Sebagai orang yang tinggal di gang sempit pinggiran jakarta, saya tak sampai hati mengkampanyekan menjaga jarak sebagaimana dihimbau pemerintah. Jika saya analogikan, himbauan menjaga jarak itu seperti kamu menyuruh orang untuk mengkonsumsi makanan bergizi tapi kamu sendiri sebenarnya sadar bahwa tidak semua orang punya uang untuk membeli bahan makanannya. Dalam mengatasi penyebaran Covid-19, bagi saya pesan itu sangat bias kelas dan tidak menyentuh sampai akar rumput.
Bagi mereka yang mapan, dengan mudahnya bisa menjaga jarak dengan berdiam diri di rumah. Tinggal membeli bekal logistik yang  cukup untuk persediaan beberapa hari ke depan. Kemudian rebahan, membaca buku, berselancar di internet, menonton film atau sekedar bercanda bersama anggota keluarga. Pada senja hari, sukur-sukur bisa buat konser mini dengan bernyanyi di balkon apartemen bersama penghuni lainnya. Model-model di eropa, asik bukan?
Sementara jika melihat data, 58,22 persen dari angkatan kerja kita tahun 2018 adalah pekerja informal. Mereka ini menjadi kelompok yang paling berpotensi mengalami kegamangan dengan himbauan menjaga jarak, physical distancing, work from home (WFH), atau apapun itu.Â
Angka tersebut belum termasuk pekerja formal yang sampai saat ini masih dipaksa masuk kerja oleh perusahaannya akibat ketiadaan dasar hukum yang jelas dari himbauan di atas. Kalaupun WFH, harus siap menerima pemotongan uang hadir, seperti yang disampaikan kawan tadi malam.
Kembali ke pekerja informal, yang menggantungkan hidupnya dari pemasukan harian. Dalam proses interaksi ekonomi yang mereka lakukan, setidaknya membutuhkan kehadiran orang lain di dalamnya. Jika tanpa kehadiran orang lain sebagai pembeli, misalnya, kemungkinan terburuk ialah dagangan tidak laku, jasa tidak terpakai, gerobak dagang harus didorong pulang dan itu artinya tidak ada beras untuk hari esok. Menjaga jarak atau berdiam diri di rumah seperti yang dihimbau pemerintah, justru menjadi pisau tajam yang siap memotong nadi perekonomian mereka sendiri.
Ini adalah realita yang saya lihat dengan mata kepala sendiri. Tetangga sebelah rumah adalah seorang bapak dengan 5 orang anak. Penjual mainan yang  setiap harinya hidup dari satu kerumunan ke kerumunan lainnya. Entah itu kerumunan di sekolahan atau acara hajatan. Sudah beberapa hari ia tidak mengayuh sepedanya dikarenakan hilangnya kerumunan itu. Siapa yang mau beli? Sekolah sudah diliburkan, pusat kerumunan dibubarkan.Â
Bagaimana dengan istrinya yang seorang ART di perumahan sebelah, jika wabah semakin genting, tidak menutup kemungkinan akan dirumahkan. Beberapa kasus merumahkan ART di beberapa tempat sudah dilakukan. Kita tahu, pekerja informal seperti mereka tidak memiiki perlindungan hukum yang pasti. Kapan pun harus siap dirumahkan.
Dengan kondisi serba sulit ini, bertahan di Ibu Kota dipenuhi dengan ketidakpastian. Rupiah yang menurun berkelindan dengan naiknya harga bahan pokok makin menambah kepapaan. Pulang ke kampung halaman pun menjadi pertimbangan.Â
Seorang kawan mengatakan, pilihan tersebut baru saja dilontarkan  oleh ibunya. Dengan demikian semakin memperlebar masalah, karena berpotensi meningkatkan pergerakan manusia antar daerah. Dengan begitu, penyebaran Covid-19 akan semakin meluas.Â
Mau menyalahkan mereka? Bukankah pada setiap kondisi serba sulit, manusia cenderung berfikir berdasarkan naluri? Urusan perut adalah hal pertama yang akan diperjuangkan. Tanpa perlindungan terhadap aspek itu, kita hanya akan menjadi penonton dari statistik penyebaran Covid-19 yang semakin meningkat.
Itu baru dua soal. Belum lagi jika melihat kondisi pemukiman padat penduduk di Jakarta dan sekitarnya. Bagaimana pemerintah mengukur dan mengawasi efektifitas himbauan menjaga jarak pada pemukiman padat penduduk? Berdiam seharian di dalam rumah bisa jadi sangat tidak mengenakkan. Kondisi rumah yang tidak memiliki sirkulasi udara, panas dan sumpek tentu sangat berbeda dengan kondisi di perumahan dan apartemen.Â