Mohon tunggu...
Mustaqim Latu
Mustaqim Latu Mohon Tunggu... Freelancer - @mustaqimlatu

Gam zeh Ya'avor ~ Ini juga akan berlalu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Nissa Sabyan: Mencari Toleransi Kita

27 Maret 2019   07:17 Diperbarui: 27 Maret 2019   09:28 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bulan Ramadhan lalu saya pernah membuat catatan kecil mengenai Nissa Sabyan. Waktu itu gadis cilik nan ayu sedang meneguk manisnya puncak popularitas. Salah satu yang berperan dalam menderek ketenarannya yaitu saat ia meng-cover lagu Deen Assalam. 

Lagu yang aslinya dibawakan oleh Sulaiman Al Mughani tersebut hingga kini jumlah penonton di youtube telah melebihi 200 juta orang. Capaian luar biasa bagi Nissa bersama group musik gambusnya.

Pertanyaannya, kenapa Nissa Sabyan bersama Deen Assalam-nya bisa sedemikian meroket ?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut Saudara bisa berpendapat bermacam-macam, tergantung postulat yang akan digunakan. Apakah itu karena faktor sosiologis misalnya karena terbawa suasana Bulan Ramadhan, atau murni faktor kalkulasi industri yaitu kematangan produksi, promosi sampai dengan branding, atau yang lain. Silahkan saja berpendapat, namun bagi saya, hal utama yang membuat meledaknya Deen Assalam yaitu kekuatan dari liriknya itu sendiri.

Kehadiran Deen Assalam Saya ibaratkan bagai hujan di negeri yang telah lama diterpa musim kemarau. Begitu menyejukkan. Tidak hanya mendobrak struktur lirik lagu di Indonesia melainkan membawa semangat kebhinekaan yang saat ini entah sedang di mana. 

Jika belakangan pasar musik dikuasai oleh lagu-lagu dengan lirik picisan maka tidak dengan Deen Assalam. Deen Assalam muncul dengan membawa pesan toleransi, welas asih, kesetaraan dan perdamaian yang universal. Pesan tersebut merupakan bagian dari konstruksi nilai-nilai luhur yang saat ini sedang kita rindukan.

Penerimaan yang begitu luas terhadap Deen Assalam merupakan justifikasi betapa masyarakat kita merindukan kehidupan sosial yang mengedepankan kebersamaan dan keramahan dalam keberagaman. 

Satu kemewahan dalam interaksi sosial dewasa ini. Perbedaan tafsir mengenai kebenaran agama dan politik telah memperuncing hubungan kita menuju jurang perbedaan.  

Aksi teror oleh kelompok ekstrimis di sebuah gereja di Surabaya dan terakhir di Sibolga menjelaskan bahwa ancaman terhadap kebhinekaan senantiasa mengintai. Belum lagi penolakan-penolakan yang dilakukan oleh kelompok masyarakat dengan dalih perbedaan politik. Akumulasi sikap mau benar sendiri dan menghindari dialog seperti itu tentu saja jauh dari maksud para founding father memperjuangkan kemerdekaan

Tidak hanya membawa pesan-pesan universal. Deen Assalam lebih jauh mengingatkan kita kepada salah satu ritus yang selama ini kita negasikan, yaitu salam. Salam sejauh ini masih dipandang sebagai ibadah yang kecil nilainya. Meski magnitude-nya tidak sebesar naik haji dan umroh yang kerap kali diseremonialkan namun secara substansi dan filosofi salam menjelaskan secara utuh tujuan kita beragama yaitu memberikan keselamatan dan kesejahteraan bagi alam semesta.

Secara literal salam berarti damai. Salam adalah proklamasi luhur kepada sesama untuk saling menjaga dan melindungi, baik dari ancaman fisik, hati maupun lisan kita. Salam mengedepankan laku damai dan saling menjaga yang tidak dibatasi oleh faktor keyakinan, suku, ras dan keturunan.

Dalam sholat, salam merupakan gerakan penutup yang dilakukan dengan cara menengok ke kanan lalu ke kiri sambil mengucapkan "assalamu 'alaikum warahmatullahi wabaraktuh", yang artinya semoga keselamatan dan kerahmatan menyertaimu. 

Simbolisasinya mengandung pesan bahwa konektifitas yang baru saja kita bangun dengan Tuhan akan menjadi tiada bermakna jika tidak diikuti dengan perilaku yang harmonis kepada alam semesta. Bisa dibayangkan minimal 5 kali sehari kita memproklamirkan salam, tapi kenapa nilai-nilainya belum kita lihat terinternalisasi dalam kehidupan bermasyarakat ? mari renungkan.

Maka dengan segala kemuliaanya, upaya mengakualisasikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya adalah sebuah keniscayaan. Terlebih bangsa ini akan memasuki hari-hari paling menentukan terkait suksesi kekuasaan yang berpotensi menggoncang integrasi bangsa. 

Pemaknaannya sekaligus mengandung harapan, bahwa jika kita tidak mampu kembali kepada Tuhan dengan amal yang selamat, minimal kita berharap bisa kembali dengan hati yang selamat. Salam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun