Mohon tunggu...
Anton Punkq
Anton Punkq Mohon Tunggu... -

translator, peminat buku, dan suka menulis, tinggal di Priyang Tangsel...saat ini bekerja di PT. IISA VISIWASKITA BSD City Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kecerdasan Jamak, Buncahan Cahaya (-Nya ) yang Terperangkap dalam Setiap Raga-Jiwa

21 September 2015   02:59 Diperbarui: 21 September 2015   03:08 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Makna Spiritual Kolom Kecerdasan Jamak dalam "ID Cards"

Bila dalam artikel sebelumnya (lihat referensi di bawah) saya lebih menonjolkan fungsi praktis kolom kecerdasan jamak pada "ID Cards", maka untuk kesempatan kali ini saya coba paparkan alasan spiritualitas atau transendental-nya.

Negara yang mengaku ber-keTuhanan dan ber-kebhinekaan, tentu akan berupaya keras untuk dapat berkiblat dari tanda-tanda utama -Nya yang hadir secara universal pada setiap makhluk ciptaan.Tanda utama-Nya yang paling "menyolok " dan (anehnya) secara serentak paling "tersembunyi" itu menurut hemat saya paling tepat bila dianalogikan sebagai buncahan cahaya (-Nya) yang terperangkap dan berkelindan dalam setiap raga-jiwa kehidupan ciptaan (-Nya).

Tanda utama tersebut sepakat untuk kita nyatakan sebagai hal yang "menyolok" karena "mawujud" sebagai bentuk potensi atau "kecerdasan" (pikir, rasa, sikap dan laku) yang sangat khas dan karenanya bersifat individual dan beragam. Sifat unik dan keberagaman tersebut sedemikian menyoloknya , sehingga tak ada gagasan/pikiran atau ungkapan verbal yang dapat sepenuhnya mengungkap realitas penghadapan yang semencolok itu. Pengalaman seperti ini akan mudah muncul dan terasa sangat menonjol saat anda berada di tengah kancah bermain anak-anak. Dunia anak yang masih dipenuhi spontanitas dan kejujuran tersebut dapat secara 'langsung' menghadapkan kita pada realitas kehadiran cahaya-Nya. Kita seperti dihadapkan oleh rasa kepenuhan tertentu yang tidak lagi membutuhkan 'gagasan' atau 'teks' penjelas secemerlang apapun.

Selain sifatnya yang "menyolok", tanda utama itu juga secara serentak bersifat sangat "tersembunyi". Tanda itu dapat segera tenggelam ke dasar jurang yang dalam dan berselimutkan kabut gelap sehingga tak mudah untuk dapat dilacak atau ditembus ketika kita mulai menutup hati dan menonjolkan daya kritis pemikiran. Saat dunia pemikiran kritis dan kebenaran mulai dimutlakkan, maka yang akan segera muncul ke permukaan adalah dunia dengan ragam kelemahan atau cacat. Wajah-wajah yang terpisah jauh dari patok gambaran ideal-nya dunia ilusi pemikiran. Alih-alih kepekaan rasa yang hendak kita upayakan dan capai, melainkan kritik dan hasrat akan klaim kebenaran-lah yang ingin kita raih. Dengan demikian, buncahan cahaya akan segera meredup manakala kita mulai kehilangan hasrat atau gairah untuk senantiasa melihat dan mencari potensi atau keunggulan dalam setiap bentuk atau ujud makhkluk ciptaan-Nya.

Saya sengaja memilih kata membuncah atau buncahan alih-alih kata memancar atau pancaran, karena kata dasar buncah mengandung pengandaian masih harus tersedianya campur-tangan atau partisipasi unsur eksternal selain dari daya cahaya itu sendiri. Yang saya maksud unsur eksternal itu mencakup si subyek sendiri , orang lain atau kejadian lain. Setiap peristiwa kelahiran mengandaikan lahirnya cahaya (-Nya) ke dunia (alam badan/wadag). Cahaya, terang atau "spiritualitas" yang terperangkap dan berkelindan dalam raga-jiwa tersebut biasanya (normal-nya) membutuhkan tanggapan dan laku tertentu agar dapat memenuhi syarat terjadinya "buncahan" ( tanggapan dan laku yang memiliki pengaruh positif pada tingkat buncahan). Tingkat buncahan dan keberlindanannya dengan 'raga-jiwa' lebih banyak ditentukan oleh tingkat kualitas dan intensitas keberelasiannya dengan orang atau kejadian di lingkungan terdekat atau bahkan dengan orang-orang atau kejadian yang 'luar-biasa'. Kata 'normal' sebagaimana saya gunakan di atas, merujuk ke rentang tingkat intensitas cahaya yang terperangkap tersebut. Kian tinggi intensitas cahayanya, kian kecil pula tingkat kebutuhan akan tanggapan dan laku positif dari pihak eksternal. Pada tingkat intensitas cahaya yang tertinggi, maka tanggapan dan laku dalam derajat/tingkat yang terkecil sekalipun sudah mampu membangkitkan buncahan yang relatif besar.Hal seperti ini biasa terjadi pada orang-orang yang memiliki bakat luar-biasa. Sebaliknya, tanggapan dan laku pihak eksternal yang memiliki pengaruh 'negatif' pada cahaya, hanya akan menenggelamkan cahaya lebih jauh dari permukaan, sehingga akan kian kecil (kian lama dan sukar) kemungkinan munculnya buncahan cahaya-Nya.

Buncahan cahaya-Nya yang antara lain berupa kecerdasan jamak tersebut, dari sudut pandang tertentu dapat dimaknai sebagai kehendak-Nya yang sudah semestinya direalisasikan sepenuhnya oleh masing-masing dari kita sebagai makhluk ciptaan yang berkiprah di kancah dunia. Semua upaya untuk merealisasikan kehendak-Nya itu tentunya dilakukan secara tekun dan benar terlepas dari masalah 'hasil' yang akan kita dapatkan, sebagaimana para petani yang tetap rajin mengolah sawahnya tanpa harus memikirkan hasil panenan yang berada di luar kemampuannya.

Mungkin analogi yang paling pas untuk buncahan cahaya (-Nya),- adalah perumpamaan tentang talenta yang terdapat dalam kitab suci Perjanjian Baru. Bahasan tentang talenta dalam PB hanya berfokus pada pemanfaatan talenta secara maksimal, dan tidak memaparkan deskripsi tentang sumber dan struktur talenta yang ada pada setiap makhluk. Paparan lebih ditekankan pada makna sejati dari ragam tingkat kesetiaan seorang hamba pada tuannya. Kesetiaan tingkat tertinggi ditunjukkan oleh integritas /totalitas sikap seorang hamba yang senantiasa mau bersyukur dan mengembangkan secara maksimal semua 'berkat' yang diterima dari tuannya.

Sejauh yang saya tahu dalam agama Hindu, gagasan cahaya (Spirit/Eternal Being) dan keterkaitannya dengan kelahiran dan kematian banyak di bahas dalam wejangan Sri Khrisna pada Arjuna yang berjudul Bhagawad Gita (lihat referensi di bawah). Misalnya, wejangan Sri Khrisna yang menyatakan bahwa Cahaya (Spirit) lebih utama dan melampaui masalah lahir, hidup dan mati manusia di dunia. Cahaya (Spirit) itu tidak dilahirkan dan tidak dapat dibinasakan. Cahaya (Spirit) itu kekal, Cahaya (Spirit) yang senantiasa diingat dan dijadikan sebagai satu-satunya tujuan akhir hidup akan tetap diingat dan membuka jalan ke arah pencapaian kemanunggalan dengan kehendak-Nya ketika ajal menjelang hidup manusia , kesadaran akan Cahaya-Nya dalam diri setiap manusia atau makhluk ciptaan akan mengarah ke tujuan akhir kesadaran bahwa semua makhluk hanya merupakan 'alat' bagi-Nya, tidak ada dosa yang tidak terampuni, dsb.

Dalam agama Buddha, paparan paling mendekati penjelasan terkait buncahan Cahaya adalah paparan tentang kesadaran. Kesadaran yang kemunculannya senantiasa bergantung pada kondisi tertentu (Empat Jalan Kebenaran Mulia). Setiap indera memiliki kesadarannya sendiri-sendiri, misalnya, kesadaran mata/penglihatan, kesadaran pendengaran, kesadaran pemikiran, kesadaran kebertubuhan, kesadaran pengecapan, dan kesadaran penciuman. Proses peralihan dari satu eksistensi kesadaran ke eksistensi kesadaran lainnya atau proses pertumbuhan, peningkatan dan perkembangan kesadaran dengan demikian bergantung pada formasi kebertubuhan, perasaan, persepsi dan mental. Dan semua formasi bersifat 'kesementaraan' (transient); sebagai sumber penderitaan; dan terlekati oleh entitas Ego. Mungkin ungkapan bahasa Jawa yang paling mendekati adalah 'urip mung mampir ngombe'. (jangan minum bila tidak ingin menderita…He..he..he). Menurut hemat saya, paparan tentang ragam kesadaran dalam ajaran Buddha sebagai paparan yang paling rinci terkait ragam ciri dan proses formasi keterperangkapan Cahaya dalam raga-jiwa, dan juga paparan yang paling mendekati tema atau konsep kesadaran jamak. Saya kurang tahu pasti, makna gambar khas yang melekat di dahi setiap bhiksu. Bisa jadi gambar itu juga mencerminkan tema kecerdasan jamak atau buncahan Cahaya yang terperangkap dalam raga-jiwa setiap bhiksu. Fungsi kontemporer gambar dahi tersebut kurang lebih setara dengan kolom kecerdasan jamak pada setiap ID Cards (he..he..he..)

Untuk agama Islam, konsep cahaya ini tentunya sudah bukan hal yang asing lagi karena ada banyak nama yang merujuk ke istilah "Nur" (Cahaya ). Namun, sayang sekali sampai saat ini saya belum memiliki sumber yang memadai dan karenanya layak untuk dapat menjelaskan kaitan konsep atau tema Cahaya dengan potensi manusia menurut perspektif agama Islam. Mungkin dalam agama Islam istilah Cahaya lebih ditekankan pada keterkaitannya dengan wujud kesalehan, kesetiaan, keberimanan, dan kepatuhan pada semua aturan yang menjadi kehendak-Nya . Bila benar demikian, maka tema kecerdasan jamak sebagai buncahan Cahaya-Nya yang terperangkap dalam raga-jiwa dapat kian memperpendek upaya jalan kesetiaan dan kesalehan karena tema tersebut memungkinkan kita untuk memahami posisi kelebihan dan kelemahan kita sebagai ciptaan-Nya. Pemahaman seperti ini menjadi hal yang sangat kritis karena dapat mencegah sikap arogan dan memunculkan kesadaran diri pada realitas kecenderungan dan kelekatan manusia pada dosa, serta rangkaian konsekuensinya akhirnya yang mengarah pada sikap toleran pada sesama manusia sebagai tempat atau sumber salah dan dosa yang jauh dari sikap menghakimi. Tidak ada jalan pintas suci dari langit yang ada pergulatan dengan lumpur Dunia dalam tuntunan dan kesadaran akan Cahaya terang-Nya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun