Ketika seorang tetangga bertanya kepada ibuku, ” Mana yang lebih enak, anjing berkulit hitam atau putih?”, ibuku sangat tersinggung dan geram bukan main. Meski Ia hanya seorang perempuan dusun, istri pegawai negeri miskin yang pergi merantau meninggalkan kampungnya di Padang Bolak Tapanuli Selatan menuju negeri lain yang adat istiadatnya jauh berbeda, ibuku toh memiliki kebanggaan terhadap diri dan asal usulnya. Ia bangga menjadi seorang Batak dan muslim. Pertanyaan tersebut tidak hanya melecehkan dirinya tapi juga kakek dan neneknya yang telah berhaji ke Mekkah yang kala itu (tahun 1970-an) hanya bisa diwujudkan oleh segelintir muslim.
Aku mencoba memahami mengapa tetanggaku begitu lancang bertanya. Sengaja untuk menyakiti ibuku yang minoritas secara etnis atau karena ingin tahu saja? Setelah kupikir-pikir lagi, tetangga kami itu mungkin tidak bermaksud jahat. Dia hanyalah seorang yang terlalu bersemangat, kurang sensitif dan berpengetahuan terbatas tentang etnis lain. Tetangga kami tersebut menganggap semua Batak itu kristen. Seandainya dia tahu bahwa orang Batak yang berasal dari Tapanuli Selatan sebagian besar Muslim (seperti keluargaku) dan yang berasal dari Tapanuli Utara sebagian besar beragama Kristen, dia pasti tidak akan gegabah mempertanyakan kelezatan daging anjing kepada ibuku yang Muslim.
Dalam pergaulan antara mayoritas dan minoritas, ketersinggungan- ketersinggungan macam itu sering terjadi namun selalu ada maaf dan pengertian bila itu terjadi karena ketidaksengajaan atau kekurangtahuan tentang kelompok lain.
Namun ketika video tentang seorang tokoh yang mempertanyakan 'kalau Tuhan itu beranak, terus... itu bidannya siapa?', menjadi viral, aku pun bertanya-tanya, pantaskah seorang yang tahu banyak tentang Islam, tinggi ilmunya dan diidolakan banyak orang berkata begini? Apakah lelucon ini sengaja diungkapkan ketika umat Nabi Isa tengah merayakan kelahiran junjungan mereka? Meskipun berdalih ceramah itu disampaikan di lingkungan terbatas, aku merasa Dia memang tidak peduli jika pun ceramahnya itu dishare orang lain ke ruang publik.
Meskipun ilmu agamaku tidak setinggi dia, tapi aku tahu ada ayat dalam Al Quran yang melarang Muslim menjadikan kepercayaan agama lain sebagai bahan candaan.
" dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan."(QS AL An'am:108).
Aku tak yakin si Habib lupa akan ayat ini. Mau tidak mau, aku pun membandingkan Dia dengan tetangga yang sempat membuat ibuku marah. Seorang tokoh vs seorang biasa. Seorang berilmu vs seorang bodoh. Dari ucapan mereka, aku tidak melihat perbedaan kelasnya.
Seandainya ibuku masih ada, aku akan berkata kepadanya bahwa pertanyaan yang diterimanya waktu itu tidaklah seburuk pertanyaan si Habib ini. “Lihat Ma, yang ini lebih gila lagi!”.
Dan seandainya Tuhan membolehkanku masuk surga (nanti), aku sekali lagi akan meminta padaNYA agar kaplingan rumahku di sana jauh dari tempat si Habib berada. Biarlah si Habib dapat kaplingan rumah yang lebih besar dan megah, mana tahu... (karena dia telah berhasil membuat pemeluk agama lain marah serta terhina). Yang penting aku jauh dan tidak berpapasan dengannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H