Mohon tunggu...
Anton Punkq
Anton Punkq Mohon Tunggu... -

translator, peminat buku, dan suka menulis, tinggal di Priyang Tangsel...saat ini bekerja di PT. IISA VISIWASKITA BSD City Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kecerdasan Jamak ‘In Action’

17 September 2015   15:19 Diperbarui: 17 September 2015   19:45 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Pertanyaan yang sejalan dengan semangat militan kecerdasan tradisional ini sebenarnya mudah untuk dimentahkan. Kita tinggal menyajikan bukti-bukti empiris kegagalan anak didik yang fatalistis akibat visi orang dewasa yang otoriter dan menuntut kepatuhan mutlak si anak. Bila perlu, dengan tambahan sisipan fakta lain tentang berbagai upaya pemberontakan si anak pada setiap sikap orang tua yang “tak mau tahu” dengan kondisi atau potensi lain yang dimilikinya. Namun masalah utama, menurut hemat saya bukan pada klaim kebenaran seperti ini.

 

Persoalan yang lebih mendasar ,-menurut saya-, adalah ketakutan atau kecemasan orang tua yang berlebihan akan masa depan putera-puterinya. Sikap berlebihan ini menyebabkan orang tua rentan untuk dijadikan obyek provokasi oleh aktor tertentu di dalam lingkungannya. Masalah jadi kian rumit karena sifat ketidaksadaran dari kecemasan tersebut menyebabkan kita tidak lagi mampu membedakan antara menjadi subyek dan obyek. Anak yang sebenarnya subyek dijadikan obyek, dan dirinya sendiri yang sebenarnya sedang diperlakukan sebagai obyek oleh aktor tertentu dalam lingkungannya (mungkin bisa dari pendidik, rekan, pengetahuan populer, dll.) kini merasa menjadi subyek.

 

Dari sisi lain, pertanyaan tersebut dapat juga digunakan untuk memperluas perspektif kita tentang matematika. Bukankan matematika itu sesuatu yang tidak bersifat stabil apalagi sempit, melainkan semacam disiplin yang dinamis dan cukup luas? Dengan asumsi seperti ini,-yang menurut saya lebih strategis dan efektif-, kita dapat kemukakan bahwa ada banyak strategi penguasaan yang diperlukan untuk dapat benar-benar menguasai aspek tertentu di bidang matematika. Salah satunya adalah dengan cara terlebih dahulu menemukan dan mengembangkan potensi kecerdasan secara keseluruhan, baru kemudian menentukan kebijakan-kebijakan yang lebih kontekstual dan berkeadilan. Pendekatan keseluruhan potensi diperlukan, karena masing-masing bagian dalam wilayah kemampuan matematika menuntut dominasi kecerdasan tertentu. Dengan cara ini, kita secara langsung menyadarkan orang tua akan arti realitas matematika yang dinamis dan luas; dan secara tidak langsung mengajak mereka untuk membuka visi yang lebih luas. Matematika bukan sekedar berbentuk sebagai ‘mie-instan’ melainkan dapat juga berbentuk sebagai sajian ‘kuliner prasmanan’.

 

Fenomena ketakutan dan kecemasan seperti tersebut di atas tidak hanya berlaku pada orang tua dengan anaknya, bahkan juga diidap oleh mereka yang berprofesi sebagai praktisi pengetahuan. Saya pilih contoh kasus pelabelan kata ‘sosial’ di berbagai bidang ilmu (dari salah satu kritik yang dikemukakan oleh Latour), seperti di bidang ilmu sosiologi pengetahuan, manajemen sosial, politik sosial, teologi sosial, hukum sosial dan psikologi sosial. Dalam hal ini, kata sosial-pun diperlakukan sebagai suatu tetapan yang stabil dan bersifat final. Sebagai kata benda lain yang akan menuntaskan persoalan yang tak dapat diatasi oleh bidang ilmu bersangkutan. Apa yang dapat kita harapkan atau kita ketahui dengan meletakkan persoalan disiplin tertentu ke dalam ‘konteks yang lebih luas’? Sains tidak harus digantikan dengan ‘kerangka sosial’, yang terbentuk oleh daya sosial tertentu (social forces) dan juga oleh obyektivitas sosial-nya sendiri, karena obyek sains itu pada dirinya sendiri sudah menyisihkan setiap konteks terberi (given) melalui laboratorium riset unsur asing yang diasosiasikan secara padu dan dengan cara yang unpredictable. Agama tidak harus ‘dijelaskan’ menurut ragam daya/kekuatan sosial, karena pada dasar tetapan (definisi)-nya sendiri agama memiliki keterkaitan dengan entitas khas-nya yang bukan merupakan bagian dari tatanan sosial. Sejak jaman Antigone, setiap orang tahu apa artinya terlibat dalam arus tatanan para dewa yang tak dapat direduksikan menjadi tatanan politis sebagaimana yang coba diterapkan oleh Creon. Organisasi tidak harus dimasukkan ke dalam ‘kerangka sosial yang lebih luas’ karena organisasi itu sendiri sudah memberikan makna yang paling praktis pada arti keterlemparan-nya ke dalam rangkaian kejadian ‘yang lebih luas’. Mungkin sama hampanya dengan upaya penyingkapan makna ‘konstruksi sosial’ sejati di balik omongan dangkal para politisi, karena tanpa melalui omongan dangkal seperti itu maka sebagian besar dari apa yang kita pahami sebagai bagian atau konstituen dari kelompok tertentu akan terabaikan/terlampaui. Tanpa olok-olok yang saling bertentangan seperti itu, maka pihak yang saling bertikai tak akan dapat menentukan siapa lawan siapa kawan.

 

Hal yang serupa berlaku di semua ranah pengetahuan. Bila kedua ranah tersebut demikian berbeda (misal sains dan sosial), bagaimana mungkin keduanya kemudian meng-klaim sebutan ‘sains sosial’ dan serentak pula menggunakan label ‘sosiologi’ yang sama? Bila ditinjau dari pandangan alternatif, makna ‘sosial’ bukan berarti perekat yang sama yang dapat mengoreksi berbagai hal, termasuk persoalan yang tak dapat dikoreksi oleh perekat lainnya, melainkan (‘sosial’ itu adalah) apa yang direkatkan menjadi semacam paduan oleh banyak jenis konektor lain. Sedangkan para ahli sosiologi pada umumnya (atau ahli ekonomi sosial, ahli linguis sosial, ahli psikologi sosial, dsb.) memandang agregat sosial sebagai yang terberi (given) dan bersifat ‘stabil’ yang diharapkan dapat menjadi semacam ‘pencerah’ pada ragam aspek residu-nya ilmu ekonomi, linguistik, psikologi, manajemen, dst. Kembali ke pandangan para sarjana dari aliran alternatif, aggregat sosial lebih merupakan apa yang seharusnya dijelaskan oleh asosiasi khusus itu sendiri. Asosiasi yang merupakan produk dari ilmu ekonomi, linguistik, psikologi, hukum, manajemen, dst., itu sendiri alih-alih sebaliknya. Dalam ranah politik, kita pernah diingatkan mengenai keterkaitan ini melalui ucapan pedas yang pernah dilontarkan oleh Margareth Thatcher (meskipun dalam konteks yang berbeda) : “There is not such a thing as a society.”

 

Pertanyaan terkait kemampuan matematika dalam kasus pendamping anak di TK Regina Pacis tersebut di atas, menurut saya paralel dengan persoalan makna sosial di bidang ilmu pengetahuan. Keduanya diasumsikan sebagai hal yang stabil dan final sebagai produk dari kecemasan dan ketakutan. Padahal, realitas sebenarnya mungkin tak ada yang namanya ilmu matematika atau ilmu sosial yang stabil dan final. Keduanya menuntut translasi dari para aktor-nya sendiri-sendiri. Dari sudut ini pula-lah saya mengasumsikan kesejajaran antara kecerdasan jamak dan teori black-box-nya Latour, yang saya sebut sebagai “Kecerdasan Jamak in Action”. Ragam potensi yang saling bertaut dengan ragam obyek melalui translasi dan aliansi black-box. Terima kasih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun