption]Pengamat Masalah yang Bermasalah

'TKI Mengubah Data, TKI Menuai Petaka' begitulah judul artikel di kolomnews.detik.com yang sempat membuat saya 'rumangsa embuh'.

Dalam artikel yang ditulisnya, Didik Eko Pujianto, yang menyebut dirinya sebagai 'Pengamat Masalah Perburuhan di Jakarta' dan pada kenyataannya adalah seorang 'Pejabat Fungsional, Direktorat Perlindungan WNI dan BHI, Kementerian Luar Negeri RI menyatakan bahwa: meski sering dijumpai WNI, pada umumnya TKI diubah identitasnya demi bekerja di luar negeri. Hingga saat ini belum ada data akurat terkait kapan dan oleh siapa praktik pengubahan identitas para TKI.

Dari pernyataan tersebut, tanpa perlu dibaca berulang-ulang, kita bisa menyimpulkan bahwa masalah yang sebenarnya menjadi tanggung jawab pemerintah sedang berusaha diingkari mentah-mentah tanpa sedikit pun 'rasa bersalah'. Hal ini bisa ditengarai dengan menilik siapa dan apa latar belakang yang dimiliki penulis.

Pengamat adalah sebuah profesi utama, profesi sampingan atau hobi yang dimiliki seseorang atas bidang tertentu yang dilihatnya, dipahaminya, dipelajarinya berdasarkan pengetahuan atau keahliannya di bidang teori atas bidang tersebut yang kemudian disampaikan secara lisan dan tulisan kepada khalayak. Jelaslah bahwa tugas seorang pengamat adalah menulis atau berbicara dengan syarat memiliki pemahaman atas teori-teori yang dituliskan atau dibicarakan. yYng telah dipelajarinya berdasarkan pengalaman sendiri, pengalaman orang lain atau dari literatur (berbagai sumber).

Tetapi di saat 'seorang pengamat masalah' dalam hal ini adalah bagian dari 'yang bermasalah'. Apakah kemudian apa yang disampaikan bisa dipertanggungjawabkan bukan hanya sebagai 'upaya melempar pun menutupi masalah yang ada'? Sebagai pembaca kita diminta untuk jeli dan lebih kritis lagi dalam menilai.

Peraturan Siapa yang Membuat, Siapa pula yang Melanggar
Pada artikel tersebut tertulis, "Dari ngobrol informal, diperoleh informasi bahwa keinginan untuk segera berangkat kerja ke luar negeri dan bantuan jalan pintas bisa mendorong segala cara, termasuk pengubahan data calon TKI. Bagi yang belum cukup umur bisa dibuat lebih tua. Mereka yang terlalu tua, dibuat lebih muda. Calon yang didaftarkan adiknya, tetapi yang diberangkatkan kakaknya. Warga dari suatu daerah dibuatkan identitas baru di kota lain dan masih banyak lagi cerita tentang perubahan identitas ini. Bahkan mereka menyebutkan bahwa dahulu, semuanya bisa diatur kecuali jenis kelamin yang sulit dimanipulasi."

Entah, penulis 'ngobrol informal' dengan siapa sehingga bisa memperoleh informasi seperti yang dituliskannya. Dengan para TKI, PJTKI atau KJRI? Saya sih curiga penulis mengobrol dengan diri sendiri eh? Lantas dari obrolan tersebut dan semua informasi yang ada, apakah tidak semestinya menjadikan bahan intropeksi untuk penulis sebagai pejabat pemerintahan? Minimal sebagai bahan tambahan kajian, bukankah semua urusan pengubahan data calon TKI itu bukan sekadar sulapan? Semuanya juga berhubungan langsung dengan berbagai bagian dari struktur pemerintahan, dari struktur terkecil RT hingga Keimigrasian yang menurut UU adalah hal ihwal lalu lintas orang yang masuk atau keluar wilayah Indonesia.

[caption caption="Sumber: antarafoto.com"]

antara-foto-dot-comm-5719ee55377b611b146550e7.jpg
antara-foto-dot-comm-5719ee55377b611b146550e7.jpg
[/caption]Sebenarnya tentang urusan pendataan penduduk, seperti telah kita ketahui bahwa pemerintah telah mengesahkan Undang-undang tentang Administrasi Kependudukan yakni Undang-undang Nomor 24 Tahun 2013. Dalam UU tersebut ada berbagai poin yang dibagi dalam beberapa pasal. Dan Pasal 94 menyebutkan bahwa setiap orang yang memerintahkan atau memfasilitasi, memanipulasi data kependudukan atau elemen data penduduk. Bagi yang melanggar ketentuan tersebut sesuai dengan pasal 77 dapat pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun atau denda paling banyak Rp 75.000.000 (tujuh puluh lima juta rupiah). Mari kita garis bawahi kata 'memfasilitasi manipulasi data kependudukan'. Bukankah fasilitas tersebut hanya dimiliki dan bisa diberikan oleh orang-orang yang berada dalam bagian dari struktur pemerintahan? Catat.

Menurut Didik Eko Pujianto dalam tulisannya, secara sepintas praktik pengubahan identitas ini hanya soal TKI bisa berangkat atau tidak berangkat bekerja di luar negeri saja. Namun, masalah sebenarnya tidak bisa dilihat atau dinilai dengan sepintas saja. Sebab sudah menjadi rahasia umum, bukan hanya calon TKI yang berkepentingan dalam hal ini, tapi juga berbagai pihak yang meraup keuntungan: para calo, PJTKI dan oknum dalam birokrasi yang mendapat keuntungan dari PJTKI.

Perbaikan Sistem yang Ambivalen
Seiring dengan penerapan standar pengamanan dokumen perjalanan secara internasional yang diatur oleh International Civil Aviation Organization (ICAO), Indonesia juga telah melakukan perbaikan dengan penerapan Sistem Informasi Manajemen Keimigrasian (SIMKIM) untuk penerbitan paspor. Sesuai UU No 6/2011 tentang Keimigrasian, SIMKIM telah dilaksanakan secara nasional di dalam negeri dan hingga saat ini di 14 Perwakilan RI di luar negeri. Bagi mereka yang memiliki data ganda akan menghadapi masalah perdata dan bahkan bisa konsekuensi pidana. Sebagai pekerja, TKI memiliki kontrak yang tidak hanya sebagai dasar hubungan kerja, tetapi juga merupakan rujukan untuk mendapatkan izin/visa kerja, membuka account bank, daftar asuransi, daftar jaminan sosial.

Upaya pemerintah untuk memperbaiki sistem dan menyesuaikan data dokumen perjalanan dengan standar internasional patut didukung dan diterima oleh segenap WNI. Tetapi hal ini semestinya dimulai terlebih dahulu dari dalam negeri sendiri. Halo, apa kabar KTP Biometric dan sistim pendataan penduduk di Indonesia?

Tentang SIMKIM untuk penerbitan paspor di luar negeri. Seperti diketahui bersama, perpanjangan paspor di luar negeri dengan pembetulan data identitas tentunya akan berhadapan dengan imigrasi setempat ketika pemiliknya memperpanjang izin tinggal/visanya. Pada umumnya, imigrasi setempat mempertanyakan pengubahan data paspor dan bahkan untuk beberapa kasus menuntut pemiliknya dengan tuduhan pemalsuan dokumen. Dalam hal ini, kecurigaan, penolakan dan tuntutan otoritas negara setempat dapat dilihat sebagai standar penegakan hukum yang juga dilakukan oleh otoritas berwenang di Indonesia. Di sinilah terlihat adanya ambivalensi, di satu sisi pemerintah tahu pasti resiko upaya memperbaiki sistem yang mereka lakukan tetapi di sisi lain pemerintah tidak mau tahu apalagi mengambil resiko. Dan jadilah TKI sebagai kelinci percobaan dan korban.

Istilah 'data ganda' dijadikan bukti atau upaya unjuk diri bahwa peraturan dan sistem pendataan oleh pemerintah (dalam hal ini keimigrasian) sudah semakin akurat. Sebagai perwakilan dari pemerintah tentu saja penulis tidak dilarang untuk menunjukkan hal tersebut. Malah sudah sepatutnya karena Didik, sebagai penulis, memang digaji untuk itu.

Tetapi ketika penulis menyebutkan adanya perbedaan sudut pandang dan kepentingan yang membuat sebagian pemilik data ganda "kekeuh" bahwa dia sebagai korban dari orang atau lembaga yang memberangkatkannya. Dan sebagai korban, tidak mau menerima konsekuensi dan meminta pihak lain bertanggung jawab meskipun sulit dimengerti pengubahan identitas tidak disadari oleh pemiliknya. Dari berbagai cerita, diketahui bahwa pada umumnya mereka menyadari pengubahan data dirinya, bahkan berusaha menghafalkan nama atau tempat tanggal lahir palsunya. Lagi-lagi saya ingin bertanya  Didik Eko Pujianto ini mendapatkan cerita dari mana? Dari lembaga yang memberangkatkan TKI atau PJTKI ya? Pantas saja penulis berupaya membuktikan kenyataan bahwa memang sudut pandang dan kepentingan penulis membuatnya harus menghapus fakta bahwa memang benar ada lembaga yang memberangkatkan TKI yang berkepentingan dengan semua pengubahan data TKI. What's the fuck, Dude? Apanya yang masih sulit dimengerti dalam hal ini, Pak Didik yang terhormat?

Perlindungan Itu Bukan Sebatas Kata
Disebutkan pula, "Terlepas dari penyebab dan tingkat kesalahannya, pemilik data ganda perlu diberikan perlindungan secara proporsional. Perwakilan juga dapat menyampaikan penjelasan kepada pihak terkait setempat bahwa perbedaan data paspor bukan pemalsuan, tetapi merupakan pembetulan. Dipahami bahwa upaya tersebut tidak mudah karena munculnya data ganda ini mungkin sulit dimengerti oleh otoritas negara lain."

Terbacanya kalimat yang ditulis Didik memang manis. Tetapi sayangnya hanya sebatas kata. Upaya perlindungan terhadap WNI (baik di dalam pun di luar negeri) sebagai bagian dari kewajiban negara memang tidak mudah. Berat. Melelahkan. Sebagai wong cilik, sebagai WNI yang menjadi TKI saya mengerti. Meski saya hanya bisa mengerti dalam ketidak mengertian saya tentunya. Kok iso yo, jere melindungi tapi mung omongane wae? Njur piye jal?

Sebagai TKI di Hong Kong, yang berhubungan langsung dengan hukum dan peraturan Negeri Bauhinia, melalui tulisan ini saya hanya ingin sedikit memberi tanggapan dan masukan kepada pemerintah. Sebaiknya sebelum menerapkan atau menggunakan peraturan Indonesia kepada TKI yang notabene berada di negeri orang, ketahui dan pahami dulu peraturan yang berlaku di negeri penempatan TKI. Jika benar-benar ingin melindungi TKI di luar negeri, sebelum menerapkan peraturan baru atau peraturan hasil revisi dari peraturan-peraturan sebelumnya, maka pemerintah seharusnya melakukan sosialisasi terlebih dulu baik kepada TKI pun pemerintah di negara penempatan dengan membuat MoA juga. Jangan sampai pada akhirnya peraturan yang dimaksudkan sebagai upaya perbaikan sistem malah menjadi masalah baru yang berbuah dikriminalisasi dan deportasi untuk TKI. Bukankah kalau sudah begitu malah pemerintah yang repot dan menjadi sibuk cuci tangan dan ngeles? Ya, kalau para pejabat pemerintahan seperti Didik Eko Pujianto semua, pandai melempar tulisan kemudian sembunyi kepentingan, kalau tidak? Auk ah, gelap! 

 

HONG KONG, 21-22 APRIL 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun