Mohon tunggu...
Anton Punkq
Anton Punkq Mohon Tunggu... -

translator, peminat buku, dan suka menulis, tinggal di Priyang Tangsel...saat ini bekerja di PT. IISA VISIWASKITA BSD City Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Semoga Bangsa Ini Benar-benar Menjadi Bangsa Kecoak!

1 Oktober 2015   05:01 Diperbarui: 1 Oktober 2015   06:43 93
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Suasana kamar kos ternyata mengandung hikmah tersendiri bagiku. Hikmah itu salah satunya berupa “paket kecoak harian” yang secara rutin kuterima dari-Nya. Saya katakan paket itu dari “Nya”, bukan dengan maksud hati ingin menunjukkan atau menonjolkan ketebalan iman, melainkan karena tidak tahu dari siapa lagi harus kusebutkan serangga “paradoksal” paketan itu berasal.

Seandainya benar semua itu dari-Nya, tentu Beliau-Nya itu sedang sangat memperhatikanku yang tidak kalah paradoksal-nya. Bagaimanapun ke-paradoksal-an diriku dan kecoak hanya beda arah saja kok! Keparadoksalanku bersifat internal dan keparadoksalan beliau-beliaunya bersifat eksternal. Paradoksal eksternal karena punya tampilan luar yang selalu “mengkilat” tanpa pernah tersentuh cairan “pembersih”; sedangkan aku paradoksal internal karena “tak pernah berhasil bersih (apalagi mengkilat)” meskipun selalu disiram ajaran yang (katanya) amat rohaniah nan bening. 

Jangan percaya bila rangkaian pernyataan di atas yang terdengar sangat ‘bijak’ itu merupakan ungkapan spontan. Pernyataan tersebut sebenarnya lebih sebagai ungkap simpulan dari satu kisah panjang pergulatan dan pertentangan. Awalnya, perhatian dari Beliau (-Nya) itu kuterima dengan sangat amat “negatip” plus jijik hingga mual. Reaksi spontanku adalah menolak mentah-mentah dengan cara mengusir atau bahkan ‘menghabisi’ mereka yang dipaketkan oleh-Nya. Tiba-tiba saja aku merasakan kemuakan dan kejengkelan sebagaimana yang mungkin dialami oleh sebagian bangsa Eropa non-Jerman ketika mereka harus menerima para pengungsi dari seberang lautan (Meskipun dengan alasan yang jauh berbeda tentunya). 

Kamar yang sudah sempit lagi pengap ini masih (harus) “dijejali” dengan kecoak. Atau mungkin hal sebaliknya-lah yang benar. Mereka itu datang atau mengungsi karena kamar –ku yang sempit dan pengap ini? Bila memang demikian halnya, berarti inilah alasan utama pembeda antara alasan kecoak dan alasan pengungsi panik di atas. Kecoak merindukan tempat yang sempit dan pengap, sedangkan pengungsi memimpikan negara yang menjanjikan ke-leluasa-an ruang hidup dan kemakmuran atau ‘kesegaran’. 

Berbekal asumsi “keras” di atas, aku mulai mencanangkan gerakan revolusi dalam kamar. Dengan beragam trik tatanan dan manipulasi fungsi benda seturut kecerdasan spasial dan kinestetik-ku yang ‘pas-pas’ an, alhasil kamar jadi terasa lebih lengang dan jauh berkurang tingkat kepengapannya. 

Anehnya, serangga paling paradoksal tetap tidak berkurang populasinya. Aku mulai merasa cemas, bukan disebabkan oleh fakta populasi kecoak yang stabil melainkan karena runtuhnya asumsi ‘indah’ yang kubangun dengan susah-payah. Apa sebenarnya motif sejati dari serangga paling paradoksal tersebut? 

Semoga bukan karena perubahan aroma keringat badan(BB)-ku selama di Tangsel. Bila sungguh demikian, tentunya akan sangat mengecewakan dan melecehkan wanita yang pernah memuji aroma khas keringat badan wadag ini. Atau bila semuanya sama-sama digeneralisasikan secara paling radikal, maka kesimpulannya kurang lebih akan menjadi sebagai berikut: “wanita dan kecoak memiliki kesamaan preferensi terkait jenis aroma bebauan.” 

Hipotesis aneh dari nalar kecerdasan jamakku ini kuyakin tidak akan dianggap sebagai hal yang terlampau serius oleh para produsen minyak wangi di seantero jagad. Apa kata dunia, bila setiap pengguna minyak wangi harus ber-selfie ria dengan para kecoak agar dapat lebih meyakinkan ke-pede-annya. Bila benar terjadi demikian, tentu akan terjadi perubahan besar pada perilaku para kecoak. Mereka jadi kian arogan, karena manusia mulai memperlakukannya sebagai jimat (fethis) pengasihan. Kaum pria mulai tidak segan (bahkan bangga) bila dapat mengantongi banyak kecoak di sakunya. 

Karena tren di atas, keampuhan atau keangkeran kecoak jadi jauh melampaui akik yang sudah semakin pudar bersama datangnya inflasi. Keampuhan serangga paradoksal ini terbukti kebal inflasi dan tidak terpengaruh oleh kenaikan harga BBM, bahkan kian tinggi inflasi kian melonjak nilai jimat kecoak. Hal ini disebabkan oleh faktor minyak wangi yang termasuk barang mewah. Kian mahal kian jadi incaran.

Keangkuhan kecoak kian menjadi, anehnya kian arogan kecoak kian cerdas mereka. Hal ini pernah kubuktikan secara tidak sengaja. Ketidaksengajaan yang berpangkal akibat dari kekesalan dan kegagalanku mengusir mereka dari kamar. Sepulang dari kantor IISA di sore hari, secara tak sengaja di gelas kopi yang kubiarkan di ruang cuci (sekaligus kamar mandi) kudapati 3 ekor kecoak mati di dasar gelas berisi ampas kopi. Kubuang mayat mereka di lubang aliran air, lalu kubersihkan gelas. Saat itu, terbetik gagasan di kepala untuk bereksperimen. Selama 12 hari berturut-turut, kuulangi perilaku-ku meninggalkan ampas kopi di pagi hari dan membersihkannya di sore hari. Selama enam hari pertama, secara berturut-turut kudapati 2 -3 mayat mereka di dasar ampas kopi dalam gelas. Anehnya, setelah hari ke-7 hingga ke-12, secara berturut-turut pula aku gagal menjumpai satu mayat serangga tersebut; padahal populasi keliaran mereka masih tetap stabil dan tak ada perubahan lingkungan sekitar yang kupandang layak dianggap sebagai variable eksternal. Merek kopi-pun tetap sama, Kapal Api full black. 

Dari eksperimen tersebut di atas saya berkesimpulan bahwa kecoa ternyata punya kecerdasan yang tidak bisa dibilang remeh. Mereka dapat belajar dari pengalaman naas rekan-rekannya. Kesimpulan dari eksperimen tersebut saya gunakan sebagai bukti keunggulan kecerdasan jamak dari kecerdasan tradisional. Alur kecerdasan tradisional adalah sebagai berikut:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun