Mohon tunggu...
Y ANISTYOWATIE
Y ANISTYOWATIE Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Berusaha menemukan solusi permasalahan bangsa, blog saya: www.anisjasmerah.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Dunia Pendidikan Harus Menjadi Prioritas Memberantas "Saber Pungli"

17 Oktober 2016   10:01 Diperbarui: 17 Oktober 2016   10:33 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jajaran pengelola dunia pendidikan

Kenaikan pangkat, pemilihan setiap jenjang jabatan, izin mendirikan sekolah/PT, penetapan buku pelajaran sebagai pilihan, studi banding ke luar negeri, dll. Kemarin teman saya sempat saya dorong untuk membuat buku, tetapi jawabnya: "untuk itu juga harus ada izin percetakannya dulu yang harus melewati pungli, sehingga konsepnya hanya disimpan saja". Saya jadi teringat dengan banyaknya buku soal-soal  dan cara pengerjaannya, atau dengan jawabannya yang seringkali bermasalah tetapi dibiarkan saja.

Akibat dari pungli di dunia pendidikan

Apa akibat pungli dan pungutan legal di dunia pendidikan ini ? Orang baik-baikpun, banyak yang sulit untuk tidak terjebak melakukan pungli di bidangnya masing-masing dengan  berbagai macam cara, a.l: menerima sumbangan sukarela, menerima uang terima kasih, menjadi “sales”  buku atau obat,  mempersulit pelayanan :  KTP, SIM, visa, atau yang lagi heboh memungut  uang dari pengurusan surat izin para pelaut, dll agar mendapatkan “uang suap”.  Mengapa ? Karena hal itu “harus” mereka lakukan, minimal untuk kepentingan  membiayai sekolah anak-anaknya ini. Kalau kepentingan yang lain, misalnya: makanan bergizi, kepentingan kesehatan masih bisa diabaikan. Belum lagi, sekarang itu mereka ‘harus” mengikutkan anaknya ke bimbingan belajar yang biayanya jutaan. Juga, kalau sudah mahasiswa  bahkan banyak yang harus mengeluarkan biaya untuk kos-anaknya.

Apalagi kita  itu sebagian besar memiliki anak lebih dari satu.  Sementara penghasilan para orang tua ini sebagian besar rata-rata berapa ?  Bisa terbayang tidak, bagaimana sulitnya menjadi orang tua di jaman sekarang dibandingkan dengan orang tua kita jaman dahulu ? Kalau situasi dunia pendidikan ini terus seperti itu, jangan harap kegiatan pungut-memungut ini bisa berhenti. Hanya tekniknya saja yang dicarikan akalnya, dan kapan waktunya mulai berjalan atau istirahat dahulu sehingga mereka bisa aman dalam melakukannya.  

Lebih memprihatinkan lagi, yang perolehannya bisa besar kemudian biasanya keenakan. Jadinya semakin serakah, sehingga  pungutannyapun nilainya dibuat semakin besar dan  celahnya semakin diperluas terus. Yang awal mulanya mereka melakukannya itu  karena terpaksa, jadi banyak yang tergiur  dan berubah  jadi serakah pula. Dan, realita ini bukannya dicap sebagai perbuatan dosa, bahkan aktualisasi dari hasil pungli dan korupsi ini, yaitu: rumah mewah, mobil mewah, gaya hidup mewah justru dianggap sebagai gambaran kesuksesan pelakunya.

Dampaknya, masyarakat yang  “dipungut sana sini” kemudian yang “kelimpungan”, juga mencari-cari jalan bagaimana untuk bisa melakukan hal yang serupa demi menambah penghasilannya. Termasuk kalau harus melakukan tindak kejahatanpun, mereka lakukan demi bertambahnya penghasilan ini, misalnya: membuat yang palsu-palsu itu, jual makanan "beracun", menjual harga diri, dll.  Ironinya, katanya itu rejeki halal. Saya pernah tersenyum kecut mendengar pergunjingan ibu-ibu, bahwa penghasilan di dinas ini lho "renes", begitu katanya. Mereka menganggap  bagian yang "basah itu" dikatakan renes (banyak rejekinya). Tak peduli itu hasil pungli, memalak sana sini atau korupsi. Anehnya para ulama agama itu juga tidak gencar mempermasalahkannya, bahkan ada yang terjebak dengan tindakan yang sama. Biaya label halal itu dikeluhkan sangat mahal.

Pemikiran yang harus "dibasmi"

Ada pernyataan yang mengusik saya, ketika melihat wawancara tv  terhadap “pengguna” jasa izin pelaut dari Dephub itu, yaitu dari pihak sekolah pelayaran. Dia mengatakan kelebihan uang bayar dari yang seharusnya,  itu sebagai ucapan terima kasih karena sudah menguruskan surat izin jadi pelaut untuk para siswanya. Inilah bagian dari  mindset /pola pikir yang salah dan harus "dibasmi" itu.

Karena dia tidak mengurusnya lewat calo, tetapi kepada lembaga yang memang kerjanya mengurusi hal itu. Mereka dibayar negara untuk tugasnya itu, kenapa harus memberi ucapan terima kasih + kelebihan bayar uang taripnya ? Apa kalau tidak ada kelebihan bayarnya maka surat izinnya tidak akan dikeluarkan ? Ini yang perlu ditelusuri lebih dalam.

 Atau karena  juga ada “niat-niat tersembunyinya”, misalnya: agar urusannya mudah, prosesnya lebih cepat, tidak dipersulit dengan hal yang tidak jelas, dan tentunya harus bisa lolos semua. Artinya itu bukan sungguh-sungguh ucapan terima kasih, tetapi  ada juga maksud-maksud tersembunyi itu. Karena kalau normal-normal saja, pasti dengan ucapan terima kasih saja itu sudah cukup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun