Mohon tunggu...
Mustaqim Latu
Mustaqim Latu Mohon Tunggu... Freelancer - @mustaqimlatu

Gam zeh Ya'avor ~ Ini juga akan berlalu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Penyakit Mengejek

30 April 2019   08:41 Diperbarui: 9 Mei 2019   11:15 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Modernisasi dalam segala lini kehidupan tidak selamanya memberikan dampak positif. Ia telah lama dikritisi sebagai penyebab menurunnya kualitas hidup umat manusia. Bukan tanpa alasan. Modernisasi yang salah satu pilarnya menjadikan kecepatan sebagi ukuran kemajuan nyatanya justru menghadirkan persoalan baru. Hal utama yang menjadi perhatian yaitu bagaimana keasyikan berpacu dengan kecepatan telah menghilangkan kesadaran terhadap nilai-nilai tradisional. Misalnya, pesan yang disampaikan Ebiet G. Ade, "Tengoklah ke dalam sebelum bicara, singkirkan debu yang masih melekat" semakin jauh panggang daripada api.

Tidak sulit untuk mendiagnosis fenomena tersebut. Silahkan saudara lihat pada riuh rendah percakapan di media sosial belakangan ini. Media sosial yang awalnya dirancang untuk membangun konektifitas dalam bersosialisasi, telah dikooptasi menjadi ruang untuk saling ejek dan sindir karena perbedaan cara pandang. Sikap saling ejek tersebut berkelindan dengan pemujaan terhadap kecepatan dalam interaksi di dunia maya. Menjadi soal karena mengejek bukan saja menjadi bagian dari keterbelakangan berfikir serta ketiadaan daya kritis tetapi juga menular.

Mengejek itu menular, ia menjadi penyakit yang siap menggerogoti tatanan sosial yang telah dibangun. Memang baru sebatas hipotesis namun secara faktual bisa kita saksikan bersama penyebarannya selama periode kampanye Pemilihan Presiden hingga detik ini. Penyebarannya tidak terlepas dari pola komunikasi para elit politik di media sosial yang kemudian ditiru dan disebarkan oleh pengikutnya secara sporadis.

Belum lama ini seorang kawan membagikan screenshoot sebuah kode dalam bahasa pemprograman yang saya yakin ia sendiri tidak mengerti dengan apa yang ia bagikan. Dilengkapi dengan sedikit caption mengejek, screenshot tersebut akhirnya sampai juga di beranda saya, dengan selamat. Tentu tidak ada perbuatan tanpa sebab. Hal tersebut dilakukan sebagai reaksi terhadap pesan mengejek dari kelompok lain yang berseberangan. Akhirnya sebagai pengguna ruang publik, setiap hari kita disuguhi dua kelompok yang terjebak dalam lingkaran sikap saling mengejek tanpa memahami narasi ejekan yang sedang mereka mainkan. Sialnya selalu saja ada bahan ejek yang diproduksi setiap hari. Nestapa macam apa ini ?

Bahkan, grup whatsapp keluarga tidak terhindar dari penyebaran penyakit ini. Ruang yang seharusnya menjadi tempat saling kirim doa, bertanya kabar dan canda tawa kini tidak lagi steril. Seorang teman pernah menceritakan bagaimana akhirnya ia meninggalkan grup whatsapp keluarga karena lelah meladeni penyebaran penyakit mengejek yang dilakukan oleh mertuanya sendiri. Dari grup whatsapp keluarga, penyakit tersebut kemudian menjalar ke dalam percakapan sehari-hari, di meja makan dan ruang keluarga. Jika keluarga sebagai pranata sosial yang utama telah terinfeksi, akhirnya yang kita lihat tidak lain adalah upaya menuju kebangkrutan sosial yang lebih luas. 

Dari sinilah sikap saling curiga dan eksklusif muncul. Bukan lagi melihat "kita" sebagai warga negara melainkan tepolarisasi menjadi "kita" sebagai kelompok politik.

Layaknya penyakit, mengejek harus dicegah untuk menghindari epidemi yang lebih luas. Namun pencegahannya tidak semudah yang dikira. Jika yang menular itu penyakit seperti flu dan batuk, masih mudah disembuhkan karena ada dokter yang mengobati. Jika dokter dirasa belum diperlukan, kita bisa melakukan penyembuhan secara mandiri. Misalnya dengan mengupayakan istirahat yang cukup atau mencampur jeruk nipis dengan kecap, resep dari orang tua dulu. Namun bagaimana dengan mengejek, apakah memang perlu disembuhkan atau dianggap sebagai beban sosial yang harus ditinggalkan. Karena yang sering kita lihat penderitanya justru menikmati dan terlihat gembira, atau jangan-jangan memang menimbulkan efek samping yaitu fantasi dan halusinasi.

Paling memungkinkan, sebagai orang terdekat kita hanya bisa memperingati. Itupun yang memperingati lebih sering malah kena ejek atau setidaknya siap-siap dituduh sebagai kelompok yang berseberangan. Bagaimana rumit dan kompleksnya menghadapi orang yang menderita penyakit mengejek ini. Punya ide ?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun