Pungli-pungli-pungli. Ada juga pungle atau pungutan yang dilegalkan. Begitu ada pemilihan presiden/kepala daerah sepi, tetapi tidak lama setelah terpilih kemudian marak lagi. Orang bilang tidak konsisten, ada yang bilang itu cuma mencari simpati agar rakyat mau memilihnya dalam Pemilu atau Pilkada, dll. Atau apalah namanya.
Hari-hari ini saya jadi sering merenung dan merenung coba mencari-cari jawaban bagaimana masalah-masalah bangsa ini terus terjadi dan solusi apa yang bisa dilakukan. Sekarang ini merenung tentang masalah pungli sesuai dengan hal menjadi tren pembicaraan nasional. Bagaimana bisa menjadi demikian parah dan tak terkendali ?
Lacak-terus di lacak. Ketemunya di dunia pendidikan, termasuk yang berbasis agama. Lho ! Bukankah dunia pendidikan itu justru mencerdaskan anak bangsa dan mendidik moral bangsa ?
Untuk teman-teman guru dan dosen, maaf ya. Saya bukan bermaksud mendeskreditkan dunia pendidikan. Tetapi saya sangat ingin dunia pendidikan kita benar-benar bisa menjadi motor penggerak kejayaan bangsa Indonesia. Dalam hal ini yang saya bahas, bukan tentang kualitasnya, tetapi terkait dengan pungutan-pungutannya terlebih dahulu, seiring dengan adanya gebrakan Pak Jokowi untuk sapu bersih pungli di Indonesia agar bisa efektif dan tidak hangat-hangat t*hi ayam dan tidak hanya menjadi jargon semata atau seperti upaya mengalihkan isu saja.
Sudah hal yang bukan rahasia lagi bahwa pungutan liar dan pungutan yang dilegalkan di dunia pendidikan ini menjadi “momok” bagi para orang tua. Karena biaya pendidikan di Indonesia ini amat mahal. Terlepas ini salahnya pemerintah sendiri atau manajemennya yang masih bermasalah sehingga anggaran lebih dari 400 trilyun (20 % APBN) ini seperti tidak berarti. Bahkan merasa kurang terus.
Para orang tua yang “terdidik” tentu akan sedih kalau anak-anaknya tidak bisa bersekolah di lembaga pendidikan yang dianggapnya “kredibel”, karena ini terkait dengan masa depan mereka sekeluarga. Padahal kredibelnya lembaga pendidikan di negara ini identik dengan biaya mahal, walaupun itu namanya sekolah negeri. Mahalnya bukan karena proses pendidikannya yang benar-benar membutuhkan biaya besar, tetapi karena adanya pungutan-pungutan yang luar biasa. Baik pungli yang terjadi pada siswa, guru/dosen, ataupun pengelola dunia pendidikan sendiri.
Pungli pada siswa TK - SLTA
Alasannya seringkali terdengar sangat menyakitkan bagi yang keuangannya terbatas: jer basuki mawa bea. Besarnya “uang muka masuk sekolah” ada yang tidak mau kalau cuma ratusan ribu tetapi jutaan sampai puluhan juta. Harga kain seragam yang jauh lebih mahal dibandingkan kalau beli pakaian seragam yang sudah jadi. Buku pelajaran yang sering gonta-ganti dan bertumpuk. LKS buku pelajaran yang sebenarnya hanya panduan mengerjakan soal tetapi mengerjakannya harus di buku tersebut sehingga setiap tahun wajib membelinya. Rekreasi yang berbiaya mahal. Wisuda yang bergaya seperti lulusan sarjana, dll.
Mahasiswa
Uang sumbangan yang puluhan juta, bahkan ratusan juta di Perguruan Tinggi dengan dalih jalur mandiri untuk yang PTN, upaya mendapatkan nilai baik/lulus mata kuliah, upaya memperlancar kegiatan skripsi, besarnya biaya wisuda, dll. Seharusnya kalau pemerintah ingin Indonesia yang hebat, maka mahasiswa di PTN itu harus bebas biaya, dan tidak ada jalur mandiri. Kita tidak butuh sebanyak-banyaknya orang yang berijazah sarjana, tetapi butuh ahli walaupun jumlahnya sedikit tetapi benar-benar berkualitas. Karena yang sedikit namun hebat inilah yang akan menjadi motor untuk merombak Indonesia.
Guru/Dosen
- Guru: Kenaikan pangkat, sertifikasi, mutasi, pemilihan Kepala sekolah, melanjutkan belajar ke jenjang yang lebih tinggi, dll. Juga tak bebas dari pungli.
- Dosen: berebut beasiswa belajar ke luar negeri, sertifikasi, berebut proyek penelitian, pemilihan pejabat di PT: Kajur, Dekan dan Rektor. Bahkan baru-baru ini muncul isu jadi rektor ternyata biayanya milyaran. Kebetulan saya punya teman yang idealis, perempuan juga. Dan ketika saya tanyakan, kok sekarang jadi profesor itu sepertinya mudah ? Kakak-kakak kelas kita itu, gelarnya sekarang banyak yang profesor. Dia menjawab: “Begitulah kenyataannya, sayapun ditawari untuk jadi profesor nanti bisa diuruskan ke Jakarta". Tapi dia mengatakan: “Kalau profesornya seperti itu lebih baik TIDAK, walaupun tunjangannya Rp 20.000.000”. Sehingga kita cuma bisa tersenyum kalau melihat ulah profesor-profesor yang dijadikan narasumber di televisi itu. Kualitasnya kok seperti itu ? Ternyata ceritanya demikian. Bahkan ketika saya mengkritik tentang tunjangan profesi, dia mengatakan: "saya ikhlas, kalau itu akan ditarik kembali. Karena di lapangan sertifikasi itu tidak dimanfaatkan untuk memperbaiki kualitas dirinya tetapi hanya digunakan untuk bisa menaikkan penghasilannya". Saya tambahkan kemudian: "Nantinya hanya guru/dosen yang benar-benar berkualitaslah, yang layak digaji mahal. Pembinaan guru/dosen itu seharusnya seperti teori MLM."